Pemutaran Perdana, Film Mother Earth: Tunggu Tubang Tak akan Tumbang, Angkat Tradisi Semende Soal Ketahanan Pangan Berkelanjutan Disambut Antusias

Pemutaran Perdana, Film Mother Earth: Tunggu Tubang Tak akan Tumbang, Angkat Tradisi Semende Soal Ketahanan Pangan Berkelanjutan Disambut Antusias (ist)

PALEMBANG, WongKito.co  – Pemutaran perdana Film dokumenter Mother Earth: Tunggu Tubang Tak Akan Tumbang karya Ghompok Kolektif, disambut antusias penonton yang berasal dari kalangan akademisi, jurnalis dan mahasiswa.

Pemutaran film dilaksanakan di UPT Perpustakaan UIN Raden Fatah Palembang. Film ini didukung oleh Kementerian Kebudayaan melalui Lembaga Pengelola Dana Pendidikan (LPDP) dan Dana Indonesia, sebagai bagian dari upaya memperkuat riset, seni, dan kebudayaan melalui medium film.

Masyarakat adat Semende, yang merupakan salah satu suku di Sumatera Selatan,  dan hingga kini masih mempertahankana  tradisi Tunggu Tubang,  sebuah tradisi matrilineal yang menempatkan perempuan sebagai penjaga warisan rumah dan sawah, sekaligus simbol ketahanan pangan berkelanjutan.

Baca Juga:

Lewat narasi visual yang kuat, film menyoroti bagaimana kearifan lokal Semende menjaga hubungan manusia dengan alam sekaligus menjawab tantangan modernisasi.

Perwakilan Ghompok Kolektif, Ahmad Rizky Prabu, menjelaskan film ini digarap selama kurang lebih setahun sejak Desember 2024 oleh hampir 20 kru.

“Kami ingin menunjukkan bahwa kearifan lokal, seperti tradisi Tunggu Tubang, bukan sekadar warisan budaya, tetapi juga strategi ketahanan pangan dan keberlanjutan hidup yang relevan hingga hari ini,” ujarnya.

Sutradara Mother Earth, Muhammad Tohir, menegaskan bahwa film ini berangkat dari cerita Tunggu Tubang yang menjadi bagian penting dalam sistem adat masyarakat Semende.

“Sistem ini sudah berjalan selama ratusan tahun, namun masih relevan dengan kondisi hari ini. Dan sangat mungkin menjadi jawaban atas kekhawatiran masyarakat global akan krisis pangan di masa depan,” kata Tohir.

Ia menjelaskan, film ini digarap dengan pendekatan dokumenter non-naratif yang memvisualisasikan fakta dan data tentang kisah-kisah di Semende.

“Kami berharap film ini bisa menjadi benchmark baru dalam dunia sineas Palembang. Saya sangat bersyukur melihat antusiasme penonton yang menyambut film ini dengan positif. Terima kasih kepada kawan-kawan yang terlibat dalam penciptaan film Mother Earth dan buku foto Badah Puyang. Terutama kepada keluarga baru kami, masyarakat Semende, yang selama satu tahun ini kami repotkan,” tambahnya.

Acara diseminasi turut dihadiri Kepala Dinas Kebudayaan Sumatera Selatan Pandji Tjahjanto yang diwakili Kepala Seksi Nilai Budaya dan Bahasa Daerah, Dian Permata Suri; serta Pamong Budaya Ahli Pertama BPK, Dedi Afrianto. Kegiatan ini berkolaborasi dengan UPT Perpustakaan UIN Raden Fatah Palembang.

Dian Permata Suri menyampaikan bahwa film ini menjadi bagian penting dalam upaya pelestarian tradisi Tunggu Tubang yang saat ini tengah diusulkan sebagai Warisan Budaya Tak Benda (WBTB).

“InsyaAllah Tunggu Tubang akan lolos seleksi WBTB tahun 2026. Kami berterima kasih kepada Ghompok Kolektif yang sudah mengangkat tradisi ini sehingga dapat memperkuat pengusulan tersebut,” katanya.

Sementara itu, Dedi Afrianto menambahkan bahwa proyek Tunggu Tubang Tak Akan Tumbang adalah salah satu pemenang nasional dari banyak proposal budaya yang diajukan ke Kementerian Kebudayaan melalui LPDP dan Dana Indonesia.

“Kami berharap karya-karya seperti ini terus lahir dari Sumatera Selatan, termasuk dari mahasiswa UIN Raden Fatah,” ujarnya.

Baca Juga:

Eliana, salah satu Tunggu Tubang sekaligus narasumber film Mother Earth yang hadir dalam diskusi, menegaskan komitmennya menjaga kelestarian tradisi tersebut.

“InsyaAllah, kami bersama masyarakat Semende akan terus menjaga dan melestarikan Tunggu Tubang,” tegasnya.

Selain pemutaran film, acara juga menghadirkan diskusi bersama peneliti Dian Maulina (dosen UIN Raden Fatah) serta fotografer dan penulis buku Badah Puyang yaitu Ahmad Rizki Prabu dan Yuni Rahmawati. Diskusi ini juga menekankan pentingnya dokumentasi budaya, peran perempuan dalam sistem adat, serta relevansi nilai-nilai tradisi dalam menjaga pangan dan lingkungan.

Dengan dukungan LPDP dan Dana Indonesia, film ini diharapkan menjadi sarana edukasi, refleksi, sekaligus inspirasi bagi masyarakat luas dalam menjaga keberlanjutan bumi dan kebudayaan.(ril)
 


Related Stories