BucuKito
Ketika Pembangunan Sekolah Mengabaikan Prinsip Aksesibilitas
Oleh: Muhammad Ridho Akbar*
PENDIDIKAN adalah hak dasar setiap anak Indonesia, namun bagaimana jika akses menuju pendidikan itu sendiri menjadi hambatan utama?. Salah satu contohnya di SMP Negeri 3 Talang Kelapa, Kabupaten Banyuasin, Sumatera Selatan menjadi cermin nyata bagaimana perencanaan pembangunan pendidikan yang kurang matang dapat menciptakan permasalahan jangka panjang bagi masyarakat.
Sekolah yang berdiri pada tahun 2015 dengan dana DAK ini memiliki lokasi yang kontroversial. Dibangun di atas tanah hibah yang terletak jauh dari permukiman warga dan dikelilingi perkebunan sawit, sekolah ini seolah-olah menjadi pendidikan di tengah sulitnya aksesibilitas. Pertanyaannya adalah, apakah pembangunan pendidikan seperti ini benar-benar melayani kepentingan masyarakat atau justru menjadi beban tambahan bagi para siswa dan keluarganya?
Kisah Muhammad Khadafy (19) , alumni angkatan kedua yang harus berjuang menempuh perjalanan sulit setiap hari untuk mencapai sekolah, memberikan gambaran nyata tentang dampak dari kebijakan pembangunan yang tidak mempertimbangkan aspek aksesibilitas. Bayangkan, seorang anak harus berjalan kaki sejauh 2,5 kilometer dari jembatan terdekat hanya untuk sampai ke sekolah, belum lagi tantangan saat musim hujan tiba dengan jalan tanah merah yang licin dan berbahaya.
Baca Juga:
- Meterai Resmi Kini Hadir di Toko SRC, Buah Sinergi dengan PT Pos Indonesia
- Siapkan Payung! Prakiraan Cuaca Palembang, Selasa 8 Juli, Berpotensi Hujan Ringan
- Begini Resep Bolu Rempah Almond
Kondisi ini memunculkan pertanyaan mendasar tentang esensi pendidikan itu sendiri. Apakah pendidikan yang berkualitas harus ditebus dengan penderitaan fisik dan psikologis para siswa? Bukankah seharusnya lingkungan belajar yang kondusif dan mudah dijangkau menjadi prioritas utama dalam pembangunan fasilitas pendidikan?
Seperti yang dijelaskan oleh Kepala SMP Negeri 3 Talang Kelapa, Gustina Rita, lokasi sekolah tidak benar-benar terisolasi. Namun, kenyataan bahwa sekolah sering menghadapi masalah banjir karena dulunya merupakan area rawa menunjukkan bahwa survei kelayakan lokasi tidak dilakukan dengan cermat. Bagaimana mungkin membangun sekolah di area yang rentan banjir tanpa mempertimbangkan dampaknya terhadap kontinuitas pembelajaran?
Keterbatasan sinyal telekomunikasi yang dialami sekolah ini juga menjadi ironi di era digital. Sementara pemerintah gencar mendorong transformasi digital dalam pendidikan, masih ada sekolah yang kesulitan mengakses teknologi dasar seperti internet. Hal ini tentu saja memperlebar kesenjangan pendidikan antara daerah maupun di kota.
Tantangan bagi Siswa
Namun, di balik segala tantangan ini, ada semangat luar biasa yang ditunjukkan oleh siswa sekolah. Siswa seperti Khairul Azzam (14) yang tetap bersemangat belajar meskipun harus menghadapi berbagai rintangan menunjukkan bahwa motivasi belajar tidak dapat dipatahkan oleh kondisi geografis yang sulit. Hal ini sekaligus menjadi tamparan keras bagi para pengambil kebijakan yang seharusnya memberikan fasilitas terbaik bagi generasi penerus bangsa.
Perkembangan yang terjadi belakangan ini, seperti perbaikan akses jalan dan munculnya tempat wisata di sekitar sekolah, memang patut diapresiasi. Namun, perkembangan ini datang terlambat dan seharusnya menjadi pertimbangan sejak awal perencanaan pembangunan. Berapa banyak generasi siswa yang harus menderita sebelum kondisi ini membaik?
Kasus SMP Negeri 3 Talang Kelapa seharusnya menjadi pelajaran berharga bagi pemerintah daerah dan pusat. Pembangunan sekolah tidak boleh hanya berfokus pada ketersediaan tanah hibah atau pertimbangan ekonomis semata. Aksesibilitas, kenyamanan siswa, dan keberlanjutan operasional sekolah harus menjadi prioritas utama.
Pengalaman siswa yang harus berjuang melawan elemen alam setiap hari untuk mendapatkan pendidikan menunjukkan adanya ketimpangan dalam sistem pendidikan kita. Sementara siswa di daerah perkotaan dapat dengan mudah mengakses sekolah, siswa di daerah terpencil harus mengorbankan waktu dan tenaga ekstra hanya untuk sampai ke sekolah.
Dampak jangka panjang dari kondisi ini bisa sangat merugikan. Siswa yang lelah karena perjalanan yang melelahkan tentu tidak dapat belajar dengan optimal. Belum lagi jika kondisi cuaca buruk memaksa siswa untuk tidak masuk sekolah, hal ini akan berdampak pada kualitas pembelajaran dan prestasi akademik mereka.
Baca Juga:
- Jembatan di Jalan Nasional Lahat-Muara Enim Roboh, Anak Padi Serukan Pemerintah Tanggung Jawab
- Cerita Pensiunan PNS Antre Hari Pertama Ambil Gaji di Kantor Pos Merdeka
- Event Parenting Terbesar di Palembang! Kunjungi MOMBEE di Palembang Indah Mall
Sekolah yang dibangun di lokasi yang sulit dijangkau juga berpotensi menurunkan minat masyarakat untuk menyekolahkan anaknya. Orang tua akan berpikir dua kali untuk mengirim anak mereka ke sekolah yang membutuhkan perjuangan ekstra hanya untuk sampai di sana. Akibatnya, tujuan pemerataan pendidikan justru tidak tercapai.
Ke depan, pemerintah perlu menerapkan standar yang lebih ketat dalam pemilihan lokasi pembangunan sekolah. Survei mendalam tentang kondisi geografis, aksesibilitas transportasi, dan potensi bencana alam harus menjadi syarat wajib sebelum memutuskan lokasi pembangunan. Jangan sampai semangat pemerataan pendidikan justru menciptakan ketimpangan baru dalam bentuk sulitnya akses menuju pendidikan.
Pendidikan yang berkualitas bukan hanya tentang gedung yang megah atau fasilitas yang lengkap, tetapi juga tentang kemudahan akses dan kenyamanan siswa dalam menuntut ilmu. Setiap anak Indonesia berhak mendapatkan pendidikan yang tidak hanya berkualitas, tetapi juga mudah dijangkau. Sudah saatnya kita memprioritaskan prinsip aksesibilitas dalam setiap pembangunan fasilitas pendidikan, karena pendidikan yang sulit dijangkau sama saja dengan pendidikan yang tidak tersedia.
*Mahasiswa Prodi Jurnalistik UIN Raden Fatah Palembang, Angkatan 2023