Kalaweit dan Upaya Perlindungan Satwa Liar dari Deforestasi Hutan Sumatra dan Kalimantan

(null)

JAKARTA, WongKito.co – Meski bukan asli Indonesia, dedikasi Chanee Kalaweit sebagai aktivis lingkungan patut menjadi inspirasi. Chanee Kalaweit merupakan aktivis lingkungan dan konservasionis yang telah berkontribusi besar upaya melindungi orangutan dan habitatnya di Indonesia.

Ia lahir dari ayah asal Prancis dan ibu asal Indonesia. Chanee menaruh perhatian besar terhadap keanekaragaman hayati Indonesia sejak usia muda.

Chanee di usia 18 tahun, ia berangkat ke Indonesia dengan dukungan aktris Muriel Robin, yang membiayai perjalanannya. Ia ingin mengabdikan hidupnya untuk melindungi owa yang terancam oleh hilangnya hutan.

Sesampainya di sana, ia menyadari deforestasi melampaui apa yang ia bayangkan. Ancaman tak hanya untuk owa tapi juga satwa liar. Karena hidup di pepohonan, merekalah yang pertama kali terdampak jika hutan menghilang.

Ia kemudian mendirikan pusat perawatan pertama di Kalimantan untuk mengumpulkan owa yang diselamatkan dari perdagangan manusia karena saat itu belum ada infrastruktur untuk menerima hewan-hewan tersebut.

Yayasan Kalaweit telah berdiri sejak 1998, berjuang untuk menjaga keanekaragaman hayati di Indonesia.Mereka menyelamatkan owa dan satwa lain di Kalimantan dan Sumatera dari perdagangan ilegal, sekaligus mendirikan hutan cagar swasta untuk melindungi habitat hewan-hewan tersebut.

Yayasan Kalaweit adalah lembaga konservasi yang berfokus pada pelestarian dan rehabilitasi satwa liar endemik Kalimantan, seperti owa-owa, siamang, beruang madu, buaya, dan bekantan. Yayasan ini dikenal luas karena kiprahnya dalam menyelamatkan satwa dan menjaga kelestarian habitat hutan tropis.

Yayasan Kalaweit menjadi proyek rehabilitasi owa terbesar di dunia. Mereka merehabilitasi owa yang dijadikan peliharaan. Satwa-satwa tersebut kemudian dibawa ke pusat konservasi owa di Supayang, Sumatra Barat, dan di Pararawen, Muara Teweh, Kalimantan Tengah, yang keduanya berada di kawasan hutan milik Yayasan Kalaweit.

Yayasan Kalaweit telah berhasil melepasliarkan ribuan owa ke habitat aslinya. Selain merehabilitasi satwa, Kalaweit juga aktif mengedukasi masyarakat mengenai dampak negatif deforestasi dan alih fungsi hutan yang terus meningkat.

Untuk menjaga kawasan konservasi, Kalaweit membentuk tim patroli yang rutin mengawasi area seluas ratusan hektar. Melalui program Dulan, Kalaweit berupaya melestarikan hutan dengan pendekatan kerja sama antara yayasan dan masyarakat pemilik lahan, sehingga kawasan hutan tetap terlindungi dari alih fungsi.

Salah satu lansekap hutan di Indonesia. (Kalaweit)

Pada tahun 2003, ia membuka pusat kesehatan kedua di Pulau Sumatra dan mendirikan stasiun radio Kalaweit FM yang mengudara di Kalimantan. Sejak 2012, organisasi ini telah bekerja sama dengan desa-desa mitra untuk melindungi hutan mereka, yang luasnya terus bertambah setiap tahun. Hal ini membantu melindungi satwa liar dari deforestasi dan penyelundupan.

“Di Indonesia, hutan dirusak akibat penambangan dan penebangan, terutama untuk produksi kelapa sawit. Owa muda ditangkap dan dijadikan hewan peliharaan, tetapi pada usia sekitar 7 tahun, usia kematangan seksual, hewan tersebut menjadi agresif, yang lantas dibunuh. Ketika anak-anak owa ditangkap, induknya juga sering dibunuh,” ujar Kalaweit.

