KabarKito
Kawasan Hutan Hilang 30 Juta Hektar, Masukan RUU Kehutanan Diserahkan ke DPR
JAKARTA, WongKito.co —Yayasan KEHATI bersama Forum Dialog Konservasi Indonesia (FDKI) menyerukan perlunya perubahan paradigma tata kelola kehutanan. Seruan ini ditandai dengan penyerahan Policy Brief “Memperkuat Keadilan Ekologis dan Menata Ulang Relasi Kuasa atas Hutan” kepada Panitia Kerja (Panja) RUU Kehutanan Komisi IV DPR RI, Selasa (24/06/2025).
Dokumen ini diterima langsung oleh anggota Komisi IV DPR Darori Wonodipuro, di Ruang Komisi IV DPR. Penyerahan dilakukan oleh Koordinator FDKI Muhamad Burhanudin, bersama perwakilan sejumlah organisasi masyarakat sipil, seperti ICEL, Forest Watch Indonesia, Sawit Watch, Sajogjo Institute, Indonesia Parliament Watch, dan HUMA.
Dokumen Policy Brief tersebut merupakan sintesis berbagai masukan dari masyarakat sipil, akademisi, dan pakar lingkungan di Indonesia yang dirangkum dalam rangkaian dialog publik oleh FDKI bersama Yayasan KEHATI, yang berisi aspirasi pentingnya tata kelola hutan yang adil, partisipatif, dan berkelanjutan.
Burhanudin menegaskan, paradigma pengelolaan hutan Indonesia selama ini sangat berorientasi pada produksi, bukan perlindungan ekologis.
“Substansi UU 41/1999, apalagi setelah sejumlah pasal diubah sebagian melalui UU Cipta Kerja, semakin condong mendukung kepentingan investasi daripada menjaga fungsi ekologi hutan,” ujar Burhanudin yang juga Manajer Kebijakan Lingkungan Yayasan KEHATI.
Fakta menunjukkan dalam empat dekade terakhir, lanjut Burhanudin, Indonesia kehilangan lebih dari 30 juta hektar kawasan hutan. Dari sekitar 125 juta hektar kawasan hutan yang ditetapkan sejak 1980-an, kini hanya sekitar 87 juta hektar yang masih memiliki tutupan hutan primer dan sekunder.
“Bahkan, hutan primer tinggal tersisa kurang dari 47 juta hektar. Sebagian besar deforestasi terjadi akibat ekspansi perkebunan sawit, industri pulp and paper, pertambangan, dan pembangunan infrastruktur,” jelasnya.
Lebih dari separuh kawasan hutan Indonesia dialokasikan untuk fungsi produksi, bukan perlindungan ekologis. Bahkan kawasan konservasi dan lindung pun menghadapi tekanan eksploitasi karena lemahnya penegakan hukum dan orientasi kebijakan yang berbasis pertambangan dan perkebunan monokultur.
- Podomoro Golf View Hadirkan Royaltrans: Kawasan Superblok Terintegrasi Kini Terkoneksi ke LRT Harjamukti
- Gerobak Dimsum Anti Bokek Palembang: Blueprint Sukses UMKM dari Mahasiswa Universitas IBA
- Hari Lingkungan Hidup Sedunia 2025, Tanam 4.000 Mangrove di Sungsang
Dalam policy brief tersebut, selain mendesak adanya perubahan paradigma tata kelola kehutanan perwakilan lembaga-lembaga masyarakat sipil tersebut juga menawarkan serangkaian rekomendasi konkret untuk revisi UU Kehutanan, salah satunya reorentasi dalam pengaturan status hutan, yaitu dari hutan adat sebagai bagian dari hutan negara, menjadi hutan adat sebagai status tersendiri sebagaimana diatur dalam putusan MK Nomor 35/PUU-X/2012MK.
“Hal ini sangat penting, karena selama ini hutan adat dimasukkan ke dalam hutan negara, sehingga menjadi akar bagi banyaknya kriminalisasi dan penyingkiran terhadap masyarakat adat,” kata Ayut Enggeliah dari Sawit Watch.
Usulan lainnya dalam Policy Brief ini adalah inventarisasi hutan yang partisipatif, transparan, berbasis hak, dan berbasis sains; pengukuhan kawasan hutan yang adil dan partisipatif, serta memastikan batas minimal kawasan hutan tetap terjaga untuk keberlanjutan ekologi (minimal 30% dari daratan).
Selain itu, didorong juga penguatan perlindungan hak masyarakat hukum adat melalui perubahan mendasar pada Pasal 67; transparansi penuh atas data dan informasi kehutanan yang dapat diakses oleh public; reformasi mekanisme perizinan untuk mencegah korupsi dan kolusi; perluasan tujuan rehabilitasi dan reklamasi hutan dengan mengedepankan fungsi sosial-ekologis; revitalisasi pengawasan, termasuk perlindungan bagi pelapor pelanggaran kehutanan.
Lebih jauh, Burhanudin menegaskan, perubahan ini bukan sekadar kebutuhan nasional, tetapi juga merupakan bagian dari tanggung jawab Indonesia secara global. Sebagai salah satu negara dengan hutan tropis terbesar, Indonesia memiliki peran kunci dalam mitigasi krisis iklim dunia.
“Tanpa perlindungan hutan yang serius, janji Indonesia dalam forum-forum global seperti Konvensi Perubahan Iklim dan target NDC akan menjadi ilusi belaka,” tukas dia.
Status hutan adat
Anggota Komisi IV DPR Darori menyambut baik masukan dari Yayasan KEHATI dan FDKI ini. Komisi IV DPR terbuka dengan masukan-masukan masyarakat terkait UU Kehutanan. “Proses penyusunan RUU Kehutaan baru ini masih Panjang. Masih ada waktu dari masyarakat sipil untuk memberi masukan,” ujarnya.
- Kolaborasi Strategis! PSN Gandeng BRIN dan PT LEN Bangun Teknologi Satelit Nasional
- Gerakan Sehat Lingkar Tambang Dimulai: Menyapa Lahat dengan Membangun Kepercayaan dan Membuka Harapan
- UMKM Dongkrak Pertumbuhan Ekonomi Kota Palembang
Terkait substansi masukan-maskan Yayasan KEHATI dan FDKI, Darori menyatakan sebagaian besar sudah sejalan dengan usulan-usulan yang dia sampaikan di Komisi IV DPR.
“Misalnya terkait agar hutan adat dikeluarkan dari status hutan negara, saya sangat setuju. Semestinya UU mengatur itu. Hal ini sering saya sampaikan, tidak hanya di hutan negara, tapi juga di hutan konsesi. Kalau pemilik perkebunan di dalamnya ada masyarakat adat, ya keluarkan juga (status hutannya),” ujar dia.
Dia juga menyoroti perlunya larangan dalam UU Kehutanan terkait pemanfaatan dan perizinan hutan untuk tujuan di luar kehutanan di hutan lindung, seperti pertambangan dan perkebunan.
“Pasal 38 (tentang izin kehutanan di hutan lindung) yang telah diubah dan ditambah di UU CK itu harus direvisi juga. Itu jelas telah merusak hutan lindung,” tandas Darori. (*)