Dorong Anak Muda Semende Lestarikan Adat Tunggu Tubang Demi Pangan Berkelanjutan

Ladnskap sawah dan pemukiman masyarakat Semende yang menjadi wilayah adat mereka. (ist/ghompok kolektif)

Muara Enim, WongKito.co - Tunggu Tubang merupakan bagian penting dari sistem adat masyarakat Semende yang menetap di landskap lembah bukit barisan di Sumatera Selatan. Dari generasi ke generasi, sosok Tunggu Tubang lahir dari rahim seorang ibu yang berjuang untuk mendidik serta mentransformasikan se.ap pengetahuan puyang (leluhur) kepada anak-anaknya. 

“Kami para ibu, berharap anak-anak kami, baik perempuan atau laki-laki, bisa melanjutkan dan mempertahankan adat Tunggu Tubang ini,” kata Eliana, warga Desa Muara Tenang, Kecamatan Semende Darat Ulu, Kabupaten Muara Enim, Sumatera Selatan. 

Eliana salah satu dari banyak keluarga yang membuka Tunggu Tubang baru. Status itu ia peroleh setelah anak perempuan tertuanya baru saja menikah beberapa bulan lalu. 

Menikah, adalah salah satu syarat orang Semende dianggap sah untuk menyandang status sebagai Tunggu Tubang. Eliana anak tengah. Awalnya, ia bukanlah Tunggu Tubang, yang mendapatkan pusaka berupa rumah, sawah, dan kebun. 

Salah satu tokoh adat di Desa Muara Tenang, Hasan Zen menjelaskan, dalam budaya Suku Semende, anak tertua perempuan atau laki-laki (jika sebuah keluarga tidak memiliki anak perempuan) akan dijadikan Tunggu Tubang. Mereka akan mengelola pusaka berupa rumah, sawah, dan kebun, untuk kepentingan keluarga. Pusaka tersebut tidak boleh diperjualbelikan, dan akan diwariskan ke generasi berikutnya. Fungsinya, sebagai kedaulatan pangan dan ekonomi bagi keluarga. 

“Kami percaya Tunggu Tubang tidak akan pernah tumbang karena anak tengah dan anak bungsu yang tidak mendapat pusaka keluarga, tetap bisa dan mau membuka Tunggu Tubang baru. Semende masih ada juga karena masih bertahannya Tunggu Tubang,” ujar Hasan Zen. 

Saat ini, semua wilayah adat awal Suku Semende dibagi tiga kecamatan; Semende Darat Ulu, Semende Darat Tengah, dan Semende Darat Laut, yang masuk Kabupaten Muara Enim. Selama ratusan tahun, wilayah adat tersebut tetap bertahan. Tidak terjual atau tergusur oleh kelompok masyarakat lain, termasuk para pelaku usaha. Bahkan, beberapa rumah panggung kayu yang berusia ratusan tahun masih bertahan. 

Dengan sistem adat Tunggu Tubang, maka wilayah adat Suku Semende di Muara Enim adalah gabungan Semende Darat Ulu, Semende Darat Tengah, dan Semende Darat Laut, seluas 99.802 hektar. Dari luasan tersebut, sekitar 15.640 hektar merupakan perkebunan kopi, yang menjadi sumber ekonomi utama Suku Semende. Sementara sawah sebagai sumber pangan, luasnya mencapai 3.650 hektar. 

Dari tradisi yang dapat melahirkan Tunggu Tubang baru, maka wilayah adat Suku Semende yang semula hanya di lembah perbukitan Gunung Patah di Kabupaten Muara Enim, meluas ke Kabupaten Ogan Komering Ulu Selatan (OKUS), hingga wilayah Lampung dan Bengkulu. Di Kabupaten OKUS, Suku Semende mengembangkan Marga Muara Saung dan Marga Pulau Beringin. 

Di Bengkulu, terdapat Marga Semende Ulu Nasal dan Marga Semende Pajarbulan Seginim. Sementara di Lampung, antara lain Marga Semende Wai Tenung, Marga Semende Wai Sepu.h, Marga Semende Kasui, Marga Semende Pughung, dan Marga Semende Ulak Rengas. Sama seper. 

Suku Semende di Kabupaten Muara Enim, mereka yang menyebar tersebut juga menjalankan sistem adat Tunggu Tubang. Puluhan ribu hektar wilayah permukiman, persawahan, dan perkebunan menjadi harta pusaka keluarga, yang tidak dapat diperjualbelikan. 

Tunggu Tubang Lumbung Pengetahuan Semende

Sosok Tunggu Tubang harus punya banyak pengetahuan serta kearifan untuk memastikan keberlanjutan pusaka yang dikelolanya bersama dengan keluarga. Karman, salah satu tokoh masyarakat, serta peneliti adat Semende, kelahiran Desa Pajar Bulan, Semende Darat Ulu mengatakan, alasan utamanya karena Tunggu Tubang diamanahkan untuk menjaga pusaka keluarga. 

Umawarah, Tunggu Tubang yang memanen padi miliknya. (ist/ghompok kolektif)

“Sebagian besar pengetahuan Tunggu Tubang terkait dengan tata kelola pangan. Namun ada banyak Tunggu Tubang juga yang bisa guritan, menari, tadut, kuntau (laki-laki), amanatak, dan kesenian lainnya. Tunggu Tubang bisa dikatakan sebagai lumbung pengetahuan Semende,” ungkap Karman. 

