Organisasi Lingkungan Desak Hentikan Perluasan Wilayah Produksi Pertambangan Batu Bara, Bagian Post-2020 Global Biodiversity Framework

Ilustrasi Batu bara di Sungai Musi (dok WongKito.co)

PALEMBANG, WongKito.co - Menyikapi The Convention on Biological Diversity (CBD) yang tengah mempersiapkan The-Post 2020 Global Biodiversity Framework. Dimana, target kerangka kerja yang tengah dirancang diantaranya adalah memperluas wilayah produksi pertambangan batu bara harapkan terlaksana, pada tahun 2050 dengan milestones pada tahun 2030.

Kerangka kerja tersebut, melanjutkan Aichi Biodiversity Targets yang sudah dirancang pada dekade sebelumnya yang dinilai tidak mencapai target secara global dalam penyelamatan keragaman hayati.

Tiga oganisasi lingkungan yaitu Aksi Ekologi dan Emansipasi Rakyat (AEER), Jatam Kalimantan Timur dan Kanopi Hijau Indonesia mendesak untuk menghentikan perluasan pertambangan batu bara karena berdampak pada kerusakan ekologis dan menganggu eksistensi hewan liar di habitatnya, disampaikan dalam siaran pers, Senin (14/3/2022).

Baca Juga:

Indonesia dapat berkontribusi bagi inisiatif penyelamatan keragaman hayati global ini dengan penghentian perluasan wilayah produksi pertambangan dan pencabutan izin pertambangan yang masih eksplorasi dan
Aktivitas pertambangan batubara yang besar di Pulau Kalimantan merusak kondisi keanekaragaman hayati.

Diungkapkan aktivitas pertambangan, seperti pembersihan lahan, penggalian top soil¸serta pengangkatan overburden memberikan dampak buruk pada skala bentang lahan serta mengganggu proses-proses ekologis yang terjadi di sekitar kawasan.

Berdasarkan kajian Perkumpulan Aksi Ekologi dan Emansipasi Rakyat (AEER) menggunakan data keanekaragaman hayati Pulau Kalimantan serta data aktivitas pertambangan di Pulau Kalimantan, didapatkan bahwa aktivitas pertambangan di Pulau Kalimantan memberikan ancaman signifikan pada keanekaragaman hayati.

Berbagai spesies yang dilindungi – baik menurut International Union for Conservation of Nature (IUCN) atau menurut Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) – terancam akibat aktivitas pertambangan yang dilakukan di sekitar habitat kehidupan liar, kata Muhammad Iqbal Patiroi, Koordinator Program Iklim dan Keanekaragaman Hayati Perkumpulan AEER.

Dari Orang Utan sampai Hiu Kepala Martil Terdampak
Berbagai ekosistem berperan penting sebagai habitat kehidupan liar, seperti hutan lahan kering serta hutan mangrove terancam mengalami degradasi akibat aktivitas tambang di sekitar ekosistem tersebut.

Hal tersebut terjadi karena lokasi aktivitas pertambangan yang berdekatan dengan keberadaan spesies-spesies dilindungi dan ekosistem penting yang mendukung kehidupan liar serta manusia yang ada di sekitarnya.

Beberapa spesies penting yang terdampak akibat aktivitas pertambangan di Kalimantan antara lain Pongo pygmaeus (Orangutan Kalimantan), Sphyrna lewini (Hiu kepala martil), Helarctos malayanus (Beruang madu), serta Nasalis larvatus (Bekantan).

Hal yang tidak jauh berbeda juga disampaikan Pradarma Rupang, Dinamisator Jatam Kalimatan Timur menyatakan, pertambangan merusak keanekaragaman hayati melalui degradasi serta pengurangan habitat kehidupan liar.

Transisi energi dari penggunaan batubara menuju energi bersih serta ramah lingkungan akan menghentikan aktivitas pertambangan batu bara, konversi lahan dan perubahan iklim global dapat diperlambat.

Keanekaragaman hayati, serta manfaat yang diberikan olehnyaakan menyediakan berbagai jasa ekosistem (ecosystem services) yang sangat bermanfaat bagi keberlanjutan kehidupan manusia. Akan tetapi, degradasi habitat serta kepunahan yang mengancam keanekaragaman hayati global akan terus terjadi jika produksi batu bara tidak dikurangi, kata dia.

Ia menyatakan laju kepunahan hayati global meningkat sebesar seribu kali lipat dibandingkan dengan catatan fosil yang tersedia dan dapat meningkat hingga sepuluh kali lipat lagi di masa mendatang salah satunya karena kegiatan penambangan batu bara.

Penilaian dari IPBES ( Intergovernmental Science-Policy Platform on Biodiversity and Ecosystem Services)  pada tahun 2021 bahwa  setidaknya 75% dari luas lahan dunia telah berubah secara signifikan dan 35% dari spesies dunia mengalami ancaman kepunahan juga tercermin di dalam keadaan keragaman hayati Pulau Kalimantan.

Sedangkan, Ali Akbar, Ketua Badan Eksekutif Kanopi Hijau Indonesia menyatakan, komunitas global seharusnya mengambil langkah untuk menghentikan ancaman kepunahan yang sudah terjadi secara global. Aichi Biodiversity Targets yang sudah disepakati tahun 2011 dan berlaku hingga tahun 2020 telah gagal mendorong masyarakat global untuk memperlambat laju penurunan keanekaragaman hayati global.

Dibutuhkan kerangka kerja penyelamatan keanekaragaman hayati baru untuk meneruskan semangat konservasi yang telah diusung melalui Aichi Biodiversity Targets dengan tetap mempertimbangkan hasil serta kekurangan pada framework sebelumnya. Dengan perbaikan pada rancangan kerangka kerja penyelamatan keanekaragaman hayati yang baru, diharapkan masyarakat global serta pembuat kebijakan mampu memenuhi komitmen yang akan disepakati bersama. Penghentian perluasan wilayah produksi tambang batubara penting menjadi strategi utama.(ril)


Related Stories