Mengurai Benang Kusut Deforestasi dan Konflik Satwa dengan Manusia

Harimau Sumatera (ist/monngabay via trenasia.com)

PALEMBANG, WongKito.co - Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Sumatera Barat mencatat sedikitnya 62 kasus konflik antara manusia dan satwa liar sepanjang tahun 2024.

Sebagian besar kasus ini melibatkan harimau Sumatera, disusul beruang dan satwa lain yang habitatnya terdesak. Meski jumlah konflik tercatat menurun dibanding dua tahun sebelumnya, tekanan terhadap ekosistem tetap tinggi. 

Sumatera Barat dengan luas kawasan hutan sekitar 2,28 juta hektare menyimpan sembilan habitat harimau di dalam 22 kawasan konservasi yang ada.

Namun, hanya sekitar 10% dari total luas hutan tersebut yang benar-benar masuk dalam wilayah konservasi resmi, sisanya terbagi antara fungsi produksi, lindung, dan area yang sudah mengalami tekanan antropogenik.

Situasi ini tak dapat dilepaskan dari kondisi hutan Indonesia secara umum. Kementerian Kehutanan melalui pemantauan satelit mencatat bahwa tutupan hutan nasional pada 2024 tersisa 95,5 juta hektare, atau sekitar 51,1% dari luas daratan Indonesia. 

Dari jumlah tersebut, sebagian besar, lebih dari 87 juta hektare, masih berada dalam kawasan hutan, namun tekanan terhadap hutan sekunder terus meningkat. 

Deforestasi bruto tahun ini mencapai 216,2 ribu hektare, dengan 92,8% di antaranya terjadi di hutan sekunder. Setelah memperhitungkan reforestasi sebesar 40,8 ribu hektare, deforestasi netto tetap tinggi, yakni sebesar 175,4 ribu hektare. 

“Mayoritas deforestasi bruto terjadi di hutan sekunder dengan luas 200,6 ribu hektare (92,8%), di mana 69,3% terjadi di dalam kawasan hutan dan sisanya di luar kawasan hutan,” tulis rilis Laporan DeforestasiKementrian Kehutanan dikutip Jumat, 16 Mei 2025.

Kondisi ini menjadi penanda bahwa alih fungsi lahan dan degradasi hutan masih berjalan secara masif, meskipun berbagai kebijakan pengendalian telah diberlakukan.

Deforestasi tak hanya menciptakan ruang terbuka bagi ekspansi manusia dan industri, tetapi juga membentuk ruang konflik yang baru antara satwa dan manusia. 

Baca Juga:

Hak Satwa Terampas

Harimau, sebagai predator puncak dengan kebutuhan ruang jelajah yang luas, terdorong untuk keluar dari habitat aslinya demi mencari pakan atau wilayah baru. 

Penurunan ketersediaan mangsa alami, fragmentasi habitat, serta aktivitas manusia yang semakin merangsek ke wilayah hutan memperbesar kemungkinan pertemuan tak diinginkan antara harimau dan manusia. Dalam lanskap yang terus terfragmentasi, batas antara rimba dan permukiman kian kabur.

Paradoks muncul ketika populasi harimau Sumatera justru menunjukkan indikasi peningkatan. Temuan dari kamera jebak di sejumlah kawasan mengonfirmasi keberadaan induk dengan anak-anaknya, sebuah sinyal bahwa reproduksi masih berjalan di tengah tekanan ruang. 

Namun, kenaikan populasi tanpa diiringi ekspansi habitat dan pengelolaan bentang alam yang bijak justru dapat memperparah konflik. Tanpa koridor yang menghubungkan satu kawasan ke kawasan lain, harimau dipaksa menembus ruang manusia demi mempertahankan eksistensinya.

Masyarakat di desa-desa penyangga kawasan konservasi perlahan belajar menghadapi kenyataan baru ini. Melalui pendekatan partisipatif, beberapa wilayah membentuk tim tanggap konflik satwa liar di tingkat desa atau nagari. 

Tim ini, yang dikenal dengan nama “Pagari”, dibentuk untuk merespons cepat laporan kehadiran satwa liar sekaligus melakukan edukasi terhadap warga agar interaksi dengan satwa tidak berujung bencana. Di sisi lain, upaya rehabilitasi hutan dan lahan tetap menjadi instrumen penting dalam memperkuat kembali fungsi ekologis hutan. 

Pada tahun ini, pemerintah telah melakukan rehabilitasi seluas 217,9 ribu hektare, tersebar di dalam dan luar kawasan hutan. Meski angka ini masih sedikit di bawah rata-rata satu dekade terakhir, keberlanjutannya menjadi penentu keberhasilan upaya konservasi jangka panjang.

Baca Juga:

“Untuk menekan angka deforestasi, Kementerian Kehutanan telah melaksanakan upaya reforestasi melalui Rehabilitasi Hutan dan Lahan seluas 217,9 ribu hektar pada tahun 2024,” tambah laporan tersebut.

Strategi penurunan deforestasi pun terus digalakkan melalui berbagai pendekatan: dari pengendalian kebakaran hutan dan lahan, moratorium izin baru di hutan primer dan lahan gambut, hingga penguatan perhutanan sosial dan penegakan hukum. 

Pemerintah juga menyelaraskan kebijakan ini dengan target ambisius Indonesia FOLU Net Sink 2030, yang bertujuan menyeimbangkan antara emisi karbon dan daya serap sektor kehutanan serta penggunaan lahan lainnya.

Kisah konflik harimau di Sumatera Barat hanyalah salah satu refleksi dari hubungan yang retak antara manusia dan hutan. Ketika tutupan hutan terus berkurang, ketika jalur migrasi satwa terganggu, dan ketika kebutuhan ekonomi menempatkan hutan dalam posisi rawan, maka potensi krisis ekologi tidak lagi berada di masa depan, melainkan sudah hadir di depan mata. 

Diperlukan komitmen yang kuat, tak hanya dari negara, tetapi juga dari masyarakat sebagai pemilik sah bumi ini. Sebab hutan bukan hanya rumah bagi harimau, tetapi juga sistem penyangga bagi kehidupan manusia sendiri.

Tulisan ini telah tayang di TrenAsia.com olehChrisna Chanis Cara pada 17 Mei 2025.

Editor: Redaksi Wongkito
Bagikan
Redaksi Wongkito

Redaksi Wongkito

Lihat semua artikel

Related Stories