Setara
Dirayakan Setiap 22 Desember, Simak Yuk Sejarah Hari Ibu yang kini Ramai Diperingati
"Happy Mother Day!," diucapkan seorang remaja perempuan kepada sang ibu, Minggu pagi (22/12/2024).
Gadis remaja yang beranjak dewasa tersebut mengucapkan sembari memberikan 2 lusin donat yang terkenal empuk dan manis serta gurih.
Menanggapi perhatian tersebut, sang ibu tentunya merasa berbunga-bunga dan bahagia tak terkira. Apalagi sang putri merogoh koceknya sendiri membelikan hadiah untuk merayakan Hari Ibu.
Lalu, bagaimanakah sebenarnya sejarah hingga setiap 22 Desember diperingati sebagai Hari Ibu.
Kongres Perempuan Indonesia I
Kongres Perempuan Indonesia I dilaksanakan di Yogyakarta pada 22-25 Desember 1928 atau 96 tahun lalu.
Baca Juga:
- Veronica Tan: Beri Perempuan Ruang untuk Bersuara
- Simak Rinciannya, Harta Pramono Anung Tembus Rp100 M
- Intip Yuk 10 Tradisi Unik untuk Rayakan Natal di Penjuru Dunia
Kongres berlangsung, pascasumpah pemuda pada Kongres Pemuda ke-2 yang diselenggarakan pada 28 Oktober 1928.
Kongres Perempuan Indonesi I tersebut diselenggarakan, oleh sejumlah organisasi diantaranya Wanita Aisyah, Perempuan Sarekat Islam, Wanita Katolik, Wanita Mulyo, Putri Indonesia, Wanita Utomo dan Darmo Laksmi, Perempuan Jon Java, Jon Islamten Bond dan Wanita Taman Siswa.
Tokoh-toko populer di dunia pergerakan pun, hadir dalam mendukung Kongres Perempuan Indonesia I tersebut, yaitu Boedi Oetomo, Mr. Soejoedi (PNI), Soekiman Wirjosandjojo (Sarekat Islam), A.D.Haani (Walfadjri) dan Mr Singgih serta Dr.Soepomo.
Adapun kongres dipimpin oleh RA Soekonto yang didukung Nyi Hadjar Dewantara dan Soejatin sebagai wakil ketua.
Dalam sambutannya, yang dikutip dari buku karya Blackburn, RA Soekonto mengatakan zaman sekarang adalah zaman kemajuan.
"Oleh karena itu, zaman ini sudah waktunya mengangkat derajat kaum perempuan agar kita tidak dipaksa duduk di dapur saja. Kecuali haris menjadi nomor satu di dapur, kita juga harus turut memikirkan pandangan kaum laki-laki sebab sudah menjadi keyakinan kita bahwa laki-laki dan perempuan berjalan bersama-sama dalam kehidupan umum," kata dia.
"Artinya," lanjut RA.Soekonto, " perempuan tidak (lantas) menjadi laki-laki, perempuan tetap perempuan, tetapi derajatnya harus sama dengan laki-laki, jangan sampai direndahkan, seperti zaman dahulu."
Kongres berjalan sangat kondusif dan menghasilkan sejumlah rekomendasi.
Dimana peserta kongres memutuskan untuk membentuk organisasi gabungan perempuan yaitu Perikatan Perempuan Indonesia (PPI).
Kongres membahas sejumlah isu mulai dari kesetaraan pendidikan untuk perempuan sampai dengan membahas poligami dan perkawinan anak.
Baca Juga:
- Waspada Penipuan! Loker Pemagangan Terstruktur Bank Syariah Indonesia, Gaji Rp5—7 Jutaan
- Siap IPO, PT Titan Infra Sejahtera, Sediakan Jasa Infrastruktur di Sumsel
- Made Indrawan, Anggota DPRD Sumsel Perjuangkan Aspirasi Petani OKI
Selanjutnya, Kongres Perempuan Indonesia II berlangsung di Jakarta, pada 20-24 Juli 1935 dan kongres ke-3 di Bandung, pada 22 Desember 1938 yang menyepakati ditetapkan sebagai Hari Ibu.
Perkuat Organisasi Perempuan hingga Terbitkan Surat Kabar
Di samping itu, juga sebagai penanda peristiwa tonggak sejarah kebangkitan pergerakan perempuan Indonesia. Dilansir dari laman DPAD Yogyakarta, kongres pertama menghasilan keputusan-keputusan sebagai berikut.
1. Mendirikan badan federasi bersama “Perserikatan Perkumpulan Perempuan Indonesia (PPPI).
2. Menerbitkan surat kabar yang redaksinya dipercayakan kepada pengurus PPPI. anggota-anggota redaksi terdiri dari : Nyi Hadjar Dewantara, Nn. Hajinah, Ny. Ali Sastroamidjojo, Nn. Ismudiyati, Nn. Budiah, dan Nn. Sunaryati.
3. Mendirikan studifonds yang akan menolong gadis-gadis tidak mampu.
4. Memperkuat pendidikan kepanduan putri.
5. Mencegah perkawinan anak-anak.
6. Mengirimkan mosi kepada pemerintah agar
(a) Secepatnya diadakan fonds bagi janda dan anak-anak
(b) Tunjangan bersifat pensiun (onderstand) jangan dicabut
(c) Sekolah-sekolah putri diperbanyak.
7. Mengirimkan mosi kepada Raad Agama agar tiap talak dikutkan secara tertulis sesuai dengan peraturan agama.
Dekrit Presiden Soekarno
Kongres perempuan dinilai telah berhasil membangun kesetaraan bagi kaum perempuan di masa sebelum kemerdekaan hingga Indonesia merdeka.
Akhirnya, Presiden Soekarno menerbitkan dekrit Presiden RI Nomor 316 Tahun 1953 yang menetapkan tanggal 22 Desember sebagai Hari Ibu.
Sejak itu, setiap 22 Desember peringatan Hari Ibu dilakukan dengan terus menjaga ingatan bagaimana perempuan Indonesia, pertama kali berjuang dalam menyamakan persepsi tentang kesetaraan di Kongres Perempuan Indonesia I, dan dilanjutkan kongres ke-2 dan ke-3.(Nila Ertina FM)