KCIF2025: Pentingnya, Memosisikan Feminisme Indonesia Gerakan Sosial-Politik yang Tidak Terisolasi

Penutupan KCIF2025 (Ist)

JAKARTA, WongKito.co -  Kegiatan tahunan, Annual Kartini Conference on Indonesian Feminisms atau KCIF kembali diselenggarakan untuk ketiga kalinya, yang diselenggarakan secara online melalui Zoom pada 14-21 September 2025 dengan mengusung tema “Di Antara Badai Krisis Internal dan Eksternal: Masa Depan Feminisme dan Aktivisme Feminis, dengan peserta lebih dari 1.000 orang telah ditutup.

Koordinator Program KCIF2025 sekaligus Pendiri dan Koordinator LETSS Talk, DiahIrawaty, dalam sesi Diskusi dan Launching Buku "Feminisme di Persimpangan" di konferensi ini menggarisbawahi penting memosisikan feminisme Indonesia sebagai gerakan politik dan pemikiran yang tidak terisolasi dari dinamika sosial-politik.

Karenanya, agenda-agenda feminisme perlu berorientasi menjawab persoalan-persoalan yang berkembang.  Melalui berbagai diskusi dan pertukaran pemikiran, KCIF menawarkan ide dan gagasan untuk menguatkan kerja advokasi perubahan sosial, katanya, Minggu (21/9/2025).  

Baca Juga:

Sementara dalam saat sambutan penutupan, Farid Muttaqin, Chair Conference KCIF2025, menegaskan bahwa di tengah situasi krisis keadilan social.

"Inilah waktu yang paling membutuhkan konsolidasi gerakan feminisme, untuk melakukan perlawanan terhadap rezim di satu sisi dan menyebarkan solidaritas kemanusiaan di sisi lain," kata dia.

Sejarawan dan antropolog feminis pengkaji Indonesia dari Universitas Amsterdam, Prof. Dr.Saskia Wieringa dalam dalam pidato kunci bertema “Konfrontasi Otoritarianisme Baru: Memosisikan Ulang Feminisme di Indonesia dan Wilayah Lainnya”, menyampaikan bahwa kita perlu gerakan perempuan yang berisi para superwoman yang berani melakukan upaya membangun, kesetaraan yang radikal antara kelompok sosial, dengan penuh empati, kasih sayang, dan cinta.

Agama sebagai aspek penting dalam kehidupan masyarakat tidak boleh jadi sumber kebencian melainkan sumber kekayaan dan kekuatan spiritual dan integritas kita sebagai manusia.

"Perlu Manifesto perubahan struktural, baik legislatif, eksekutif, dan yudikatif. Indonesia bisa adil dan setara apabila Pancasila dan UUD 45 sudah dihormati dengan integritas moral tinggi, atas musyawarah dan supremasi sipil bukan militer. Kita bisa mencapai SDG’s, kemudian
harus ada akuntabilitas dan transparansi, perlu ada pengarusutamaan gender, serta harus melindungi hak-hak kemanusiaan, utamanya perempuan, dan juga kita harus melindungi lingkungan, serta hak-hak komunitas, kemudian melindungi dan memperbaiki pembangunan, pendidikan, dan seni di Indonesia," tegas Saskia.

Para tokoh feminisme Indonesia yang menjadi pembicara dalam Special Plenary Session "Oligarki dan Militerisme Mengepung Negara: Bagaimana Feminisme Indonesia Bereaksi?" juga menyampaikan pandangannya tentang dampak menguatnya oligarki dan militerisme  yang menguat dalam kekuasaan politik saat ini pada gerakan kesetaraan gender.

Ita Fatia Nadia, sejawaran feminis, menyatakan bahwa militerisme dan patriarki memiliki hubungan saling menguatkan, menciptakan siklus di mana nilai-nilai maskulin, kekuasaan, dan dominasi militer sering kali memperkuat hierarki gender yang meminggirkan perempuan,
kelompok marginal, dan kelompok dengan ragam gender dan seksual.

"Seluruh sistem oligarki dikuasai para patriarkh. Militer bahkan telah menempatkan tubuh dan seksualitas perempuan dalam satu lingkaran penting, di mana tubuh dan seksualitas perempuan telah menjadi satu fokus atau pendekatan dalam militerisme," ungkap Ita Fatia Nadia.

Baca Juga:

Menurut Maria Ulfah Anshor, Ketua Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan), praktik politik oligarki dalam proses bernegara melemahkan dan meminggirkan kesetaraan hak, khususnya hak perempuan dan kelompok marginal karena kekuasaan kelompok tertentu yang sangat dominan yang menguasai sistem politik.

"Pemilu melahirkan kebijakan-kebijakan yang cenderung menguntungkan para peserta  koalisi oligarki di berbagai level kepemimpinan. Politik dinasti menguat, politik uang, kooptasi kebebasan akademik, menyempitnya ruang publik dan kebebasan berekspresi, bahkan komunikasi politik satu arah yang berpotensi mengesampingkan penegakan Hak  Asasi Manusia (HAM) perempuan, khususnya hak sipil berpolitik dan hak-hak sebagai warga negara", ujarnya Maria Ulfah.(ril)


Related Stories