Tergugat Kembali tidak Hadiri Sidang Gugatan Asap Karhutla Sumsel Oleh Petani, Nelayan, Ibu Rumah Tangga dan Peternak

Tergugat Kembali tidak Hadiri Sidang Gugatan Asap Karhutla Sumsel, Oleh Petani, Nelayan, Ibu Rumah Tangga dan Peternak (Foto Greenpeace/Abriansyah Liberto)

PALEMBANG, WongKito.co - Gugatan perkara asap kebakaran hutan dan lahan (karhutla) oleh warga Sumatera Selatan (Sumsel) bersama koalisi masyarakat sipil terhadap tiga perusahaan memasuki sidang kedua, pada Kamis (19/09/2024). Sidang yang digelar di Pengadilan Negeri Palembang tersebut kembali tidak dihadiri pihak tergugat.

Tiga perusahaan yang digugat adalah PT Bumi Mekar Hijau (BMH), PT Bumi Andalas Permai (BAP), dan PT Sebangun Bumi Andalas Wood Industries (SBA Wood Industries).

Juru Kampanye Hutan Greenpeace Indonesia selaku tim kuasa hukum penggugat, Sekar Banjaran Aji membenarkan, para tergugat tidak ada yang hadir di agenda sidang kedua ini. Di dalam persidangan, majelis hakim juga menyebutkan bahwa panggilan terhadap para tergugat sudah disampaikan secara patut dan layak.

“Minggu depan akan dipanggil lagi oleh majelis hakim, maksimal panggilannya sampai tiga kali. Jika tidak, akan ada panggilan paksa sesuai prosedur,” jelas Sekar dibincangi di PN Palembang.

Baca Juga:

Pihaknya juga menyampaikan kepada majelis hakim bahwa salah satu penggugat mencabut kuasa hukumnya untuk perkara ini. Sekar mengatakan, penggugat ini adalah seorang perempuan berusia 65 tahun yang secara fisik sudah tidak mampu untuk mengikuti persidangan di Palembang.

“Pencabutan kuasa seperti ini sebenarnya hal yang biasa dalam gugatan. Setelah ada satu pencabutan kuasa ini, kami tetap akan melanjutkan gugatan dengan 11 orang yang sebelumnya 12 penggugat,” sebutnya.

Para penggunggat adalah petani, penyadap karet, nelayan, peternak, ibu rumah tangga, pekerja lepas, hingga penggiat lingkungan. Adapun gugatan ini bersifat pertanggungjawaban mutlak (strict liability) atas kerugian dampak asap dari karhutla yang berulang.

Pihaknya menekankan gugatan pada kejadian kabut asap dari karhutla tahun 2015, 2019, dan 2023 yang terjadi di Sumsel. Gugatan ini yang pertama yang meminta pemulihan lingkungan. Sebab, karhutla terjadi di kawasan gambut. Selain pemulihan gambut, diharapkan dari gugatan ini ada upaya perbaikan kebijakan internal perusahaan agar tidak mengeringkan gambut dan membuat kanal baru.

“Gugatan ini juga menuntut ganti rugi atas dampak kerugian yang dirasakan masing-masing penggugat. Nominalnya tidak besar jika dibandingkan dengan laba perusahaan. Belum ditotalkan, akan disebutkan saat sidang selanjutnya,” terang Sekar.

Dia menegaskan, gugatan ini diharapkan dapat membuka mata publik bahwa setiap individu di Sumsel juga terdampak asap karhutla. Nilai gugatan kali ini kecil karena perseorangan, tapi jika gugatan dihitung dari seluruh warga Palembang tentu sangat besar dan itu adalah tanggung jawab perusahaan untuk menggantinya.

Baca Juga:

Menurutnya, tanggung jawab mengganti rugi setiap individu terdampak asap yang bersumber dari kerja-kerja perusahaan tersebut tidak pernah dibicarakan. Padahal produksi perusahaan itu merusak gambut dan di periode tertentu mengakibatkan kebakaran lahan.

“Kalau tidak dibincangkan saat ini tentu kita akan terus mengalami kabut asap. Akhirnya, tidak ada efek jera bagi perusahaan,” tegasnya.

Juru Kampanye Hutan Greenpeace Indonesia lainnya, Belgis Habiba menambahkan, tiga perusahaan yang digugat selalu ada dalam laporan karhutla pihaknya. Tercatat, karhutla di lahan perusahaan bubuk kertas itu selalu berulang.

“Kami bukan baru sekarang bicara asap dan karhutla Sumsel, setiap tahun kami selalu kampanyekan persoalan ini termasuk tiga perusahaan yang digugat,” ulasnya. (yulia savitri)

Editor: Nila Ertina

Related Stories