Ironi Buruh Pabrik dan Honorer di Indonesia, Kerja Keras tapi Jauh dari Sejahtera

Ironi Buruh Pabrik dan Honorer di Indonesia, Kerja Keras tapi Jauh dari Sejahtera (ist)

JAKARTA - Kisah Abdul Razaq yang sudah bertahun-tahun bekerja di sebuah pabrik manufaktur di Sukoharjo, Jawa Tengah. Gajinya mengikuti UMR setempat, Rp 2.359.488. Nominal itu disebut hanya cukup untuk makan, membayar listrik, ongkos transportasi, dan kebutuhan pokok lain. Tanpa sisa untuk tabungan, apalagi untuk healing.

Razaq bekerja pada pukul 08.00 WIB hingga 17.00 WIB setiap harinya, menjalani rutinitas di tengah deru mesin dan aktivitas produksi yang padat. Tak jarang, ketika target produksi meningkat atau pesanan membeludak, ia harus menambah jam kerja hingga pukul 20.00 WIB.

Artinya, dia bisa menghabiskan waktu hingga 12 jam bersama mesin pabrik jika lembur.   “Jujur aja berat, apalagi kalau sudah berkeluarga dan punya anak kecil seperti saya,” ujar lelaki 37 tahun itu saat ditemui TrenAsia.id belum lama ini. 

Seluruh pendapatan Abdul Razaq habis terserap untuk kebutuhan pokok keluarganya. Sekitar Rp1 juta dialokasikan untuk makan sehari-hari, meliputi beras, lauk-pauk, sayur, minyak, dan bumbu dapur. Tagihan listrik bulanan memakan biaya sekitar Rp200 ribu, sementara ongkos transportasi kerja bisa menyedot Rp400 ribu per bulan. 

Baca Juga:

Sementara kebutuhan rumah tangga seperti sabun mandi, sampo, deterjen, dan pembersih menelan sekitar Rp150 ribu. "Dulu (saat lajang) mungkin masih agak bisa disisihin sedikit, tapi sekarang boro-boro nabung, buat kebutuhan harian aja kadang mepet,” imbuh ayah dari satu anak balita itu. 

Ini karena dia harus mencukupi kebutuhan anak, termasuk popok dan susu. Keperluan ini bisa menghabiskan sekitar Rp350 ribu dari gajinya. Praktis, hanya tersisa sekitar Rp250 ribu di dompet Razaq. Itu pun harus dia eman-eman untuk keperluan mendadak seperti obat-obatan atau kebutuhan darurat lainnya. 

Kondisi ini membuat Razaq nyaris tak memiliki ruang untuk menabung atau sekadar menikmati hiburan. Setiap mendengar berita kenaikan harga kebutuhan sehari-hari, dia bisa langsung panas dingin. 

Jumlah penghasilan yang terbatas dan jam kerja padat membuat Razaq harus berjibaku dengan rasa lelah. Kenaikan harga sabun, sampo, hingga popok anak, menurut Razaq, memang terlihat kecil. Namun akumulasi bulanan barang barang tersebut menambah beban keluarganya. 

“Misal kita belanja kebutuhan rumah tangga bulanan, sabun, sampo, pampers anak, kalau harganya naik seribu atau lima ratus rupiah itu kelihatannya kecil, tapi kalau kita beli buat kebutuhan sebulan, ya lumayan juga jumlahnya. Apalagi barang-barang itu kan nggak mungkin nggak dibeli,” tutur Razaq.

Ia menerima Bantuan Subsidi Upah (BSU) dari pemerintah, cukup menutup kekurangan sementara. Namun dia merasa bantuan itu tak menyentuh masalah mendasar, gaji yang stagnan dan beban kerja berat. 

Razaq harus pintar-pintar menyiasati hidupnya agar bisa bertahan dan tetap waras. Setiap hari, dia membawa bekal makanan dari rumah. Razaq dan istrinya juga rajin berburu diskon dan mencatat setiap pengeluaran. 

Masih Terjerat Gaji di Bawah UMR

Nasib hampir serupa dialami Faqihudin, guru honorer disalah satu SMA swasta di Solo. Penghasilannya dihitung per jam mengajar. Jam mengajarnya sedikit, sehingga penghasilannya jauh di bawah UMR. Ia belum mengikuti Pendidikan Profesi Guru (PPG), membuat gajinya lebih rendah dari guru honorer yang tersertifikasi. 

