Geliat Sumsel Beralih ke Energi Terbarukan

Ilustrasi asap membumbung di dekat panel surya (Ist)

PALEMBANG, WongKito.co - Munzir (64) warga RT 18 Kelurahan Sukabangun, Kecamatan Sukarame, Kota Palembang mengaku kagum dengan keberadaan Penerangan Jalan Umum (PJU) tenaga surya yang terpasang sejak awal Oktober 2024 di lingkungan rumahnya.

Baru kali ini ia melihat bentuk panel surya. Dia cukup tahu bahwa panel tersebut menangkap cahaya matahari sebagai sumber energi listrik untuk lampu jalan. Meskipun berkapasitas kecil, panel surya PJU dianggap efisien dan ekonomis mengurangi biaya kelistrikan.

“PJU dengan panel surya di RT kami ada tiga unit. Semua bukan dari Pemerintah tapi inisiatif bantuan salah satu warga, dia wirausaha yang peduli kondisi jalan utama RT sering gelap,” ujar Munzir, Jumat (18/10/2024).

Inisiatif pemasangan panel surya juga mulai dilakukan pihak swasta di Palembang, antara lain sektor retail, perhotelan, hingga perguruan tinggi. Kapasitasnya tentu lebih besar dari PJU tenaga surya.

Baca Juga:

Seperti Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) Atap di Ogan Permata Indah (OPI) Mal Jakabaring yang menghasilkan daya sebesar 618 kWp. Pengoperasian PLTS Atap dapat memberikan banyak manfaat, bukan hanya bagi OPI Mal sendiri tapi juga lingkungan.

Marketing Communitation Manager OPI Mal, Wendy Ansa mengatakan, pihaknya ingin mendukung upaya mengatasi emisi gas rumah kaca. Dengan mengoperasikan PLTS, manajemen mal juga dapat menghemat ongkos operasional listrik hingga 30% perbulan.

“Penghematan pasti ada, membantu dari biaya operasional sebelumnya,” kata Wendy kepada wongkito.co, Sabtu (05/10/2024).

Sementara di lingkungan perguruan tinggi, dua kampus swasta di Palembang sudah memasang panel surya, antara lain Universitas Sumatera Selatan dan Universitas Katolik Musi Charitas Palembang. Baru-baru ini, PT Kereta Api Indonesia (Persero) Divre III Palembang turut menggunakan PLTS Atap dengan kapasitas 122 kWp, berkontribusi rata-rata sebesar 60% dari kebutuhan listrik.

Ketertarikan masyarakat Sumatera Selatan (Sumsel) untuk berpartisipasi dalam mendukung transisi energi berkeadilan menurut Survey Persepsi Kebijakan Transisi Energi yang dilakukan CERAH bersama Markdata pada akhir 2023 lalu tercatat tinggi. Sebanyak 100% responden dari Sumsel menyatakan tertarik. Pemahaman tentang isu transisi energi karena alasan bahan bakar fosil menipis tercatat sebanyak 39,0% responden.

Berdasarkan data Dinas ESDM Provinsi Sumsel, ketenagalistrikan di Sumsel surplus 1.052 MW dan energi fosil mendominasi bauran energinya.

Adapun potensi Energi Baru Terbarukan (EBT) di provinsi ini sebesar 21.032 MW dengan kapasitas yang telah terpasang sebesar 973,95 MW atau sebesar 4,63% dari potensi yang ada. Potensi EBT tersebut berasal dari sumber air, surya, angin, bioenergi, dan geothermal dengan potensi terbesarnya dari energi surya.

Foto Dinas ESDM Provinsi Sumsel

Boni Bangun dari Hutan Kita Institute (HAKI) menilai, potensi energi surya sebagai EBT di Sumsel memang besar dan mumpuni untuk dikembangkan. Dari potensi energi surya di Sumsel sebanyak 17.233 Megawatt-peak (MWp), pemanfaatan dan pengembangannya baru terealisasi 3,52 MW.

Penggunaan panel surya berkapasitas besar ada di Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) Jakabaring Palembang. Pengoperasian PLTS berkapasitas 2 MW tersebut mendukung pasokan listrik pada pelaksaan Asian Games 2018 lalu.

Temuan HAKI, kondisi ideal untuk pengembangan PLTS bukan di Palembang, justru ada di Kecamatan Sungai Lilin Kabupaten Musi Banyuasin (Muba). Intensitas sinar matahari di sana tinggi sepanjang tahun, dengan rata-rata penyinaran sekitar 4-5 kWh/m²/hari. Keterlibatan masyarakat memungkinkan dan akan berdampak langsung kepada mereka apalagi jika didukung regulasi dan insentif.

