Rangkaian 16 HAKtP, Kemen PPPA: Refleksi Sinergi Cegah dan Tangani Kekerasan Seksual

Rangkaian 16 HAKtP, Kemen PPPA: Refleksi Sinergi Cegah dan Tangani Kekerasan Seksual (ist)

JAKARTA, WongKito.co - Rangkaian memperingati 16 Hari Anti Kekerasan terhadap Perempuan (16 HAKtP), 25 November – 10 Desember 2023, Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Kemen PPPA) mengajak semua stakeholder untuk bersinergi mencegah dan penanganan kasus kekerasan seksual.

Kegiatan tersebut dilakukan dengan menyelenggarakan Focus Group Discussion dan Workshop All About Respect: Langkah Awal Mencegah Kekerasan Seksual, Kemen PPPA mengajak seluruh pihak untuk dapat bersinergi dalam memberikan edukasi terkait pencegahan dan penanganan kekerasan seksual, dan mendorong terciptanya ekosistem pelaporan yang ramah terhadap korban sehingga lebih banyak korban akan berani melapor.

“Peringatan 16 HAKtP menjadi momentum yang penting bagi kita merefleksikan upaya yang sudah kita lakukan dalam mengatasi persoalan kekerasan terhadap perempuan dan bagaimana menghadapi tantangan yang kita hadapi dalam menyelesaikan isu tersebut," kata Deputi Bidang Perlindungan Hak Perempuan Kemen PPPA, Ratna Susianawati, awal pekan ini.

Baca juga:

Ia menjelaskan momentum ini juga menjadi penting bagi kita menguatkan komitmen dan mengakselerasi upaya pencegahan dan penanganan kekerasan melalui kolaborasi lintas sektor baik dari pemerintah, media, akademisi, organisasi, dunia usaha dan masyarakat.

Karena dengan bersinergi maka akan lebih banyak lagi korban yang bisa kita rangkul yang sebelumnya tidak berani bersuara, lebih banyak lagi korban yang mau melaporkan kasus kekerasan yang dialaminya dan akhirnya lebih banyak lagi korban yang mendapatkan keadilan, ujar dia.

Ratna menyampaikan terobosan dalam menuntaskan kasus kekerasan seksual, salah satunya melalui Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual sebagai payung hukum yang komprehensif dan integratif dalam pencegahan, penanganan, pemulihan, dan penegakan hukum TPKS.

“UU TPKS sebagai terobosan hukum yang bersifat lex specialis ini menjadi kekuatan dalam menyelesaikan permasalahan kekerasan seksual. Meski begitu, Kemen PPPA terus melakukan upaya literasi, edukasi dan menyadarkan publik melalui berbagai cara agar UU dapat benar-benar diimplementasikan dan korban berani untuk melaporkan kasusnya. Oleh karenanya, komitmen dari berbagai pihak sangat diperlukan untuk saling bersinergi. Karena sekecil apapun upaya yang kita lakukan akan sangat berarti dan menjadi daya dorong untuk menuntaskan permasalahan kekerasan seksual di negeri ini,” kata Ratna.

Menurut dia, saat ini Pemerintah juga terus memprioritaskan agar mandat UU TPKS berupa PP dan Perpres dapat diselesaikan sesegera mungkin.

Sebagian sudah selesai di tingkat PAK, bahkan sudah di harmonisasi dan sebagian menunggu penetapan, kata dia lagi.

Wakil Ketua Komisi VIII DPR RI, Diah Pitaloka memberikan apresiasi kepada Kemen PPPA atas kerja-kerja nyata dalam memberikan perlindungan bagi perempuan dan anak dari kekerasan. Untuk meningkatkan komitmen pencegahan dan penanganan kekerasan, peran serta kementerian/lembaga dari berbagai sektor menjadi sangat penting untuk dapat melakukan upaya sesuai dengan tugas fungsinya masing-masing.

