Ragam
Tren “Zero Post”, Ketika Gen Z Lebih Menjauh dari Feed
JAKARTA, WongKito.co – Percaya atau tidak, dulu internet terasa seperti tempat di mana orang benar-benar berinteraksi dengan orang-orang yang kita kenal. Kita masuk ke dunia maya untuk melihat foto buram sarapan teman atau membaca status tentang betapa mereka membenci perjalanannya.
Sebuah fenomena baru dari Generasi Z atau Gen Z tidak memposting unggahan apa pun di media sosial teruatama Instagram menjadi sorotan, di mana pengguna hanya menelusuri feed tanpa membagikan apa pun.
Hal ini sangat berbeda dengan era sebelumnya, ketika orang terus-menerus membagikan setiap detail kehidupan mereka untuk memberi tahu pengikutnya.
Kini, tren telah berbalik, dengan banyak pengguna terutama dari Gen Z memilih untuk tetap diam di dunia maya.
Jadi, apa yang dimaksud dengan tren ini? Melansir dari Herzindagi, intinya, ini berarti memilih untuk menjauh sepenuhnya dari media sosial atau tetap online tanpa membuat postingan apa pun.
Pengguna masih bisa menelusuri feed, melakukan doomscrolling, mengikuti tren, sesekali membagikan story, atau menyukai konten, tetapi profil mereka tetap kosong selama berbulan-bulan bahkan bertahun-tahun.
- Upaya Pertamina Bersihkan Puskesmas Rantau, Pulihkan Layanan Kesehatan Masyarakat Aceh Tamiang
- Hoaks: Link Mengecek Status Penerima BSU, Cek Faktanya Yuk!
- Pertamina Optimalkan Distribusi BBM dan LPG di Aceh Melalui Skema Alternatif Pascabencana
Masa di mana orang terlalu banyak berbagi di media sosial kini sudah berakhir. Gen Z lebih memilih menjauh dari feed yang bersifat performatif dan berbasis data, dan justru menekankan keaslian serta kehadiran yang tenang.
Perubahan ini dapat dilihat secara nyata, studi terbaru oleh Financial Times yang melibatkan 250.000 pengguna internet dari 50 negara menunjukkan penggunaan media sosial dilaporkan menurun hingga 10% secara global.
Fenomena mundurnya pengguna media sosial secara massal ini telah menjadi momen budaya yang diakui. Istilah zero post dicetuskan oleh Kyle Chayka dari The New Yorker yang berjudul Infinite Scroll. Kini, zero post telah menjadi tren yang menonjol, sebuah bentuk perlawanan terhadap kelebihan konten, pencarian validasi, dan kelelahan media sosial yang mendalam.
“Kita mungkin juga sedang menuju sesuatu seperti zero post, titik di mana orang-orang biasa, masyarakat awam yang tidak profesional dan tidak terkomersialkan berhenti berbagi hal-hal di media sosial karena mereka merasa bosan dengan kebisingan,” ujarnya.
Ia berpendapat, fenomena zero post menandai berakhirnya era media sosial, di mana orang-orang tidak lagi memanfaatkan platform ini untuk membagikan kabar di era digital. Padahal, selama ini Instagram sering dianggap sebagai cerminan kehidupan sosial.
Mengapa Gen Z Mengikuti Tren Zero Post?
Dilansir dari Republic World, perubahan ini telah berkembang selama bertahun-tahun. Media sosial telah bergeser dari sekadar hiburan menjadi performatif, dari berbagi secara kasual menjadi menampilkan diri layaknya sebuah merek.
Gen Z, khususnya, mulai merasa bosan dengan hal ini. Mereka lebih memilih berbagi cerita secara pribadi, menggunakan fitur Close Friends, atau bahkan tidak memposting sama sekali. Feed publik terasa terlalu terbuka, mudah dihakimi, dan melelahkan.
Sekali memposting, tiba-tiba terjebak dalam like, sudut pengambilan foto, caption, dan siapa yang melihatnya adalah beban mental yang tak seorang pun harapkan.
Sebagian besar hal ini disebabkan oleh kelelahan (burnout). Membuat postingan mulai terasa seperti pekerjaan. Algoritme selalu berubah, dan membandingkan hidup sendiri dengan sorotan orang lain bisa sangat melelahkan.
Bahkan jika tidak memposting, membuka media sosial tetap membombardir dengan iklan, konten AI yang tidak diinginkan, dan kolom komentar di postingan yang paling bermakna pun dipenuhi spam dan bot.
Jika tren zero post terus meningkat, media sosial bisa berubah menjadi sesuatu yang benar-benar berbeda, sebuah ruang yang terasa lebih bermerek, artifisial, dan jauh dari kesan personal.
Pembaruan spontan dan kekacauan sehari-hari yang dulu memberi kehidupan pada platform ini perlahan menghilang, digantikan oleh postingan yang rapi dan interaksi otomatis yang hampir tidak terasa manusiawi.
Mungkin inilah alasan banyak orang memilih diam. Di dunia yang didominasi algoritme, memutuskan untuk tidak memposting atau bahkan meninggalkan platform terasa seperti merebut kembali kendali.
Untuk memahami mengapa hal ini terjadi, cukup lihat generasi yang paling lama online, Gen Z. Generasi ini tumbuh dengan smartphone di tangan, dan ternyata merekalah yang memimpin gerakan untuk menjauh dari perangkat tersebut.
Menurut laporan The Guardian, dua pertiga orang muda berpendapat media sosial lebih banyak merugikan daripada menguntungkan, dan banyak dari mereka bahkan mengatakan akan menjauhkan anak-anak mereka dari media sosial selama mungkin di masa depan.
Banyak gen Z merasa media sosial kini lebih menekankan pada gaya hidup, bukan tentang kejadian nyata di sekitar mereka. Bagi mereka, hal ini menghilangkan esensi dari tujuan media sosial.
“Jika platform-platform tersebut kehilangan kendali atas kehidupan normal masyarakat dan orang-orang biasa tidak lagi merasa terdorong untuk mengunggah konten, maka media sosial akan menjadi seperti televisi,” ucap Chayka.
- Seminar HAS 2025: Ajak Mahasiswa Sadar Bahaya IMS, HIV, dan Napza
- Musikalisasi dan Puisi Penggalangan Dana Bencana Sumatera, Ramaikan Yudisium Fakultas Dakwan UIN Palembang
- Perjalananku Menjadi Konten Kreator Disabiliitas
Ia memprediksi, ke depannya media sosial akan dipenuhi dengan iklan merek, tren fesyen cepat, rumah, dan hotel. Fenomena ini berkaitan dengan apa yang disebut para ahli sebagai “teori Internet Mati,” yaitu teori yang menyatakan segala sesuatu di internet akan dianggap mati.
Artinya, sebagian besar konten di media sosial kemungkinan akan dihasilkan oleh AI. Chayka menjelaskan, ketika konten AI mendominasi dan pengguna menurun, yang tersisa hanyalah konten pemasaran yang kering.
Fenomena zero post ini juga sering dijelaskan dengan istilah enshittification atau crapification, yang merujuk pada penurunan kualitas konten suatu platform.
Tulisan ini telah tayang di TrenAsia.com, jejaring media WongKito.co, pada 13 Desember 2025.

