Setara
Merayakan Hari Pergerakan Perempuan Indonesia, dalam Bingkai Hari Ibu
SETIAP 22 Desember diperingati bangsa Indonesia sebagai Hari Ibu. perayaan biasanya dilakukan dengan berbagai cara yang identik dengan perempuan, lomba kebaya, pemberian sekuntum bunga dan beragam hal untuk menyenangkan bagi kaum hawa.
Namun, kini pemikiran perempuan terus berkembang progresif, Hari Ibu yang sejatinya adalah memeringati Kongres I Perempuan Indonesia mulai diisi dengan diskusi-diskusi bernas dan kritis.
Hari ini, setidaknya ada tiga kegiatan yang diselenggarakan komunitas dan organisasi masyarakat sipil yang focus pada isu kesetaraan perempuan, di antaranya Konsorsium Permampu yang berdiskusi secara online "Perayaan Hari Pergerakan Perempuan Indonesia" diikuti delapan organisasi dari di Pulau Sumatera.
Baca Juga:
- Operator Transportasi Diminta Waspada Cuaca Buruk Jelang Libur Akhir Tahun
- Jaga Komitmen, Podomoro Golf View Percepat Serah Terima Hunian Konsumen Cluster Khaya
- Resmikan Galeri Sang Pesirah, Bank Sumsel Babel Perkuat Komitmen CSR Berkelanjutan melalui Pemberdayaan UMKM di Sembawa Color Run 2025
Lalu, ada komunitas Suara Ibu Indonesia bersama Koalisi Masyakat Sipil untuk Keadilan Iklim JustCOP menyelenggarakan diskusi, music dan puisi di Jakarta dengan tema "Hutan Kita, Ibu Kita".
Sejarah Hari Ibu
Kongres Perempuan Indonesia I dilaksanakan di Yogyakarta pada 22-25 Desember 1928 atau 97 tahun lalu.
Kongres berlangsung, pascasumpah pemuda pada Kongres Pemuda ke-2 yang diselenggarakan pada 28 Oktober 1928.
Kongres Perempuan Indonesi I tersebut diselenggarakan, oleh sejumlah organisasi diantaranya Wanita Aisyah, Perempuan Sarekat Islam, Wanita Katolik, Wanita Mulyo, Putri Indonesia, Wanita Utomo dan Darmo Laksmi, Perempuan Jon Java, Jon Islamten Bond dan Wanita Taman Siswa.
Tokoh-toko populer di dunia pergerakan pun, hadir dalam mendukung Kongres Perempuan Indonesia I tersebut, yaitu Boedi Oetomo, Mr. Soejoedi (PNI), Soekiman Wirjosandjojo (Sarekat Islam), A.D.Haani (Walfadjri) dan Mr Singgih serta Dr.Soepomo.
Adapun kongres dipimpin oleh RA Soekonto yang didukung Nyi Hadjar Dewantara dan Soejatin sebagai wakil ketua.
Dalam sambutannya, yang dikutip dari buku karya Blackburn, RA Soekonto mengatakan zaman sekarang adalah zaman kemajuan.
"Oleh karena itu, zaman ini sudah waktunya mengangkat derajat kaum perempuan agar kita tidak dipaksa duduk di dapur saja. Kecuali harus menjadi nomor satu di dapur, kita juga harus turut memikirkan pandangan kaum laki-laki sebab sudah menjadi keyakinan kita bahwa laki-laki dan perempuan berjalan bersama-sama dalam kehidupan umum," kata dia.
"Artinya," lanjut RA.Soekonto, " perempuan tidak (lantas) menjadi laki-laki, perempuan tetap perempuan, tetapi derajatnya harus sama dengan laki-laki, jangan sampai direndahkan, seperti zaman dahulu."
Kongres berjalan sangat kondusif dan menghasilkan sejumlah rekomendasi.
Dimana peserta kongres memutuskan untuk membentuk organisasi gabungan perempuan yaitu Perikatan Perempuan Indonesia (PPI).
Kongres membahas sejumlah isu mulai dari kesetaraan pendidikan untuk perempuan sampai dengan membahas poligami dan perkawinan anak.
Selanjutnya, Kongres Perempuan Indonesia II berlangsung di Jakarta, pada 20-24 Juli 1935 dan kongres ke-3 di Bandung, pada 22 Desember 1938 yang menyepakati ditetapkan sebagai Hari Ibu.
Dekrit Presiden Soekarno
Kongres perempuan dinilai telah berhasil membangun kesetaraan bagi kaum perempuan di masa sebelum kemerdekaan hingga Indonesia merdeka.
Baca Juga:
- Hoaks: Pencairan Dana SAL Bank BSI, Cek Faktanya Yuk!
- 23 Pelukis Pamerkan Karya pada Glow Fest, Alts Pression, Cek Waktunya Yuk!
- Apple-WWF Konservasi Bukit Tigapuluh Sumatra, Perlindungan Hutan Jadi Strategi Ekonomi Hijau
Akhirnya, Presiden Soekarno menerbitkan dekrit Presiden RI Nomor 316 Tahun 1953 yang menetapkan tanggal 212 Desember sebagai Hari Ibu.
Sejak itu, setiap 22 Desember peringatan Hari Ibu dilakukan dengan terus menjaga ingatan bagaimana perempuan Indonesia, pertama kali berjuang dalam menyamakan persepsi tentang kesetaraan di Kongres Perempuan Indonesia I, dan dilanjutkan kongres ke-2 dan ke-30.
Namun, semuanya berubah ketika orde baru berkuasa.(Nila Ertina FM)