Kalaweit mengatakan, di Indonesia, perusahaan menebang pohon untuk membuat furnitur, kertas, parket, dan perusahaan lain membakar hutan untuk menanam kelapa sawit. 

Pohon kelapa sawit ini digunakan untuk menghasilkan minyak sawit, yang dijual ke seluruh dunia. “Untuk hidup, hewan membutuhkan hutan yang kaya akan pepohonan dan tanaman. Jika hanya ada kelapa sawit, hewan tidak akan mampu bertahan hidup,” sambungnya.

Kalaweit telah menyelamatkan ribuan satwa, tidak hanya owa atau siamang, tapi juga beruang, monyet, buaya, binturong, reptil, burung, dan lain-lain. Sebagian besar satwa selain owa dan siamang telah dilepasliarkan.

Sementara, owa dan siamang, yang proses pelepasliarannya lebih kompleks karena sifat teritorial dan kerentanannya, sebagian besar tidak dapat dikembalikan ke alam liar dan tetap berada di fasilitas Kalaweit.

Yayasan Kalaweit memiliki tiga kawasan konservasi, yaitu The Dulan Reserve dan The Kalaweit Pararawen Nature Reserve, yang terletak di Kabupaten Barito Utara, Kalimantan Tengah. Jika digabungkan, luas kedua kawasan tersebut berkisar 750,8 hektare ditambah 304 hektare, sehingga totalnya menjadi 1.054,8 hektare.

Kawasan konservasi ketiga milik Yayasan Kalaweit terletak di Kabupaten Solok, Sumatra Barat, dengan nama The Supayang Reserve. Luasnya sekitar 400,1 hektare, saat itu dikabarkan pihak yayasan berupaya menambah 300 hektare untuk keperluan konservasi. Kawasan ini menjadi habitat bagi macan tutul, owa, siamang, harimau Sumatera, serta satwa liar lainnya.

Kini, Chanee tak sendiri. Putranya, Andrew Kalaweit, ikut membantu mengembangkan pusat konservasi untuk kelestarian alam. Sedikit berbeda dengan ayahnya, Andrew banyak memanfaatkan media digital seperti YouTube untuk edukasi dan advokasi perlindungan hutan dan satwa liar. 

Deforestasi Parah

Indonesia sendiri merupakan salah satu negara dengan tingkat deforestasi tertinggi di dunia. Dalam 50 tahun terakhir, Indonesia telah kehilangan lebih dari 50% hutannya, yang mencakup 75% wilayahnya, menurut data Yayasan Kalaweit. 

Pulau Sulawesi, Jawa, Sumatra, dan Kalimantan menjadi yang paling terdampak, dengan Sumatra dan Kalimantan kehilangan antara 60-70% hutannya akibat perkebunan kelapa sawit.

Penebangan liar kayu tropis, pesatnya pertumbuhan perkebunan kelapa sawit, pembukaan lahan untuk memperluas lahan subur dan permukiman penduduk migran, dan kebakaran hutan besar-besaran menjadi penyebab hilangnya hutan tropis Indonesia pada tingkat yang mengkhawatirkan. Luas hutan tropis Indonesia setara dengan 3 lapangan sepak bola yang hilang setiap menit.

Dengan produksi 47 juta ton minyak sawit dan 4,6 juta ton minyak inti sawit pada 2019, Indonesia menjadi produsen minyak sawit terbesar di dunia, mengungguli Malaysia. Produksi industri ini juga menimbulkan polusi udara saat konversi hutan dan pencemaran sungai akibat pembuangan pupuk dan pestisida.

Setiap perusahaan yang memperoleh izin dari pemerintah provinsi dapat menghancurkan hutan sesuka hati. Konsesi ini seringkali berada di tanah leluhur masyarakat hutan seperti Orang Rimba di Sumatra atau Penan di Kalimantan.

