ICJS 2025: Masyarakat Adat, Petani, Perempuan, Disabilitas, hingga Miskin Kota Serukan Keadilan Iklim

Indonesia Climate Justice Summit (ICJS) 2025 resmi dibuka di Jakarta, Kamis (26/8/2025). (ist/ICEL)

JAKARTA, WongKito.co - Indonesia Climate Justice Summit (ICJS) 2025 resmi dibuka di Jakarta, Kamis (26/08/2025). Forum yang digagas oleh Aliansi Rakyat untuk Keadilan Iklim (ARUKI) ini menjadi ruang politik rakyat untuk menyatukan suara dalam menghadapi krisis iklim yang kian mendesak. 

Hari pertama ICJS diawali dengan Pleno Rakyat yang menghadirkan suara langsung dari sembilan subjek rentan antara lain masyarakat adat, petani, nelayan, perempuan, buruh, miskin kota, orang muda, lansia dan penyandang disabilitas. Mereka menyampaikan pengalaman nyata menghadapi krisis iklim sekaligus menyerukan agar negara segera bertindak tegas. 

Di Jakarta, kota yang disebut pusat pembangunan, keresahan kaum lansia semakin terhimpit oleh dampak iklim. “Lansia sering dianggap tidak berdaya. Padahal, perubahan iklim semakin membatasi kami. Kami cepat lelah, rentan sakit. Jangan jadikan kami sekadar objek pembangunan.” 

Sementara itu, masyarakat miskin kota di Jakarta Utara juga mengungkapkan ketidakadilan pembangunan di pesisir. “Saya sudah puluhan tahun tinggal di Jakarta Utara, tapi sampai hari ini kami tidak mendapat fasilitas air bersih. Pemerintah hanya meninggikan jalan, sementara rumah warga dibiarkan tenggelam. Tidak ada keberpihakan bagi rakyat miskin.” 

Jika di ibu kota saja masyarakat sudah terhimpit, bagaimana dengan mereka yang berada jauh dari pusat, di wilayah pesisir dan timur Indonesia? Suara-suara dari daerah menunjukkan luka yang lebih dalam. Buruh migran asal Serang, berbagi kisah getir akibat dampak iklim. 

“Perubahan iklim membuat tambak udang saya gagal. Saya terpaksa menjadi buruh migran untuk menyambung hidup. Namun harapan itu sirna, saya justru menjadi korban perdagangan orang, mendapat perlakuan buruk, diancam 22 tahun penjara dan denda 800 juta.” 

Dari pesisir Lamongan, seorang nelayan tradisional menegaskan “Krisis iklim mengacaukan pola angin dan mengancam hidup kami. Nelayan tradisional bukan penyebab krisis iklim. Kami bukan musuh laut, kami menjaganya. Yang kami tuntut adalah keadilan, bukan belas kasihan. Tanpa nelayan, siapa yang memberi makan negeri ini? Ini soal hidup dan mati kami.” 

Perwakilan orang muda dari Bengkulu, menyampaikan, “Kami lahir di bumi yang sudah rusak. Kami dipaksa mewarisi krisis iklim. Sudah saatnya orang muda ditempatkan di garis depan perjuangan. Seruan keadilan iklim adalah seruan untuk hidup yang lebih layak.” 

Dari Sulawesi, seorang perempuan petani menegaskan, “Perempuan bukan penyebab krisis iklim, perempuan adalah korban. Padahal perempuan adalah lumbung pangan bangsa. Kembalikan kedaulatan perempuan.” 

Seorang buruh tani dari Poso, menambahkan “Perubahan musim yang tak menentu menghapus pengetahuan lokal perempuan. musim tak bisa diprediksi, ekonomi semakin sulit. kami adalah korban dari kebijakan negara yang memiskinkan rakyatnya”. 

Dari Maluku Utara, menuturkan pengalaman sebagai penyandang disabilitas, “Krisis iklim memperparah kerentanan yang sudah ada. Kami semakin cemas, menanggung stigma, diskriminasi, dan dampak paling berat. Perlindungan tak memadai, bantuan tak sesuai kebutuhan. Ini harus jadi prioritas negara.” 

Dari Nusa Tenggara Timur, seorang perempuan adat mengungkapkan luka akibat proyek geothermal, “Hati kami terluka. Proyek geothermal masuk tanpa persetujuan, suara kami diabaikan. Ketika menolak, kami disebut anti pembangunan, bahkan ada yang dikriminalisasi. Kami tidak meminta dikasihani, kami meminta dihargai.” 

Suara masyarakat terdampak menegaskan krisis iklim adalah krisis keadilan. Kelompok rentan berada di garis depan dampak, tapi paling sedikit mendapat perlindungan. ICJS hadir sebagai ruang untuk menyatukan suara rakyat, memperkuat solidaritas, dan menuntut negara tidak lagi abai terhadap tanggung jawabnya. 

ICJS menegaskan krisis iklim adalah krisis kemanusiaan. krisis iklim tidak bisa lagi dipandang semata sebagai isu, melainkan sebagai krisis keadilan dan kemanusiaan. negara dituntut mengambil langkah konkret, bukan hanya jargon, untuk melindungi rakyat yang berada di garis depan krisis iklim. (*)

Editor: Redaksi Wongkito
Redaksi Wongkito

Redaksi Wongkito

Lihat semua artikel

Related Stories