YLBHI dan 17 Kantor LBH Tuntut Hentikan Kesewenang-Wenangan Negara terhadap Ruang Hidup Perempuan

Hari Perempuan Internasional (ist)

PALEMBANG, WongKito.co - Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) dan 17 kantor Lembaga Bantuan Hukum (LBH) provinsi mendesak Pemerintah dan DPR RI untuk menghentikan segala bentuk kesewenang-wenangan terhadap ruang hidup perempuan.

Desakan tersebut disampaikan dalam rangkaian Hari Perempuan Internasional atau IWD, 8 Maret 2022 dengan menggunakan medium pertemuan virtual.

"Hingg kini  YLBHI dan 17 kantor LBH provinsi konsisten dalam memberikan bantuan hukum bagi perempuan korban ketidakadilan, diskriminasi maupun pelanggaran HAM lainnya," kata Ressy Tri Mulyani dari LBH Palembang, Selasa (8/2/2022).

Baca Juga:

Ia menjelaskan aksi nyata tersebut, sebagai langkah untuk membantu perempuan-perempuan Indonesia mendapatkan hak yang sama, baik dari kacamata hukum, sosial, budaya, ekonomi maupun politik.

Selama mengadvokasi banyak kasus yang berkaitan dengan hukum dan hak asasi manusia, kami melihat bahwa perempuan selalu menjadi aktor yang paling merasakan dampaknya, baik secara langsung maupun tidak langsung. Hal itu  terjadi, akibat adanya ketimpangan pengetahuan, derajat sosial, minimnya akses, budaya patriarki dan juga komitmen Negara, ujar dia.

LBH Palembang mencatat, tambah dia banyak kasus, ketidakadilan yang dialami oleh perempuan seringkali terjadi karen negara lalai, tidak hadir, membiarkan bahkan menjadi pelaku utama dalam praktek kekerasan yang dialami perempuan.

"Apalagi saat ini  negara dikuasai para oligarki kemudian menjadi rekan pengusaha dan perusahaan yang banyak melakukan tindakan kesewenang-wenangan. Mereka berwujud dalam kebijakan yang timpang, seperti UU Cipta Kerja dan UU tentang Penanggulangan Bencana, juga UU yang tidak kunjung disahkan seperti RUU TPKS dan RUU PPRT. Secara rinci, kondisi perempuan yang ditekan," tegas dia.

Baca Juga:

Catatan YLBHI dan 17 Kantor LBH Provinsi mengungkapkan: 
1. Perempuan dalam Konflik agraria Kekerasan terhadap perempuan dalam belum dilihat sebagai persoalan yang krusial. Suara perempuan masih tersubordinasi dalam setiap proses pembangunan, padahal perempuan-khususnya perempuan adat memiliki potensi yang besar dalam menjaga serta melindungi keberlangsungan ekosistem alam. Perempuan juga mengalami dampak yang berlipat sebagai akibat terjadinya konflik dengan aparat saat mempertahankan hak atas tanah serta lingkungannya.

Sebagaimana konflik yang terjadi di Desa Wadas pada 23 April 2021 dan 8 Februari yang menimbulkan trauma mendalam bagi perempuan Desa Wadas. Belum selesai dengan traumanya sendiri, perempuan harus tetap menjadi pihak yang melindungi dan mengayomi anak-anaknya. Belum lagi dampak ekonomi yang terjadi akibat kerusakan lingkungan secara tidak langsung juga akan mempengaruhi kesejahteraan perempuan. Perempuan di Desa Wadas dihadapkan pada situasi dimana mereka ditindas secara fisik, maupun psikis.

Ruang geraknya dibatasi hanya karena mereka perempuan, seolah-olah mempertahankan alam dan lingkungannya bukanlah tugas mereka. Padahal ada keterkaitan antara perempuan dan alam, seperti mereka yg lebih membutuhkan air untuk kebutuhan pangan, merawat anak dan mengurus tanaman serta hewan.

Perempuan wadas bekerja setiap harinya membuat anyaman besek yang bahan utamanya diambil dari bambu di hutan. Tentu saja jika terjadi konflik pengambilan lahan yang akan dilakukan pemerintah, perempuan wadas akan selalu berdiri paling depan menentang.

Karena bagi mereka tanah yang ditinggalkan leluhur tersebut merupakan identitas mereka, yang harus dirawat dan dijaga hingga kelak akan diwariskan kembali ke anak cucu. Apa yang terjadi di Wadas juga terjadi di beberapa daerah. Perempuan yang berada dalam pusaran konflik agraria merasakan dampak yang sangat besar. Seperti yang
terjadi di Sumatera Utara, tindakan penggusuran yang dilakukan PTPN II di Desa Helvetia Kabupaten Deli Serdang kemudian mempunyai banyak korban perempuan yang kekurangan akses atas kesehatan dan tempat tinggal.

