Ragam
Warga Pakistan Diminta Kurangi Konsumsi Teh, Dampak Krisis Ekonomi
ISLAMABAD - Warga Pakistan disarankan untuk mengurangi jumlah konsumsi teh agar ekonomi negara itu tetap berjalan lancar.
Permintaan itu dibuat saat cadangan mata uang asing Pakistan sedang mengalami penurunan drastis. Keadaan ini memaksa pemerintah untuk memangkas biaya impor dan menyimpan dana di dalam negeri.
Menurut menteri senior Pakistan, Ahsan Iqbal, pengurangan konsumsi teh per harinya akan membantu memotong biaya impor yang tinggi, seperti dikutip dari BBC.
Menurut laporan, cadangan yang dimiliki hanya cukup untuk menanggung kurang dari dua bulan untuk keseluruhan kegiatan impor.
Baca Juga :
- Kisah di Balik Foto Ikonik Albert Einstein, Diminta Menjulurkan Lidah oleh Wartawan
- Anda Diteror Debt Collector? Laporkan dan Lakukan Langkah Berikut ini
- Asik Nih! Gratis Saksikan Batam Jazz Fest, 25-26 Juni 2022
Cadangan mata uang asing Pakistan turun dari sekitar US$16 miliar atau setara dengan Rp235,6 triliun (asumsi kurs Rp14.726,50) pada bulan Februari ke angka US$10 miliar (Rp147,2 triliun) pada awal bulan Juni.
“Saya meminta warga negara untuk menurunkan tingkat konsumsi teh satu sampai dua cangkir karena kami mengimpor teh dengan pinjaman,” seru Iqbal menurut media lokal Pakistan.
Negara yang terletak di Asia Selatan itu merupakan negara pengimpor teh terbesar di dunia. Tahun lalu, Pakistan melakukan impor sebesar US$600 juta (Rp8,8 triliun) untuk teh.
Selain itu, ia juga meminta para pemilik bisnis untuk menutup tokonya sebelum pukul 20:30 waktu setempat untuk menghemat listrik.
Sebelumnya, anggota pemerintahan Pakistan telah melakukan pembatasan terhadap impor lusinan barang mewah yang tidak penting.
Krisis ekonomi merupakan ujian besar bagi pemerintahan Shehbaz Sharif yang baru dipilih menjadi Perdana Menteri Pakistan bulan April lalu.
Pekan lalu, kabinetnya meluncurkan anggaran baru senilai US$47 miliar (Rp692,1 triliun) untuk meyakinkan Dana Moneter Internasional (IMF) untuk memulai kembali program bailout senilai US$6 miliar (Rp88,3 triliun) yang sempat terhenti.
Perjanjian itu dinegosiasikan pada tahun 2019 untuk meringankan krisis ekonomi akibat persediaan cadangan mata uang asing yang rendah dan pertumbuhan yang stagnan selama bertahun-tahun. Program itu dihentikan karena keraguan oleh pemberi pinjaman mengenai kondisi keuangan Pakistan.
Tulisan ini telah tayang di www.trenasia.com oleh Fadel Surur pada 16 Jun 2022