Riset CELIOS: Komoditas Karet Sumsel Potensi Ekonomi Restoratif

Petani menyadap getah karet.. (ist)

JAKARTA, WongKito.co - Indonesia punya segalanya: laut yang luas, hutan tropis yang lebat, tanah yang subur, dan masyarakat desa yang masih menjaga kearifan lokal dalam mengelola alam. Tapi, pernah nggak sih kita benar-benar melihat kekayaan lokal ini sebagai aset masa depan, bukan cuma untuk ekonomi, tapi juga untuk ketahanan pangan nasional? 

Riset terbaru dari Center of Economic and Law Studies (CELIOS) menunjukkan bahwa kita punya peluang emas, yang disebut sebagai "ekonomi restoratif", dan ini bisa jadi game-changer buat banyak wilayah di Indonesia.

Ekonomi restoratif bukan cuma tentang cuan. Ini adalah pendekatan ekonomi yang fokus pada pemulihan ekosistem, pelestarian lingkungan, dan peningkatan kesejahteraan masyarakat secara berkelanjutan. Jadi, bukan cuma menjaga alam tetap lestari, tapi juga menjadikannya motor penggerak kesejahteraan rakyat, terutama di desa.

Wilayah-Wilayah dengan Potensi Restoratif Tertinggi

CELIOS mencatat bahwa ada 14 provinsi di Indonesia yang memiliki potensi sangat tinggi dan tinggi dalam mengembangkan ekonomi restoratif. Kalimantan Utara, Maluku, dan Kalimantan Tengah misalnya, masuk dalam kategorisangat tinggi dengan skor mendekati sempurna. Provinsi seperti Papua Barat, Sulawesi Tengah, dan Kalimantan Timur juga masuk kategori tinggi.

Kenapa mereka bisa unggul? Jawabannya simpel: karena ekosistem mereka masih relatif terjaga. Hutan lebat, air bersih melimpah, dan laut yang belum dieksploitasi berlebihan menjadi modal utama. Selain itu, masyarakat lokal juga masih memegang kuat kearifan lokal dalam mengelola alam.

Desa Jadi Garda Terdepan: Lawan Janji Semu Swasembada

Kalau selama ini kita selalu dengar istilah "swasembada pangan" tapi hasilnya masih jauh dari harapan, mungkin sudah saatnya melihat ke desa dan potensi ekonomi restoratif sebagai solusi nyata. Di banyak daerah seperti Papua dan Maluku, ada kekayaan hayati luar biasa: kelapa, cengkeh, palawija, dan perikanan yang bisa dikembangkan secara lestari.

Kebijakan pun harus berubah. Tidak bisa lagi pakai pendekatan "satu resep untuk semua". Setiap provinsi punya karakteristik unik. Misalnya, kalau Papua punya kekuatan di palawija dan perikanan, ya kebijakannya harus mendukung itu. Jangan paksakan mereka bertanam padi kalau kondisi geografisnya tidak cocok.

Komoditas Lokal yang Bisa Jadi Penyelamat

Data CELIOS menunjukkan bahwa di Sumatera, karet adalah komoditas utama, misalnya di Jambi (29,90%) dan Sumatera Selatan (35,60%). Di Kalimantan, karet juga jadi andalan di Kalimantan Barat (28,17%) dan Kalimantan Tengah (25,19%). Karet ini bukan cuma punya nilai ekonomi tinggi, tapi juga bisa jadi bagian dari restorasi hutan dan lahan kritis.

Di wilayah pesisir seperti Kepulauan Riau dan Bangka Belitung, sektor perikanan tangkap mendominasi. Tapi ingat, sektor ini rentan terhadap eksploitasi berlebih. Jadi, regulasi dan pendekatan berkelanjutan jadi kunci utama.

Di wilayah lain seperti Jawa Tengah, Yogyakarta, dan Bali, palawija jadi komoditas andalan. Dengan lahan yang terbatas, mereka perlu teknologi pertanian canggih dan efisien untuk meningkatkan hasil tanpa merusak lingkungan.

Tantangan: Antara Potensi dan Aksi Nyata

Sayangnya, punya potensi tidak selalu berarti punya aksi. CELIOS menemukan bahwa 64,70% provinsi belum punya inisiatif konkret dalam mendorong ekonomi restoratif. Malah, provinsi seperti Kalimantan Utara dan Papua Barat yang skornya tinggi dalam potensi, justru rendah dalam inisiatif.

Sebaliknya, DI Yogyakarta jadi contoh menarik. Skor potensinya moderat, tapi inisiatifnya sangat tinggi (99,91). Artinya, semangat masyarakat dan pemda bisa mengalahkan keterbatasan sumber daya alam. Yogyakarta aktif dalam pengelolaan sampah, gotong royong, hingga program penguatan koperasi petani.

Strategi Kunci Ekonomi Restoratif untuk Ketahanan Pangan

  1. Konservasi Sumber Daya Alam: Pengembangan pertanian dan perikanan berkelanjutan seperti agroekologi dan budidaya ramah lingkungan bisa menjaga tanah dan air tetap produktif.
  2. Diversifikasi Produksi: Jangan hanya fokus pada satu komoditas. Variasi tanaman dan ikan bisa jadi pelindung saat krisis iklim datang.
  3. Pemberdayaan Komunitas Lokal: Inklusi masyarakat dalam pengambilan keputusan dan pembentukan koperasi petani-nelayan akan memperkuat kemandirian desa.
  4. Pengurangan Limbah: Sistem rantai pasok yang efisien dan pemanfaatan limbah sebagai pakan atau kompos bisa mengurangi food loss.
  5. Inovasi Teknologi Hijau: Penggunaan teknologi tepat guna untuk pertanian dan perikanan bisa meningkatkan produksi tanpa merusak alam.

Membangun Masa Depan dari Apa yang Sudah Dimiliki

Kunci dari ekonomi restoratif adalah membangun dari apa yang sudah ada. Jangan memaksakan masyarakat untuk bertanam komoditas yang tidak sesuai hanya karena ada program nasional. Dengarkan masyarakat, pelajari kearifan lokal, dan libatkan mereka dalam setiap tahap perencanaan.

Contohnya, warga Desa Wae Sano di Flores, NTT, aktif berdiskusi dengan tim CELIOS mengenai potensi kopi, kakao, kemiri, dan pisang. Ini bukti bahwa masyarakat bisa dan mau terlibat, asalkan mereka dihargai.

Ekonomi restoratif bukan sekadar konsep hijau, tapi solusi nyata yang bisa memperkuat ketahanan pangan Indonesia. Dengan pendekatan yang tepat, daerah-daerah yang selama ini dianggap "tertinggal" justru bisa jadi motor utama pembangunan yang berkelanjutan.

Jadi, kalau kamu peduli soal masa depan Indonesia, mulai sekarang lirik lagi potensi lokal di sekitarmu. Siapa tahu, desa kecil di pojok negeri justru menyimpan jawaban besar untuk masa depan yang lebih adil, hijau, dan mandiri.

Tulisan ini telah tayang di TrenAsia.com oleh Idham Nur Indrajaya pada 7 Juli 2025.

Editor: Redaksi Wongkito
Bagikan
Redaksi Wongkito

Redaksi Wongkito

Lihat semua artikel

Related Stories