Seluk Beluk Cerita Pekerja Marketplace, Hidup Susah Penuh Ketidakpastian

ilustrasi (ist)

Malam  mulai menyelimuti, disalah satu sudut mal, di Kota Solo, MAR baru memulai pekerjaannya. Sementara di siang hari, SRS bersiap menghadapi tugas rutin di salah satu kantor marketplace di Kota Bengawan. 

Ketika ditemui TrenAsia, MAR dan SRS meminta identitas mereka dirahasiakan demi menjaga keamanan pekerjaan mereka. Keduanya bekerja untuk induk perusahaan yang sama. Mereka dipekerjakan melalui pihak ketiga sebagai tenaga outsourcing. 

Status ini membuat posisi mereka rentan dan jauh dari kepastian hukum maupun jaminan sosial yang layak. Di balik gemerlap lampu pusat perbelanjaan dan kantor digital yang megah, tersembunyi kisah pilu para buruh kontrak yang setiap harinya bekerja tanpa kepastian masa depan. 

Mereka adalah roda penggerak tak terlihat dari kenyamanan yang dinikmati publik, tapi kerap luput dari perhatian dan apresiasi. Dalam bayang-bayang ketidakpastian kontrak kerja yang bisa diputus sewaktu-waktu, mereka terus bekerja dengan dedikasi, berharap suatu hari nasib mereka bisa berubah.

“Yang paling berat itu soal ketidakpastian, kontrak saya bisa tak dilanjut kapan saja. Gaji stagnan, tunjangan minim,” kata SRS, Selasa (6/5/2025).

Baca Juga:

Selama dua tahun bekerja, SRS belum merasakan peningkatan berarti. Tak hanya penghasilan yang stagnan, akses ke fasilitas kerja pun terbatas. 

SRS menjalani kerja malam hampir setiap hari. MAR mengeluhkan sistem kerja tiga shift yang diterapkan perusahaannya. Ia merasa tidak punya ruang berkembang karena semua posisi strategis sudah diisi karyawan tetap.

“Capainya bukan main. Begadang tiap dapat shift malam, lalu pagi bantu keluarga di rumah. Kadang cuma tidur ala kadarnya,” ujar SRS.

Meski demikian, SRS maupun MAR tetap bertahan. Bagi MAR, alasan ekonomi menjadi penentu utama. Ia menilai pekerjaan saat ini, meskipun berstatus outsourcing, tetap memberikan penghasilan untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. 

Di tengah keterbatasan lapangan kerja formal dan persaingan yang ketat, MAR memilih bertahan demi stabilitas finansial. Ia juga mengaku belum memiliki keahlian khusus yang dapat membawanya ke jenjang pekerjaan yang lebih baik. 

Baca Juga:

Selama masih ada penghasilan yang masuk dan tanggungan keluarga bisa terpenuhi, ia bersikukuh menjalani profesinya meskipun dengan segala keterbatasan dan ketidakpastian status kerja.

“Kalau keluar dari sini, belum tentu langsung dapat kerja lagi. Kebutuhan banyak, ini satu-satunya penghasilan tetap yang saya punya,” tambah MAR.

Kisah mereka bukan satu-satunya. Ribuan pekerja outsourcing di berbagai kota mengalami hal serupa: bekerja tanpa kepastian jenjang karier, minim perlindungan, dan bayang-bayang PHK sewaktu-waktu. Mereka pun menyuarakan harapan agar pemerintah serius menangani isu ini. 

“Kalau kami bisa kerja langsung di perusahaan dan dapat hak lebih layak, tentu saya setuju,” kata SRS soal rencana penghapusan sistem outsourcing. Namun, ia tetap mengingatkan pemerintah agar berhati-hati mengambil keputusan penghapusan sistem outsourcing. 

Menurutnya, jangan sampai ia dan pekerja lain malah diberhentikan karena perusahaan enggan ambil risiko. “Wacana penghapusan outsourcing harus diiringi kebijakan transisi yang jelas,” harapnya. 

Tulisan ini telah tayang di www.trenasia.com oleh Muhammad Imam Hatami pada 07 May 2025 


Related Stories