“Saya sudah beberapa tahun jadi guru honorer. Pendapatan sangat minim sekali. Gaji saya itu ditentukan dari jumlah jam mengajar, sedangkan jam saya sendiri nggak banyak. Otomatis penghasilannya kecil,” jelas Faqihudin.

Sudah bergaji di bawah UMR, dia tidak mendapat tunjangan apalagi bantuan pemerintah. Untuk bertahan, ia mengatur keuangan dengan ketat, mencatat setiap pengeluaran, dan menunda pembelian barang-barang sekunder. “Harus banyak-banyak sabar dan mengerem keinginan. Kalau nggak terlalu penting ya ditunda,” ujar lelaki 27 tahun itu.  

 Selain bekerja sebagai guru, Faqihudin mencari penghasilan tambahan dengan mengajar les dan berjualan snack dari rumah. “Semua pengeluaran saya hemat semaksimal mungkin. Karena penghasilan mepet, jadi mau nggak mau harus disiplin,” tambah Faqihudin.

Baginya, status honorer sudah tidak lagi relevan di era saat ini. Menurutnya, semua guru, tanpa memandang status kepegawaian, seharusnya memperoleh hak, fasilitas, dan pengakuan yang setara atas peran penting mereka dalam mencerdaskan generasi bangsa.

“Negara bisa maju kalau pendidikannya maju. Pendidikan bisa maju kalau gurunya sejahtera. Tapi kenyataannya, guru honorer itu upahnya jauh di bawah UMR, nggak layak untuk standar hidup sekarang," tutur Faqihudin.

Pekerja Rentan Tekanan Ekonomi

Kisah Abdul Razaq dan Faqihudin hanyalah potret kecil dari masalah besar. Sepanjang 2025, gelombang pemutusan hubungan kerja (PHK) di Indonesia menunjukkan lonjakan yang mengkhawatirkan. 

Data Kementerian Ketenagakerjaan mencatat 30.000 pekerja terdampak hingga Juni. Namun Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) menyebut angka riil jauh lebih besar, yakni 73.992 pekerja hanya sampai Maret. Angka ini berdasarkan peserta BPJS Ketenagakerjaan yang nonaktif. 

Dewan Pengawas BPJS Ketenagakerjaan bahkan memproyeksikan hingga 280.000 pekerja akan kehilangan pekerjaan sepanjang tahun ini, didorong pelemahan ekspor dan tekanan ekonomi global. 

Soloraya menjadi salah satu episentrum krisis dengan 10.995 kasus PHK pada kuartal I-2025, mayoritas dari sektor tekstil, manufaktur, dan pengolahan, termasuk 11.025 buruh yang dirumahkan Sritex Group. 

Situasi ini tercermin dalam antrean panjang job fair di Sukoharjo dan Surakarta yang hanya mampu menyerap 15% pelamar, sebagian besar pada sektor jasa dengan upah rendah.

Kondisi banyaknya PHK di berbagai sektor diperparah dengan nilai Upah Minimum Kabupaten/Kota (UMK) di wilayah Solo Raya pada tahun 2025 yang relatif kecil, hanya berkisar di angka dua jutaan. 

Rinciannya, UMK Karanganyar sebesar Rp 2.437.110, UMK Surakarta (Solo) Rp 2.416.560, UMK Boyolali Rp 2.396.598, UMK Klaten Rp 2.389.872, UMK Sukoharjo Rp 2.359.488, UMK Wonogiri Rp 2.180.587, dan UMK Sragen Rp 2.182.200. 

Baca Juga: Pemerintah Harus Serius Atasi Masifnya Gelombang PHK di Sektor Padat Karya

Angka-angka ini menggambarkan keterbatasan daya beli yang harus dihadapi pekerja, apalagi di tengah kenaikan harga kebutuhan pokok. Dengan gaji yang pas-pasan, banyak pekerja dari berbagai sektor mengaku kewalahan menghadapi beban hidup yang kian menekan. Biaya sewa rumah, transportasi, pendidikan anak, hingga kebutuhan kesehatan sering kali melampaui kemampuan finansial mereka. 