Tidak hanya dalam konflik agraria antara masyarakat dengan perusahaan, kasus penggusuran paksa di Tamansari, Bandung juga memberikan dampak besar pada perempuan. Dalam catatan LBH Bandung penggusuran paksa yang dilakukan dalam kurun waktu 5 tahun sendiri telah mengusir populasi miskin, mencerabut relasi sosial, merubah ruang hidup dan mendesak perempuan terserap dalam industri hiburan dan jasa.

2. Perempuan dalam Pengelolaan Sumber Daya Alam LBH Palembang mencatat bahwa terjadinya alih fungsi hutan menjadi konsesi perusahaan skala besar dalam bentuk HTI, perkebunan dan pertambangan kemudian menyebabkan munculnya berbagai dampak negatif dan mempengaruhi situasi sosial, ekonomi, budaya dan politik dan ini sangat berdampak terhadap kelangsungan hidup masyarakat.

Perempuan seringkali menghadapi diskriminasi dalam birokrasi hukum formal maupun hukum adat karena budaya patriarki yang masih sangat kuat berkembang di Indonesia.

Perkembangan globalisasi, degradasi lahan dan deforestasi juga akan berdampak buruk terhadap perempuan yang menjadikan hutan sebagai salah satu sumber kehidupan, contohnya dapat terlihat dengan kehadiran perkebunan skala besar yang telah menghilangkan akses dan kontrol perempuan atas lahan.

Situasi ini mengakibatkan banyak perempuan mengalami ketidakadilan, ketergantungan ekonomi dan terpinggirkan. Kondisi perempuan yang semakin marjinal kala perempuan tidak mendapatkan pengetahuan atau informasi terkait dengan situasi lahan yang terjadi di wilayahnya, mengakibatkan perempuan tidak memiliki akses dan kontrol terhadap semua keputusan yang diambil oleh kelompok laki-laki maupun pemerintah desa.

Karenanya perempuan seringkali tidak dapat menyampaikan persoalan mereka terkait hak atas tanah dan pengelolaannya. Karena konstruksi yang berkembang itu, perempuan seringkali dilupakan dan tidak ikut terlibat dalam proses pengambilan keputusan, baik di ranah keluarga, masyarakat, negara (baik di tingkat komunitas, tingkat daerah/pusat) yang merupakan salah satu ruang untuk membahas perencanaan, pemanfaatan, monitoring dan evaluasi dalam pembangunan.

3. Perempuan dalam Jerat Pinjaman Online
Sepanjang tahun 2021, LBH Jakarta menerima 252 pengaduan kasus pinjaman online dengan 278 pencari keadilan.
1 Sebagian dari pengguna jasa pinjaman online tersebut adalah perempuan. Tidak sedikit dari mereka mengalami kekerasan berbasis gender online ketika proses penagihan. Berbagai bentuk KBGO dihadapi oleh perempuan korban seperti penyebaran data pribadi termasuk foto dan/atau video milik korban, pengancaman, pelecehan verbal, dan sebagainya.

Tindakan-tindakan tersebut mengakibatkan dampak sosial, ekonomi dan psikologis yang tinggi bagi korban. Korban mengalami trauma, kehilangan pekerjaan, mendapat stereotip buruk, perceraian hingga kehilangan nyawa (bunuh diri). Persoalan ini sebenarnya berakar dari rentannya kedudukan perempuan dalam masyarakat. Perempuan yang diposisikan subordinat, dibebankan untuk mengurus urusan domestik dan merawat anak. Jika salah satu tugas domestik tidak memenuhi standar kepala keluarga, perempuan kerap mengalami kekerasan dalam rumah
tangga. Pada saat kondisi ekonomi memburuk seperti pandemi, pada akhirnya perempuan mengambil risiko dengan terlibat pinjaman online demi pemenuhan kebutuhan domestik, perawatan dan pendidikan anak.

4. Perempuan dalam Situasi Bencana
Saat ini, Perempuan-perempuan di pasaman, Sumatera Barat mengungsi menyelamatkan diri dari bencana alam yang merenggut banyak rumah dan pemukiman warga. Beberapa hari sebelum bencana terjadi, mereka yang sedang memperjuangkan tanah ulayat mereka dari perusahaan yang menanam sawit di atasnya mencoba mengambil alih tanah tersebut dengan cara menanaminya dengan pohon pisang. Namun perusahaan mencabut tanaman tersebut. Saat ini, banjir melanda Pasaman karena alam yang dirusak perusahaan.
 

Berdasarkan data dari Pos Pengaduan Banjir dan CMS (Case Management System) LBH Jakarta tahun 2020-2021, tercatat 37 pengaduan terkait banjir di wilayah Jabodetabek. Dari pengaduan tersebut, sebagian korban adalah kelompok perempuan. Peran-peran domestik menuntut perempuan lebih banyak tinggal di rumah. Ketika banjir tiba, perempuan menjadi kelompok pertama yang harus menghadapinya. Sementara di ruang publik, kelompok perempuan dipinggirkan, sulit mendapat akses informasi dan terlibat dalam advokasi kebencanaan. Belum lagi
beban ganda yang diemban perempuan, hal ini menambah deret ketidakadilan.(ri)
 


Related Stories