Tak Cukup Apel Siaga, Impunitas Korporasi Pembakar Hutan dan Lahan Jadi Sorotan

Aksi Tim Satgas Penanggulangan Karhutla dalam simulasi di Griya Agung Palembang, Selasa (29/07/2025). (ist/sumselproov.go.id)

PALEMBANG, WongKito.co - Jumlah titik panas di Provinsi Sumatera Selatan meningkat sejak Juni 2025 dan sebagian besar di lokasi yang sama dengan kebakaran hutan dan lahan (karhutla) 2023, tepatnya di area konsesi perusahaan. Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) menilai, karhutla berulang menunjukkan negara seolah tunduk pada kepentingan korporasi dengan terus memberikan impunitas.

“Berulang terjadi artinya tidak ada tindakan pemerintah yang menyasar akar persoalan karhutla dan pemulihannya. Karhutla bukan hal sepele, dipadamkan lalu selesai,” ungkap Direktur Eksekutif WALHI Sumatera Selatan, Yuliusman dalam konferensi pers yang disimak WongKito.co secara daring, Selasa (29/07/2025).

Hasil Pantuan WALHI Sumatera Selatan, sepanjang Juni 2025 terdapat 85 hotspot berada di konsesi HTI dan HGU milik 16 perusahaan. Bahkan semua perusahaan tersebut selalu terbakar atau terdapat hotspot di dalam konsesinya dalam setiap tahunnya. Sebanyak 58 hotspot berada di konsesi HTI milik 11 perusahaan. Sedangkan 27 hostpot berada di HGU sawit milik 5 perusahaan. Semua tersebar di 5 kabupaten/kota.

Yuliusman menyebut, karhutla adalah kejahatan lingkungan luar biasa. Karena itu, dibutuhkan penanganan yang serius dan terukur oleh negara. Penanganannya tidak cukup hanya dengan tindakan apel siaga, water booming, hujan buatan, dan penyegelan semu tanpa ada sanksi yang berarti.

“Perusahaan punya peralatan pemadaman tetap diampuni meski terbukt membakar. Ini akal-akalan di level peraturan menteri. Lalu, 11 perusahaan disegel oleh KLHK tahun 2023 juga hanya semu saja. Seharusnya dicabut izinnya untuk pemulihan lahan,” tegas dia.

Secara nasional, WALHI mencatat 20.788 titik panas yang terdeteksi di berbagai wilayah di Indonesia sepanjang 1 - 28 Juli 2025. Dari data tersebut dianalisis overlay HGU sawit dan HPH dengan hasil terdapat 373 titik panas di 231 perusahaan, sebagian diantaranya juga pernah mengalami kebakaran.

Tangkapan layar konferensi pers daring WALHI, Selasa (29/07/2025). 

Menurut Manager Kampanye Hutan dan Kebun WALHI Nasional, Uli Arta Siagian, tidak pernah ada evaluasi dari pemerintah terkait karhutla berulang. Eksekusi putusan bersalah dari pengadilan terhadap konsesi pun tidak berjalan maksimal. Pemerintah dinilainya tidak berani karena tunduk pada perusahaan, terutama yang sudah puluhan tahun beroperasi di wilayah gambut dan hutan. Di sisi lain, negara menjerat masyarakat adat.

“Karhutla itu problem struktural hukum. Implementasi hukum tidak berjalan, justru adanya budaya impunitas bagi pelanggaran,” ulas Uli dalam kesempatan yang sama.

Selain menyoroti praktik impunitas, Walhi juga mengkritik lemahnya regulasi kehutanan yang belum bisa menjawab modus karhutla. Uli menyampaikan, Revisi Undang-Undang Kehutanan yang tengah disusun saat ini harus menjadi momentum untuk perombakan total dan bukan sekadar upaya penanganan yang tidak menyentuh akar masalah.

Pada hari yang sama, Pemerintah mulai mengonsentrasikan kesiapsiagaan penanggulangan kebakaran hutan dan lahan (karhutla) di Provinsi Sumatera Selatan ditandai dengan hadirnya Menteri Lingkungan Hidup/Kepala Badan Pengendalian Lingkungan Hidup, Hanif Faisol Nurofiq di Palembang, Selasa (29/07/2025).

Dalam arahannya, Hanif meminta aparat untuk tidak ragu menindak pelaku pembakaran lahan, termasuk pemegang konsesi lahan yang tidak memiliki bukti mitigasi. 

Dia juga menjelaskan, lahan gambut dengan muka air stabil pada ambang 40 cm tidak mudah terbakar secara alami. Maka jika kebakaran tetap terjadi, penyebab utamanya hampir pasti adalah aktivitas manusia. Hal ini menjadi dasar penting dalam memperkuat langkah penegakan hukum.

Modifikasi Cuaca Hanya Instrumen Mitigasi

Sementara itu, Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) terus memaksimalkan upaya mitigasi karhutla di Sumatera Selatan melalui Operasi Modifikasi Cuaca (OMC), pemantauan atmosfer harian, serta kolaborasi patroli darat lintas sektor.

Deputi Bidang Modifikasi Cuaca, Tri Seto Handoko mengatakan, BMKG memproyeksikan potensi pembentukan awan hujan pada 30 Juli dan beberapa hari ke depan cukup tinggi, sehingga peluang keberhasilan OMC meningkat secara signifikan. Meski demikian, Seto mengingatkan, OMC hanyalah salah satu instrumen mitigasi, dan tidak akan efektif jika tidak diimbangi dengan pengawasan darat yang ketat.

BMKG juga menggarisbawahi pentingnya pemantauan tinggi muka air tanah, yang menjadi indikator vital terhadap kerentanan lahan. Berdasarkan data Kementerian Lingkungan Hidup per 28 Juli 2025, sejumlah wilayah di Sumsel seperti PALI, Musi Rawas Utara, dan sebagian Musi Banyuasin masih menunjukkan kondisi ‘Rawan’ hingga ‘Berbahaya’.

Data BPBD Sumatera Selatan menunjukkan bahwa hingga 23 Juli 2025, terdapat 1.104 titik panas dan 64 kejadian karhutla dengan total lahan terdampak sekitar 43 hektare. (yulia savitri)

Editor: Redaksi Wongkito
Bagikan
Redaksi Wongkito

Redaksi Wongkito

Lihat semua artikel

Related Stories