“Kemen PPPA sebagai rekan Komisi VIII aktif melakukan koordinasi dengan banyak K/L sebagai upaya membangun budgeting untuk hal-hal yang menyangkut isu perlindungan dan pemberdayaan perempuan. Diundangkannya UU TPKS ini memberikan banyak dampak untuk mengalokasikan anggaran terkait perlindungan korban dari berbagai sektor, mulai dari Kementerian Sosial untuk menyediakan tempat rehabilitasi sosial korban, kepolisian untuk memberikan pendampingan hukum dan banyak K/L lain sesuai sektornya. Maka dari itu, bukan karena UU TPKS sudah diundangkan maka persoalan selesai. Tetapi kita harus suarakan lagi, butuh aksi-aksi konrit yang dilakukan bersama-sama untuk menciptakan ruang aman bagi korban,” kata Diah.

Inspektur Investigasi Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi, Lindung Saut Maruli Sirait menyampaikan upaya yang telah melalui ditetapkan Permendikbudristek Nomor 30 Tahun 2021 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual di Lingkungan Perguruan Tinggi.

Permen tersebut mengamanatkan perguruan tinggi baik negeri maupun swasta untuk membentuk Satuan Tugas Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual (Satgas PPKS). Bagi perguruan tinggi yang tidak melaksanakannya maka akan diberikan sanksi tegas mulai dari penghentian bantuan keuangan sampai dengan penurunan tingkat administrasi.

“Sebagai upaya mendukung Satgas PPKS dan mengentaskan masalah kekerasan seksual di lingkungan pendidikan, Kemendikbudristek juga telah memiliki hotline untuk semua satgas yang membutuhkan bantuan. Kami siap memberikan dukungan mulai dari sarana prasarana, pendampingan dan juga menyediakan modul dalam penanganan kasus kekerasan seksual. Jika ada kasus lintas kampus atau terjadi pada mahasiswa magang di perusahaan dan dirasa pihak kampus tidak bisa menyelesaikan, maka dapat langsung informasikan pada kami,” tegas Lindung.
 

Merespons hal tersebut, Ketua Satgas PPKS Universitas Gadjah Mada (UGM), Sri Wiyanti menyampaikan upaya kampus UGM dalam menciptakan lingkungan pendidikan yang aman dari kekerasan seksual. Adapun upaya tersebut diantaranya telah diterbitkannya peraturan rektor terkait pencegahan dan penanganan kekerasan seksual, membentuk unit konseling di fakultas dan menyusun Standar Operasional Prosedur dalam penanganan kekerasan seksual.

Di sisi lain, Pimpinan Redaksi IDN Times, Uni Lubis turut menyampaikan pentingnya peran media dalam mengawal pemberitaan tentang kekerasan yang tidak menyalahkan korban dan memberikan trauma berulang pada korban. Dalam mewujudkan hal tersebut, Dewan Pers sedang menyusun pedoman pemberitaan ramah perempuan dan anak.
 

Baca Juga:


Pelaku industri kreatif, Nia Dinata menyampaikan progres di dunia usaha khususnya di sektor kreatif perfilman dalam mengentaskan masalah kekerasan seksual salah satunya melalui adanya respect training dan peran intimacy coordinator (koordinator keintiman) yang akan menjembatani komunikasi dan persetujuan aktor dalam melakukan adegan intim atau berkontak fisik, serta memperhitungkan pelanggaran seksual yang mungkin dialami.

Asisten Deputi Bidang Perlindungan Hak Perempuan dalam Rumah Tangga dan Rentan KemenPPPA, Eni Widiyanti menekankan bahwa masih banyak tantangan dalam pencegahan dan penanganan kekerasan seksual di negara ini. Oleh karenanya, hadirnya UU TPKS dan peran serta seluruh elemen masyarakat diharapkan bisa mendorong lahirnya budaya baru dimana kekerasan seksual tidak lagi dinormalisasi dalam kehidupan bermasyarakat.

“Bagi semua masyarakat yang mengalami, mendengar, ataupun melihat terjadinya tindak kekerasan terhadap perempuan dan anak dapat melapor kepada pihak kepolisian, melalui Unit Pelaksana Teknis Daerah Perlindungan Perempuan dan Anak (UPTD PPA) atau melalui layanan pengaduan Sahabat Perempuan dan Anak (SAPA) 129 yang dapat diakses melalui hotline 129 atau WhatsApp 08111-129-129,” kata Eni.(ril)


Related Stories