Marak Perkawinan Anak, KemenPPPA Edukasi Kesehatan Reproduksi untuk Cegah Pernikahan Dini

Marak Perkawinan Anak, KemenPPPA Edukasi Kesehatan Reproduksi untuk Cegah Pernikahan Dini (Kemenpppa.go.id)

JAKARTA, WongKito.co - Kekinian, kasus perkawinan makin marak terungkap sehingga menjadi masalah serius yang mesti ditanggulangi.

Menyikapi kondisi tersebut, Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KemenPPPA) berkomitmen serius dengan melakukan intervensi di hulu melalui penguatan sumber daya manusia (SDM) berupa edukasi.

Plt. Deputi Pemenuhan Hak Anak KemenPPPA, Rini Handayani mengatakan upaya pencegahan perkawinan anak harus dimulai dari edukasi kesehatan reproduksi baik kepada anak dan orang tua.

“Perkawinan anak merupakan tantangan dalam pembangunan SDM dikarenakan memiliki dampak yang multiaspek dan lintas generasi," kata dia akhir pekan ini.

Baca Juga:

Ia menjelaskan selain itu, perkawinan anak juga merupakan bentuk pelanggaran hak anak yang dapat menghambat dalam mendapatkan hak-haknya secara optimal.

Dimana anak berhak mendapatkan kasih sayang orang tua, pendidikan, kesehatan dan hak normatif lainnya,” ujar Rini.

Catatan selama 2020-2022, Direktorat Jenderal Badan Peradilan Agama Mahkamah Agung Republik Indonesia mencatat perkara dispensasi kawin mengalami penurunan setiap tahunnya.

Pada 2022, tercatat sebanyak 52.095 perkara dispensasi kawin yang masuk dan sebanyak 50.748 diputuskan. Angka tersebut masih tergolong besar dan menunjukkan bahwa perkawinan anak masih banyak terjadi dilihat dari jumlah permohonan perkara dispensasi kawin yang masuk ke pengadilan.

“Meskipun data prevalensi perkawinan anak di Indonesia menunjukkan penurunan setiap tahunnya, masih banyak perkawinan anak dan remaja yang terjadi dan setiap tahunnya tidak dapat dicatatkan karena tidak membawa perkara dispensasi kawin ke pengadilan. Diperlukan upaya sistemik dan terpadu dalam menekan angka perkawinan anak untuk mencapai target 6,94 persen pada tahun 2030,” ujar dia lagi.

Faktor marak perkawinan anak

Rini mengungkapkan, ada banyak faktor yang ditenggarai berkontribusi dalam perkawinan anak diantaranya faktor kemiskinan, geografis, pendidikan, ketidaksetaraan gender, masalah sosial, budaya, dan agama, serta minimnya akses terhadap layanan dan informasi kesehatan reproduksi yang komprehensif.

Ia menegaskan, edukasi kesehatan reproduksi menjadi kunci utama dalam memutus mata rantai perkawinan anak di Indonesia. Baik anak maupun orang tua harus mengerti bahwa perkawinan anak memiliki dampak yang begitu besar bagi anak dimulai dari pendidikan, kesehatan, kemiskinan berlanjut sampai kekerasan dalam rumah tangga dan perceraian.
 

“Mencuatnya tren perkawinan anak di Indonesia tidak hanya dikarenakan kurangnya pemahaman anak dan orang tua akan bahaya serta ancaman dari perkawinan anak, tetapi juga dampak pergaulan bebas di kalangan anak dan remaja yang berisiko pada Kehamilan Tidak Diinginkan (KTD). Oleh karena itu, edukasi terkait perkawinan anak yang dimulai dari kesehatan reproduksi menjadi penting dan perlu ditanamkan sejak dini pada anak-anak. Anak-anak perlu mengetahui bagian-bagian penting dari tubuh dan sistem reproduksi yang berdampak pada masa depan anak,” jelas dia.

Baca Juga:


Lebih lanjut, Rini menyampaikan, perkawinan anak merupakan isu bersama yang pencegahannya pun harus diselesaikan secara multi sektoral, holistik, komprehensif, terpadu, dan melibatkan banyak orang.

KemenPPPA sebagai kementerian yang menangani urusan perempuan dan anak terus berupaya mencegah perkawinan anak sebagaimana tercantum di dalam 5 (lima) prioritas Arahan Presiden.

Selain disusunnya Strategi Nasional Pencegahan Perkawinan Anak, KemenPPPA fokus melakukan sosialisasi dan edukasi dengan stakeholder terkait dan di akar rumput melalui model Desa/Kelurahan Ramah Perempuan dan Peduli Anak yang telah tercanangkan di 138 Desa/Kelurahan di Indonesia.

“KemenPPPA bersama pemerintah daerah juga telah mendorong terbentuknya Pusat Pembelajaran Keluarga (PUSPAGA) yang merupakan unit layanan preventif dan promotif sebagai tempat pembelajaran untuk meningkatkan kualitas kehidupan menuju keluarga sejahtera. Saat ini sudah ada sebanyak 257 PUSPAGA di 231 kabupaten/kota di Indonesia. Selain itu, keberadaan Forum Anak sebagai pelopor dan pelapor (2P) yang sudah ada di 34 provinsi, 458 kabupaten/kota sangat membantu kami dalam melakukan sosialisasi dan edukasi terkait perkawinan anak,” ungkap Rini.

Dalam kesempatan tersebut, Kepala Bagian Staf Medik Fungsional Ginekologi Onkologi Rumah Sakit Kanker Dharmais, dr. Widyorini Lestari Hardjolukito Hanafy SpOG.Subsp.Onk menjelaskan bahwa perkawinan dan kehamilan anak memiliki risiko komplikasi medis terhadap ibu maupun anak yang dilahirkan itu sendiri.

“Anatomi tubuh anak perempuan belum siap menjalani proses mengandung dan melahirkan sehingga berisiko mengalami komplikasi medis baik pada ibu maupun pada anak. United Nations Population Fund (UNFPA) mencatat Obstetric Fistula sebagai kasus komplikasi medis persalinan usia anak yang sering terjadi. Obstetric Fistula merupakan kerusakan pada organ intim perempuan yang menyebabkan kebocoran urin atau feses ke dalam vagina. Perempuan yang berusia kurang dari 20 tahun rentan mengalami Obstetric Fistula dan dapat terjadi akibat hubungan seksual di usia anak,” jelas Widyorini.

Ia menambahkan, perkawinan anak yang kerap kali terjadi karena KTD diakibatkan minimnya pengetahuan akan kesehatan reproduksi dan risiko yang dihadapi.

Pencegahan KTD dapat dimulai dari edukasi kesehatan reproduksi baik itu kontrasepsi dan ancaman penyakit menular seksual hingga kanker serviks, edukasi gizi, dan peran orang tua serta pendidikan formal.(*)


Related Stories