Di bidang pangan, lanjut Karman, seorang Tunggu Tubang memiliki pengetahuan tentang kapan waktu yang tepat untuk menyemai benih, menanam, dan melakukan panen padi. Kalender tanam ini berguna untuk menghindari berbagai jenis hama. 

Misalnya, waktu menyemai benih padi hingga masa panen, biasanya bertepatan dengan waktu hama berkembang biak, sehingga mereka (hama) .dak menyerang tanaman padi.

“Tunggu Tubang juga paham beragam jenis-jenis padi lokal yang biasanya punya karakter khusus dalam rangka mengatasi perubahan musim, misalnya padi jambat teras yang punya rumpun besar dan lebih tahan terhadap angin kencang di musim-musim tertentu,” lanjutnya. 

Sosok Tunggu Tubang juga harus bijak dalam melakukan manajemen air di irigasi sawah mereka. Setiap petak sawah harus mendapat cukup air, tidak boleh kurang ataupun lebih. Mereka juga harus cerdas memanfaatkan landskap dangau (kebun) agar dapat memenuhi kebutuhan pangan keluarga mereka. 

“Di dangau, kalau kita lihat, Tunggu Tubang tidak hanya menanam padi, tetapi juga sayuran seperti labu, tanaman obat, memelihara ikan, itik, kambing, dan lainnya. Semua itu untuk memenuhi kebutuhan pangan (karbohidrat dan nutrisi) dan kesehatan keluarga,” kata Karman. 

Di bidang kuliner, Tunggu Tubang punya pengetahuan mengolah beragam jenis kuliner khas, sepe. serabi, lemang, hingga olahan fermentasi “bekasam” yang bahannya dari ikan dan nasi (padi). “Jika melihat semua itu, Tunggu Tubang adalah sosok perempuan yang cerdas, bijak dan tangguh. Kita orang Semende, harus bangga dengan Tunggu Tubang,” tegas Karman. 

Bentuk Perkumpulan Pelestari Tunggu Tubang 

Saat ini, hampir 30 persen dari populasi nasional merupakan Gen-Z (1997-2012). Situasi ini juga mirip seperti di Semende, dimana Gen-Z cukup mendominasi dan berpotensi untuk mempengaruhi kondisi sosial-budaya masyarakat Semende. 

Diskusi bersama Perkumpulan Pelestari Tunggu Tubang Semende. (ist/ghompok kolektif)

“Keberadaan mereka menjadi sangat penting sebagai generasi penerus Tunggu Tubang,” kata Muhammad Tohir, Koordinator Program Ghompok Kolektif: “Tunggu Tubang Tak Akan Tumbang: Kedaulatan Pangan Berkelanjutan” yang didukung oleh Kementerian Kebudayaan melalui Dana Indonesiana dan LPDP. 

Melihat potensi tersebut, Ghompok Kolektif berinisiatif untuk membentuk sebuah perkumpulan Pelestari Tunggu Tubang yang berisi 25 pemuda yang berasal dari 11 desa yang tersebar di tiga Kecamatan Semende (Semende Darat Ulu, Semende Darat Tengah, dan Semende Darat Laut). 

Dari kuesioner yang dilakukan oleh Ghompok Kolektif, sekitar 60 persen dari mereka merupakan anak tengah, 26 persen adalah Tunggu Tubang, dan 13 persen lainnya adalah calon Tunggu Tubang. “Kami berharap, baik itu anak tengah, calon Tunggu Tubang, dan semua Gen-Z di Semende dapat bersama-sama mempertahankan dan terus melestarikan Tunggu Tubang,” kata Ahmad Rizki Prabu, salah satu founder Ghompok Kolektif. 

Erfan Fahliansyah, Ketua Perkumpulan Pelestari Tunggu Tubang mengatakan, sejauh ini, inisiatif pembentukan perkumpulan ini sangat berdampak, terutama kepada generasi muda yang awalnya menganggap Tunggu Tubang sebagai beban. Ketakutan seperti tidak bisa meninggalkan desa dan harus menetap di Semende, tidak lagi relevan karena banyak Tunggu Tubang yang tetap melanjutkan sekolah tinggi ke luar Semende, dan akhirnya tetap memutuskan untuk kembali ke desa, karena tinggal di kota juga belum tentu setenang dan sebahagia tinggal di desa. 

“Perlahan kami sadar bahwa adat Tunggu Tubang itu memang ditujukan puyang kami dulu untuk kebaikan masyarakat Semende itu sendiri,” kata Erfan. 

Ani Widia Sari, Tunggu Tubang di Desa Tanjung Tiga, sekaligus Humas Perkumpulan Pelestari Tunggu Tubang meyakini, masih banyak pengetahuan adat Semende terkait dengan Tunggu Tubang yang dapat digali dan bermanfaat bagi orang banyak. 

“Kami mengajak semua kance-kance (teman-teman) di Semende ini untuk dapat bergabung, dan bersama-sama untuk dapat menggali dan melestarikan ragam pengetahuan Tunggu Tubang yang pasti akan sangat berguna bagi masa depan pangan Indonesia, khususnya di Semende,” katanya. (*)

Editor: Redaksi Wongkito
Redaksi Wongkito

Redaksi Wongkito

Lihat semua artikel

Related Stories