KabarKito
Kecam Perkawinan Usia Anak di Lombok Tengah, Menteri PPPA: Pelanggaran Serius Hak Anak
JAKARTA, WongKito.co - Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA), Arifah Fauzi mengecam keras praktik perkawinan usia anak yang viral terjadi di Kabupaten Lombok Tengah, Nusa Tenggara Barat (NTB). Ia menegaskan bahwa pernikahan tersebut merupakan bentuk pelanggaran serius terhadap hak anak yang tidak dapat dibenarkan dengan alasan adat maupun budaya.
“Pernikahan yang terjadi di Lombok Tengah jelas merupakan bentuk perkawinan usia anak, karena anak laki-laki berusia 17 tahun dan perempuan masih 15 tahun. Menikahkan anak berarti melanggar hak dasar anak, termasuk hak atas pendidikan, perlindungan, dan tumbuh kembang yang layak,” tegasnya.
Arifah menyatakan bahwa batas usia minimal untuk menikah di Indonesia adalah 19 tahun untuk laki-laki maupun perempuan, sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.
“Menikahkan anak bukan hanya melanggar hukum, tetapi juga dapat berujung pada sanksi pidana maupun administratif,” imbuh dia.
Baca Juga:
- Tak Perlu ke Bank, Ini Cara Ajukan Easy Card BRI Langsung dari Website
- Pemberangkatan Usai, Embarkasi Palembang Total Berangkatkan 8.115 Jemaah Haji
- Strategi BI Borong SBN, Intervensi untuk Jaga Stabilitas atau Ancaman bagi Ekonomi?
Dia mengatakan, pemerintah telah berkomitmen untuk melindungi hak-hak anak dari segala bentuk kekerasan, termasuk dengan mencegah terjadinya perkawinan anak. Bahkan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS) dalam Pasal 4 secara tegas menyebutkan bahwa pemaksaan perkawinan anak merupakan bentuk kekerasan seksual.
Picu Putus Sekolah dan Stunting
Lebih lanjut, Arifah menegaskan, perkawinan usia anak bukan hanya masalah pribadi atau keluarga, melainkan persoalan sosial dan pembangunan nasional. Ia menyebutkan, praktik ini berdampak pada tingginya angka putus sekolah, meningkatnya prevalensi stunting, serta rendahnya rata-rata lama sekolah, terutama di daerah dengan praktik perkawinan anak yang tinggi.
“Mengurangi praktik perkawinan anak berarti melindungi anak-anak dari dampak jangka panjang, baik dari sisi kesehatan, pendidikan, ekonomi, maupun sosial," ujarnya.
Usia adalah indikator penting kesiapan untuk menikah, dan negara wajib memastikan anak-anak tumbuh dalam lingkungan yang mendukung mereka menjadi generasi sehat dan cerdas.
Arifah turut menyampaikan apresiasi atas langkah yang telah dilakukan aparat desa seperti Kepala desa, kepala dusun, Babinsa (Bintara Pembina Desa), dan Bhabinkamtibmas (Bhayangkara Pembina Keamanan dan Ketertiban Masyarakat) dengan telah berupaya mencegah terjadinya praktik perkawinan usia anak dan oleh Koalisi OMS Stop Kekerasan Seksual di NTB yang melaporkan kasus ini ke Polres Mataram.
“Aparat desa dan orang tua dikabarkan telah melakukan berbagai upaya untuk mencegah pernikahan anak ini. Namun, pasangan tersebut tetap bersikeras untuk menikah. Tentu ini merupakan langkah yang amat baik dari lingkungan, namun juga menjadi cerminan bahwa langkah preventif yang lebih dini harus dilakukan bersama, sehingga pemahaman tentang pencegahan perkawinan anak bisa masuk ke ruang keluarga,” jelas Menteri PPPA.
Dia mengajak anak-anak, khususnya di Provinsi Nusa Tenggara Barat (NTB), baik melalui Forum Anak maupun ruang-ruang lain di mana mereka berada, untuk terus menyuarakan aspirasi dan kepentingan terbaik mereka.
Menurutnya, suara anak dijamin oleh Undang-Undang dan sangat berharga, terutama memastikan seluruh Kabupaten dan Kota di NTB menjadi wilayah layak anak, yang berarti juga bebas dari praktik perkawinan anak.
Baca Juga:
- Hoaks: Video Pembuatan Beras dari Botol Bekas, Cek Hasil Penelusurannya
- Rasakan Sensasi Berkunjung ke Kebun Binatang di Mal, Pocket Zoo Hadirkan Hiburan dan Edukatif
- Makin Dekat dengan Pelanggan, JNE Buka Titik Layanan Baru di Palembang
"Kami juga mengajak anak-anak untuk menjadi teman sebaya yang memberikan dukungan positif kepada sesama, terutama dalam menuntut hak-hak mereka dan melawan isu-isu diskriminatif,” kata Arifah.
Pihaknya terus mendorong Pemerintah Provinsi dan seluruh Kabupaten/Kota di NTB untuk menginvestasikan banyak sumberdaya di kegiatan positif bagi anak muda untuk pengembangan diri, berkreasi dan berekspresi, serta penguatan kecakapan hidup anak dan remaja, disamping edukasi masyarakat tentang hak-hak anak.
Kemen PPA juga mengajak masyarakat yang mengalami, mendengar, melihat, atau mengetahui kasus kekerasan, eksploitasi, maupun perkawinan anak untuk berani melapor ke lembaga-lembaga layanan seperti UPTD PPA, Penyedia Layanan Berbasis Masyarakat, dan Kepolisian. Selain itu, masyarakat juga dapat melapor melalui hotline Sahabat Perempuan dan Anak (SAPA) 129 atau Whatsapp 08111-129-129. (*)