Unair-UNESCO Selenggarakan Bedah Buku Identitas, Inovasi, dan Intergenerasi Soroti Strategi Pelestarian Budaya Takbenda

Unair-UNESCO Selenggarakan Bedah Buku Identitas, Inovasi, dan Intergenerasi Soroti Strategi Pelestarian Budaya Takbenda (ist)

SURABAYA, WongKito.co - Program Magister Media dan Komunikasi Universitas Airlangga (Unair) bekerja sama dengan Delegasi Tetap RI untuk UNESCO menggelar bedah buku Identitas, Inovasi, dan Intergenerasi, yang membahas strategi pelestarian budaya takbenda Indonesia .

Buku tersebut berisi kumpulan esai populer yang menekankan pentingnya inovasi dan keterlibatan generasi muda dalam menjaga warisan budaya.

Kaprodi Magister Media dan Komunikasi FISIP Unair, Yuyun WI Surya, Ph.D, menyatakan bahwa pelestarian budaya takbenda harus melibatkan masa depan dan generasi muda yang hidup di ruang digital.

“Ia perlu masa depan, dan masa depan itu, hari ini, berada di tangan anak muda yang hidup di ruang digital,” tegasnya, Kamis  (14/8/2025). 

Baca Juga:

Sementara Dekan FISIP Unair, Prof. Bagong Suyanto, menegaskan kontribusi akademisi dalam pelestarian budaya melalui karya ilmiah.

Salah satu kontributor buku, Saevasilvia, memperkenalkan konsep “robot angklung” sebagai pendekatan kreatif untuk menarik minat anak muda terhadap tradisi.

Sedangkan, Hartanti Maya Krisna dari Kementerian Kebudayaan RI menekankan pentingnya strategi nasional berbasis data dan keterlibatan komunitas dalam pelestarian budaya.

Pegiat Reog Ponorogo, Andreanto Surya Putra, menyoroti tantangan pelestarian Reog, termasuk kebutuhan bahan ramah lingkungan dan penurunan minat generasi muda. Ia mendorong pelatihan kreatif dan promosi digital sebagai solusi.

Baca Juga:

Duta Besar RI untuk UNESCO, IGAK Satrya Wibawa, dalam pemaparan daring dari Paris, menyatakan bahwa diplomasi budaya Indonesia harus membangun narasi dan citra yang kuat di panggung global. Ia menekankan pentingnya komunitas sebagai sumber energi budaya.

“Kita punya segalanya, tetapi tantangannya adalah membuat dunia tidak sekadar melihat, melainkan juga memahami,” ujarnya. Di tengah pesatnya literasi digital dan pemerataan teknologi, ia menegaskan bahwa diplomasi budaya tidak cukup hanya menampilkan tarian atau musik, melainkan juga harus mengelola citra, membangun narasi, dan menjaga makna yang terkandung di setiap karya.

Diskusi ditutup dengan refleksi dari penulis esai, Dina Septiani, yang menyatakan bahwa tradisi membutuhkan penjaga dan penutur agar tetap hidup dan relevan lintas generasi.(ril)


Related Stories