Destinasi & Kuliner
Keragaman Daya Tarik 3 Kampung di Tepian Sungai Musi
PALEMBANG, WongKito.co - Di tepian Sungai Musi Palembang terdapat tiga kampung dengan pesona autentik, antara lain Kampung Al Munawwar, Kampung Kapitan, dan Kampung Perigi. Ketiganya menjadi cerminan keragaman di Palembang yang tentu saja sangat menarik untuk dikunjungi.
Meski sedikit luput dari perhatian pemerintah setempat ataupun masyarakat umum, pesona dari ketiganya terus dikembangkan menjadi destinasi wisata sejarah, budaya, dan religi di kota pempek.
Berikut ulasan tiga kampung di tepian Sungai Musi Palembang dengan masing-masing cerita tradisinya:
1. Kampung Al Munawwar

Kampung arab Al Munawwar pernah menjadi primadona wisata saat perhelatan Asian Games XVIII di Palembang. Api obor Asian Games yang dibawa rombongan kirab Torch Relay sempat menyambangi kampung ini setelah sebelumnya diarak melintasi Sungai Musi. Lokasinya di Kelurahan 13 Ulu, Kecamatan Seberang Ulu 2 Palembang.
Di sini terdapat delapan rumah berusia ratusan tahun yang masih kokoh. Rumah-rumah tersebut terbuat dari kayu dan batu yang didatangkan dari Eropa. Dibangun pada abad ke-18 oleh seorang ulama sekaligus pedagang asal Yaman, Habib Abdurrahman Al Munawwar untuk putra-putrinya. Sejumlah rumah tua itu sudah masuk ke dalam cagar budaya.
Hal menarik lain dari Kampung Al Munawwar adalah tradisi religinya yang masih terjaga. Semua penduduk kampung, mulai dari anak hingga dewasa diharuskan memperdalam ilmu agama dan menerapkannya dalam kehidupan sehari-hari. Dua rumah di tengah kampung bahkan dijadikan madrasah (sekolah) dan tempat pengajian. Selain itu, kegiatan kesenian gambus para pemuda Al Munawwar biasanya dihadirkan pada perayaan Maulid Nabi ataupun Tahun Baru Islam.
- Kiat Manjaga Berat Badan Tetap Ideal di Liburan Akhir Tahun
- Rekomendasi Jual atau Beli, Harga Perak Cetak Rekor Lagi
- Intip Yuk Resep Biskuit Marie Wijen
Salah satu keturunan Al Habib Al Munawwar, Ummi Fatimah mengatakan, penduduk kampung ini didominasi keluarga besarnya. Masing-masing keluarga menempati rumah yang dibangun leluhurnya tersebut, bahkan ada rumah berisi beberapa Kepala Keluarga. Dia sendiri tinggal di Rumah Batu berkusen pintu dan jendela setinggi 4 meter dengan ubin marmer. Rumah Batu kerap menjadi tempat makan bersama hidangan nasi minyak bernuansa Arab untuk para pengunjung.
Diakuinya, saat ini kunjungan wisata ke Kampung Al Munawwar berkurang dibandingkan tahun 2018, terutama saat pandemi lalu. Namun, hal itu bukan menjadi masalah bagi warga setempat, sebab ketenaran sebelumnya cukup mengundang ketidaknyamanan. Sebab, beberapa kelakuan pengunjung dinilai tidak sesuai dengan tradisi mereka, misalnya pengunjung datang dengan pakaian terbuka atau menjadikan Kampung Al Munawwar sebagai lokasi prawedding.
“Sesekali masih ada pengunjung, tidak kami larang sepenuhnya. Hanya saja situasinya sudah beda, tidak lagi ramai dan tidak ada tarif,” kata dia.
2. Kampung Kapitan

