Ragam
Intip Yuk Keandalan Mobil Listrik China di Jalanan Indonesia
JAKARTA, - Mobil listrik asal China tengah membanjiri pasar global, termasuk Indonesia, dengan harga yang jauh di bawah rata-rata. Misalnya, BYD Seagull yang dipasarkan mulai dari Rp170 juta. Fenomena ini menimbulkan pertanyaan besar, apakah mobil listrik China benar-benar murah karena efisiensi, atau menyimpan risiko tersembunyi?
Dilansir TrenAsia jejaring WongKito.co dri berbagai sumber, berikut analisis menyeluruh mengenai struktur harga, strategi industri, dan implikasinya bagi konsumen Indonesia.
Harga murah mobil listrik China bukan sekadar gimmick, melainkan hasil dari kombinasi berbagai strategi dan efisiensi struktural. Sekitar 40% dari biaya produksi mobil listrik berasal dari baterai dan material terkait.
Produsen besar seperti BYD mampu memangkas biaya ini melalui integrasi vertikal: mereka tidak hanya membuat mobil, tapi juga memiliki tambang lithium dan lini produksi sel baterai sendiri.
Perakitan Mobil China Lebih Efisien
Selain itu, biaya tenaga kerja di China sekitar 25% lebih rendah dibandingkan dengan Eropa atau Amerika Serikat, memberikan keuntungan signifikan dalam perakitan massal.
Produksi berskala besar BYD memproduksi lebih dari 4,3 juta unit per tahun, menciptakan skala ekonomi yang menekan biaya per unit. Semua ini didukung oleh subsidi pemerintah dalam kerangka program Made in China 2025, yang menyuntikkan dana untuk riset, insentif pajak, dan pengembangan teknologi ramah lingkungan.
Strategi pemangkasan harga pun dilakukan secara agresif. BYD misalnya, memangkas harga beberapa model hingga 30% untuk mendominasi pasar. Mereka juga menerapkan taktik cross-subsidy, di mana keuntungan dari penjualan di pasar premium seperti Eropa atau Australia digunakan untuk menutup kerugian dari penjualan murah di pasar domestik.
Di sisi lain, tekanan juga diberikan ke pemasok, produsen besar menuntut pemotongan harga komponen hingga 10%, yang berisiko menurunkan kualitas dan memicu PHK di rantai pasok.
Kualitas vs. Harga Murah: Apa Realitanya?
Harga murah seringkali diasosiasikan dengan penurunan kualitas. Beberapa laporan menunjukkan bahwa mobil listrik China memangkas biaya melalui penggunaan material lebih ringan atau komponen elektronik kelas menengah. Pemerintah China sendiri khawatir bahwa produk berbiaya rendah dengan kualitas rendah bisa mencoreng citra “Made in China” secara global.
Studi UBS menyebut biaya produksi BYD bisa 25% lebih murah dibanding produsen barat, namun keandalan jangka panjang komponen seperti motor listrik dan baterai masih belum sepenuhnya teruji, apalagi di iklim tropis seperti Indonesia.
Fitur canggih seperti ADAS (sistem bantuan pengemudi) juga hadir dalam versi minimalis, dengan banyak perangkat lunak “dipinjam” dari platform global untuk efisiensi pengembangan.
Baca juga :
- Begini Cara Buat Dumpling Isi Ayam yang Enak
- Aturan Terbaru! Konsumen Akhir Tak Dipungut PPh 22 Saat Beli Emas
- Panduan Bisnis Kos Ramah Lingkungan dan Dukung Gaya Hidup Sehat
Ketersediaan layanan purna jual menjadi tantangan utama. Hingga saat ini, jaringan bengkel resmi mobil listrik China masih terbatas dan terkonsentrasi di kota besar. Rasio bengkel resmi terhadap jumlah unit kendaraan pun rendah, hanya 1 bengkel per 500 unit, jauh dibandingkan dengan Jepang yang mencapai 1:200.
Ketergantungan pada suku cadang impor juga menyulitkan konsumen. Komponen penting seperti ECU atau poros engkol masih harus didatangkan langsung dari China, dengan waktu tunggu 20-50 hari. Meski beberapa bengkel lokal bisa memodifikasi atau menggunakan suku cadang universal, tindakan ini biasanya membatalkan garansi.
Selain itu, sistem listrik bertegangan tinggi pada kendaraan listrik memerlukan mekanik bersertifikasi khusus. Bengkel biasa hanya dapat menangani perbaikan mekanis dasar, membuat konsumen harus menempuh jarak lebih jauh untuk mendapatkan layanan spesifik.
Tekanan harga yang dilakukan pabrikan China berdampak sistemik terhadap industri otomotif. Di satu sisi, upah buruh yang rendah (sekitar 30% di bawah Eropa) memangkas biaya, namun di sisi lain, tekanan terhadap supplier untuk terus menurunkan harga memicu penurunan kualitas material dan risiko PHK di lapisan rantai pasok.
Perang harga juga menyebabkan distorsi pasar. Konsumen cenderung menunda pembelian karena berharap harga akan terus turun. Sementara pasar mobil bekas “0 km” mobil baru yang dijual kembali dengan diskon tinggi mulai marak dan merusak struktur harga pasar.
Tulisan ini telah tayang di www.trenasia.id oleh Muhammad Imam Hatami pada 04 Aug 2025