Boni mengungkapkan, penggunaan energi surya sebenarnya masih ada dilema. Selain di regulasi, panel surya atau PLTS membutuhkan bahan baku nikel untuk baterai penyimpan energi listrik yang dihasilkan. “Kita di sini mengembangkan PLTS, di Sulawesi tambang nikelnya berkonflik dengan masyarakat.”

Terkait keuntungan beralih ke energi terbarukan, penggunaan energi surya di lingkungan industri swasta memang menjadi tanggung jawab industri dan tidak perlu subsidi untuk operasionalnya. Menurut Boni, masyarakat di sekitar sumber energi Sumsel yang mestinya mendapatkan subsidi atau kompensasi energi listrik.

“Sumsel sebagai penyumbang listrik untuk Sumbagsel seharusnya tidak ada lagi mati listrik. Kami menemukan, rumah warga Desa Muara Maung di ring 1 PLTU Keban Agung Sumsel mendapatkan kualitas daya listrik yang jelek. Artinya pembangkit tidak menyalurkan listriknya ke desa itu,” tukas dia.

Menilik Potensi Energi Terbarukan Lain

HAKI melihat ada potensi lain dari sektor EBT yang berkeadilan dan berbasis masyarakat di Sumsel, khususnya Kota Palembang. Selain PLTS atau pemasangan panel surya, Pembangkit Listrik Tenaga Sampah (PLTSa) dinilai bisa dikembangkan di ibukota Provinsi Sumsel ini.

Boni meyakini, PLTSa tidak hanya membantu mengurangi volume sampah yang menumpuk, tetapi juga menyediakan sumber energi terbarukan yang ramah lingkungan. Apalagi pembangunan PLTSa Kramasan sebesar 20 MW sudah masuk dalam rencana pengembangan EBT di Sumsel.

Hasil Riset dan inovasi teknologi pengelolaan Sampah Dosen Teknik Industri Universitas Katolik Musi Charitas tahun 2023 didapatkan potensi pengelolaan sampah di Kota Palembang sebanyak 900,28 melalui proses Thermokimia menjadi gasifikasi sehingga dapat menghasilkan kurang lebih 5 MW energi Listrik atau setara 30.000 tabung gas 3kg/hari.

Proses gasifikasi ini disebut rendah karbon dan limbahnya dapat dimanfaatkan menjadi paving dan pakan Magot. Artinya dengan PLTSa berdampak positif bagi Palembang, mulai dari penyelesaian masalah sampah dengan bonus energi Listrik yang dihasilkan sebesar 5 MW.

PLTSa adalah pembangkit listrik yang menggunakan sampah sebagai bahan bakar untuk menghasilkan energi listrik. Hanya saja, prosesnya melalui pembakaran. Hasil konversi gas metana dari sampah akan menghasilkan uap bertekanan tinggi untuk menggerakkan generator yang menghasilkan listrik.

Pengkategorian PLTSa sebagai sumber energi terbarukan saat ini kerap diperdebatkan. Dalam catatan Indonesian Center Environment Law (ICEL), PLTSa dinilai memiliki dampak kesehatan dan lingkungan.

Kepala Dinas Lingkungan Hidup Provinsi Sumsel, Herdi membenarkan, pernah ada perencanaan dibangunnya PLTSa di TPA Keramasan Palembang. Namun, apabila PLTSa menjadi upaya pengurangan sampah, pihaknya tetap memperhitungkan seberapa kuat tekanan uap dari gas metana untuk menghasilkan listrik dan apakah pasokan terjamin tidak terputus dari TPS.

Baca Juga:

Mekanisme pasokan sampah juga masih diserahkan ke pihak regional yakni kabupaten/kota. “Belum dikoordinasikan lagi karena untuk pasokan sampah dari kabupaten/kota terdekat seperti Banyuasin dan Ogan Ilir terdapat masalah pajak distribusi,” jelasnya dikonfirmasi, belum lama ini.

Sementara itu, Humas PLN Unit Induk Distribusi Sumsel, Jambi, dan Bengkulu (S2JB) Iwan Arissetyadhi menjelaskan, penjualan listrik dari pembangkit listrik seperti PLTS sudah ada aturan skemanya. Listrik dari panel surya PLTS rumah atau perkantoran swasta pada dasarnya digunakan untuk kebutuhan sendiri. Adapun PLTS dengan sistem hybird dua arah bisa menjual suplai listriknya yang berlebih ke PLN sebagai opsi.

“Kalau pasokannya berlebih, bisa kirim hasil produksinya dan mekanismenya tergantung teknis perjanjian jual beli. Pastinya, bauran energinya nanti tidak bisa dispesifikkan itu dari PLTS atau PLTSa,” jelas Iwan. (yulia savitri)


Related Stories