Eksistensi Pasar Tradisional di Tengah Arus Modernisasi di Jantung Kota Palembang

Jembatan Ampera dan LRT dari Pasar 16 Ilir (Foto WongKito.co/Magang/M.Ridho Akbar)

Oleh: Muhammad Ridho Akbar*

DI TENGAH hiruk-pikuk Pasar 16 Ilir, pemandangan Jembatan Ampera yang dibangun pada tahun 1962 tampak berdiri gagah, menjadi infrastruktur yang menghubungkan Kota Palembang di bagian hilir menuju hulu begitu juga sebaliknya.

Tepat di sampingnya, beroperasi pula kereta rangkaian ringan  atau LRT tepat di samping Jembatan Ampera menambah kontras dua bangunan modern dan heritage tersebut.

Kedua infrastruktur tersebut, berbeda jauh dengan  bangunan tua Pasar 16 Ilir Palembang, yang hingga kini masih terus direvilitasasi. Namun, menjadi bukti eksistensi bertahannya pasar tradisional di jantung Kota  Palembang di tengah arus modernisasi.
 

Baca Juga:

Toko Songket dan Busana Tradisional

 

Lorong-lorong Pasar 16 Ilir menyimpan kekayaan budaya Palembang. Di salah satu sudut gedung pasar, deretan toko menjual kain songket dan busana tradisional Palembang dengan berbagai motif dan warna. Kebaya dan kain songket dengan benang emas khas Palembang terpajang rapi di etalase. Pasar ini tak hanya tempat jual beli kebutuhan sehari-hari, tapi juga menjadi pusat pelestarian warisan budaya tekstil Sumatera Selatan.

 

Bongkar muat barang di tepi Sungai Musi

Aktivitas bongkar muat di dermaga Pasar 16 Ilir tak pernah berhenti. Puluhan pekerja sibuk mengangkat kardus berisi berbagai barang dagangan dari daratan menuju jukung yang bersandar di tepi Sungai Musi. Dengan tenaga manual dan gotong royong, mereka memindahkan tumpukan barang berat di atas kepala mereka.

Aktivitas tersebut hingga kini masih bertahan, karena Kawasan Pasar 16 Ilir Palembang merupakan sentra penjualan beragam kebutuhan masyarakat, termasuk sandang dan pangan.

Pembeli datang dari berbagai daerah, termasuk dari Kawasan perairan, beberapa wilayah di Kabupaten Banyuasin dan Kabupaten Ogan Komering Ilir (OKI).  

Kapal Jukung penuh muatan bersandar di Pelabuhan 16 Ilir Palembang

Sebuah jukung penuh sesak dengan kardus dan berbagai kebutuhan pokok lainnya bersandar di dermaga. Kapal kayu berwarna-warni khas Palembang ini menjadi angkutan vital yang menghubungkan Pasar 16 Ilir dengan tempat- tempat di sepanjang aliran Sungai Musi. Meski terlihat sederhana, jukung-jukung inilah yang menjadi nadi perekonomian rakyat, mengangkut ratusan kilogram barang setiap harinya ke pelosok yang tak terjangkau jalan darat.
 

Pedagang sayuran

Nur (60) duduk bersila di lantai pasar, dikelilingi sayuran segar yang ia jajakan. Di depannya tertata rapi cabai merah, kol, jagung, tomat, dan berbagai sayuran lainnya. Perempuan berjilbab hijau ini sudah berdagang di Pasar 16 Ilir selama puluhan tahun. Setiap hari ia menggelar dagangannya di trotoar pasar, menawarkan sayuran segar kepada pembeli yang lalu lalang.

 "Alhamdulillah, walau di pinggir jalan, pembeli tetap datang. Ini sudah rejeki saya dari dulu," ujar Nur sambil mengipasi sayurannya.

Penjahit masih bertahan

Nawawi (71) masih setia dengan mesin jahit manual miliknya yang sudah berusia puluhan tahun. Di sudut dermaga Pasar 16 Ilir, ia membuka jasa jahit dengan lapak seadanya. Tangan tuanya masih lincah mengoperasikan mesin jahit, melayani pelanggan yang ingin menjahit baju atau memperbaiki pakaian. “Alhamdulillah, masih diberi kesehatan dan rezeki sampai hari ini," ujarnya dengan rasa syukur.

Sarana transportasi air

 

Di bawah bayangan Jembatan Ampera dan rel LRT, speed boat menanti penumpang akan menggunakan jasa transportasi air untuk sampai ketujuan di kawasan perairan Sungai Musi. 

Baca Juga:

Speed boat   bisa digunakan untuk berwisata mengarungi Sungai Musi karena dengan tarif terjangkau, penumpang bisa merasakan angin sungai sambil menyaksikan pemandangan kota dari perairan yang menjadi jantung kehidupan Palembang.

*Mahasiswa Prodi Jurnalistik UIN Raden Fatah Palembang, Angkatan 2023

 


 

 

 

 

 

 

Editor: Nila Ertina

Related Stories