Guru Besar Ilmu Manajemen Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Muhammadiyah Surakarta (UMS), Anton Agus Setyawan, menilai kerentanan buruh, kelas menengah, hingga pekerja sektor gig economy terhadap tekanan ekonomi disebabkan oleh kombinasi faktor makro dan struktural. 

Dari sisi makroekonomi, baik di level global maupun nasional, kondisi saat ini dinilai sedang tidak baik-baik saja. Ia menegaskan bahwa meski belum masuk kategori krisis, perekonomian tengah mengalami perlambatan. 

“Dari sisi kondisi makroekonomi, baik di level global maupun nasional, yang sedang tidak baik-baik saja. Saya tidak mengatakan ekonomi kita krisis, tapi mengalami perlambatan,” ungkap Anton kepada TrenAsia.id.

Pertumbuhan ekonomi Indonesia sebelumnya melambat di bawah 5%. Meski pemerintah menyebut angka terbaru berada di level 5,12%, banyak pihak yang meragukan keabsahannya.

Menurut Anton, persoalan bukan hanya pada besaran pertumbuhan, tetapi pada kualitasnya yang terus menurun. Daya serap tenaga kerja oleh sektor-sektor yang kini dominan, seperti jasa dan pertambangan, relatif rendah. "Kualitas pertumbuhan ekonomi kita juga makin mengalami penurunan,” jelas Anton.

Akibatnya, lapangan kerja yang tercipta tidak sebanding dengan jumlah angkatan kerja baru, apalagi di tengah perubahan teknologi yang cepat. Kondisi ini mempersempit peluang bagi buruh dan pekerja informal untuk bertahan secara ekonomi.

Terkait bantuan pemerintah seperti Bantuan Subsidi Upah (BSU), Anton menganggapnya sebagai langkah taktis jangka pendek untuk menjaga konsumsi rumah tangga agar tidak jatuh. 

Ia membandingkan kebijakan ini dengan Program Bantuan Langsung Tunai (BLT) di era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono yang memiliki tujuan sama, yakni mempertahankan daya beli masyarakat. 

Meski demikian, ia menegaskan permasalahan mendasar ada pada kesenjangan keterampilan antara kebutuhan industri dengan kemampuan angkatan kerja. Banyak pekerja yang belum memiliki kompetensi yang sesuai dengan perkembangan industri, terutama di sektor yang menuntut adaptasi cepat terhadap teknologi. 

Baca Juga:

Jurang keterampilan ini semakin lebar dan mempersulit pencari kerja untuk mendapatkan posisi yang layak. Anton mendorong pemerintah melakukan perubahan radikal pada lembaga pelatihan seperti Balai Latihan Kerja (BLK) dengan menyesuaikan kurikulumnya terhadap kebutuhan industri. 

Pendidikan formal juga diminta lebih fleksibel mengikuti perubahan pasar kerja.  Ia menyoroti bahwa lulusan sarjana di Indonesia belum siap terjun ke dunia kerja karena sistem pendidikan masih monodisiplin dan lambat beradaptasi.

“Pemerintah harus menyelesaikan dengan perubahan radikal pada lembaga-lembaga pelatihan seperti BLK, menyesuaikan kurikulum dengan kebutuhan industri. Pendidikan formal juga harus fleksibel mengikuti perkembangan industri,” tambah Anton.

Hakim dan Faqihudin mungkin tak pernah saling mengenal. Satu bekerja di lantai pabrik, satunya di ruang kelas. Namun, keduanya menjadi korban dari struktur ekonomi dan kebijakan tenaga kerja yang timpang. Di balik angka pertumbuhan dan proyeksi makro, ada wajah-wajah yang berjuang setiap hari untuk tetap bertahan. 

Jika tidak ada pergeseran kebijakan yang memihak pekerja, bukan tidak mungkin cerita seperti mereka akan menjadi norma baru, dan kelas menengah Indonesia perlahan bergeser menuju jurang ketidakpastian.

Tulisan ini telah tayang di www.trenasia.id oleh Muhammad Imam Hatami pada 11 Aug 2025 


Related Stories