Kampung kapitan adalah pemukiman etnis Tionghoa di Kelurahan 7 Ulu, Kecamatan Seberang Ulu 1 Palembang. Lokasinya tidak jauh dari Jembatan Ampera, tepat berseberangan dengan Benteng Kuto Besak. Daya tarik utama kampung ini adalah bangunan-bangunan tua perpaduan Tionghoa - Belanda.
Di tengah pemukiman terdapat dua bangunan berusia lebih 400 tahun yang dulu merupakan tempat tinggal sekaligus kantor dagang seorang kapitan utusan Dinasti Ming. Pada masa kolonial, Belanda mengangkat seorang perwira Tiongkok untuk mengatur wilayah 7 Ulu dan jabatannya diwariskan hingga kapitan terakhir, Tjoa Ham Hin di tahun 1855.
Rumah Kapitan terdiri dari rumah kayu dan rumah batu yang dihubungkan dengan selasar. Keduanya berdesain rumah panggung dengan tangga di depan teras. Bedanya, desain rumah kayu perpaduan gaya melayu dan Tiongkok, sementara rumah batu bergaya Eropa dengan pilar dan jendela besar. Dua rumah ini selalu ramai dikunjungi di momen Imlek dan Capgomeh.
Keturunan Tjoa menjaga tradisi dengan menempatkan meja abu, altar sembayang, dan sejumlah sinci atau papan arwah bertuliskan huruf Tiongkok kuno. Sinci itu tersusu rapi di atas meja altar. Ketika digelar Festival Capgomeh biasanya Rumah Kapitan akan ditampilkan apa adanya, hanya ditambahkan ornamen atau lampion-lampion merah.
Kampung Perigi

Ketika berkunjung ke Kampung Perigi bisa dirasakan suasana melayu Palembang. Kampung ini berada di Lorong Tangga Raja, Kelurahan 2 Ulu, dekat dengan Jembatan Musi VI Palembang. Menariknya, di dalam kampung terdapat kawasan Raden, kawasan Masagus, dan kawasan Kemas yang berarti warga di kawasan itu merupakan keturunan asli Palembang.
Kampung Perigi menjadi pusat pembuatan berbagai peralatan rumah tangga berbahan aluminium. Seperti cetakan kue dengan beragam ukuran hingga dandang nasi untuk masak besar. Selain itu, di Kampung Perigi bisa melihat proses pembuatan rokok pucuk nipah, yakni rokok tradisional Palembang. Tepat di pinggiran Sungai Musi, terdapat bengkel pembuatan ketek atau perahu dari kayu meranti.
Kampung Perigi disebut juga Kampung Perigi Tua karena ada sejak tahun 1823 berdasarkan peta sketsa yang dibuat oleh Belanda. Di sini bisa dijumpai rumah-rumah tradisional Palembang, seperti rumah limas, rumah bari, rumah rakit, dan rumah caro gudang. Rumah-rumah tradisional tersebut dibangun sekitar tahun 1920 - 1930.
- Menuju Mindful Beauty: barenbliss Menguak Tren K-Beauty 2026
- Hoaks: Warga Aceh Unjuk Rasa Tuntut Bebaskan Reporter CNN, Cek Faktanya Yuk!
- Potret Gagap Penanggulangan Galodo
Rumah limas khas Palembang umumnya berbentuk rumah panggung yang memiliki ornamen ukiran. Lantainya mempunyai perbedaan ketinggian atau berundak. Salah satunya yakni rumah limas milik Ahmad Fanhuri, tetua Kampung Perigi.
Namun, rumah limas yang menjadi rumah singgah Bung Karno tahun 1940-an itu sudah sedikit miring meski di dalamnya tetap terawat. Fanhuri mengakui, dia dan keluarga sudah berupaya menggantikan 10 cagak tiang dengan beton pada 2023 lalu. Tiang sebelumnya yang terbuat dari kayu ulen sudah rapuh dimakan usia dan tergerus air pasang sungai. Rumah limas ini berusia 230 tahun yang berarti sudah masuk kriteria cagar budaya.
Khoiriyyah, adik Fanhuri, menambahkan, dia dan warga Kampung Perigi, khususnya perempuan, biasa menyiapkan masakan besar untuk acara Ngidang atau makan bersama ala Palembang di rumah limas. Satu hidangan untuk delapan orang itu berisi nasi minyak, malbi, sambal nanas, acar, dan buah, dan perlu disiapkan lebih satu hidangan. Karena itu, kondisi dapur memang patut bersih dan aman. (yulia savitri)