Bencana Kelapa Sawit

Dengan luas hingga 25.000 hektare per pertanian dan konsorsium yang mencapai beberapa ratus ribu hektare monokultur, ketika fokusnya berada di wilayah hutan, hal ini menjadi bencana lingkungan. 

Pabrik kelapa sawit mendorong pemilik lahan kecil, seringkali adalah penduduk desa, untuk menanam pohon sawit di tanah mereka, yang menyebabkan semakin banyak kebakaran selama musim kemarau.

Area-area ini jarang tercatat dalam data resmi. Kondisi administrasi juga memungkinkan keberadaan perkebunan sawit di dalam taman nasional. Penebangan liar telah terdeteksi di 37 dari 41 taman nasional melalui survei oleh pihak berwenang Indonesia.

Asap beracun yang kerap menyelimuti Kalimantan dan Sumatra semakin membuat penduduk resah. Namun, negara dijalankan dengan tangan besi, sehingga warga Indonesia jarang melakukan protes.

Beberapa tahun, angka deforestasi berkurang, yang seolah menjadi sinyal positif. Padahal, penurunan ini seringkali disebabkan oleh musim hujan yang mencegah lahan terbakar, namun pembakaran akan terjadi lagi pada musim kemarau berikutnya.

Banjir di Sumatra

Baru-baru ini, banjir bandang dan tanah longsor yang terjadi di Sumatra Barat, Sumatra Utara, dan Aceh pada akhir November 2025 meninggalkan luka mendalam. Berdasarkan catatan Wahana Lingkungan Hidup (Walhi), bencana ini disebabkan kerentanan ekologi yang terus meningkat akibat perubahan pada bentang alam penting seperti hutan, yang semakin diperburuk oleh krisis iklim.

Data Walhi, tahun 2016-2025 seluas 1,4 juta hektar hutan di Aceh, Sumatra Utara, dan Sumatra Barat mengalami deforestasi akibat kegiatan 631 perusahaan yang memiliki izin tambang, HGU sawit, PBPH, geotermal, serta izin PLTA dan PLTM.

Bencana di ketiga provinsi ini berasal dari wilayah Daerah Aliran Sungai (DAS) besar, yang bagian hulu-nya terletak di kawasan hutan Bukit Barisan. Di Sumatra Barat sendiri DAS Aia Dingin, salah satu DAS administratif penting di Kota Padang, memiliki luas 12.802 hektare.

Secara topografi, daerah hulu DAS ini memiliki kemiringan dari datar hingga terjal, dengan bagian hulu terletak di Kawasan Hutan Konservasi Bukit Barisan yang seharusnya berperan sebagai benteng ekologis utama. Namun, kawasan ini mengalami degradasi cukup parah akibat tekanan dari aktivitas manusia.

Di tahun 2001 hingga 2024, DAS Aia Dingin kehilangan 780 hektare tutupan pohon, dengan sebagian besar deforestasi terjadi di wilayah hulu yang berperan penting dalam meredam aliran permukaan dan mencegah terjadinya banjir bandang.

Andre Bustamar dari Walhi Sumbar mengatakan bencana di wilayahnya disebabkan oleh akumulasi krisis lingkungan akibat kegagalan pemerintah dalam mengelola sumber daya alam. Deforestasi, pertambangan emas ilegal, dam lemahnya penegakan hukum menjadi faktor utama yang membuat Sumatra Barat terus mengalami bencana ekologis.

Munculnya tunggul-tunggul kayu yang terbawa arus sungai menandakan adanya aktivitas penebangan di wilayah hulu DAS. Hal ini memperkuat dugaan bahwa praktik eksploitasi hutan masih terjadi dan menjadi penyebab langsung meningkatnya risiko bencana ekologis.

Tulisan ini telah tayang di TrenAsia.com, jejaring media WongKito.co, pada 5 Desember 2025.

Editor: Redaksi Wongkito
Redaksi Wongkito

Redaksi Wongkito

Lihat semua artikel

Related Stories