Ekonomi dan UMKM
Ekonomi Tumbuh Solid, Tapi PHK Melonjak dan Investasi Melemah
JAKARTA, WongKito.co – Pertumbuhan ekonomi Indonesia pada kuartal II-2025 tercatat sebesar 5,12 persen (yoy). Namun, angka ini tidak mencerminkan kekuatan fundamental ekonomi nasional.
Kepala Pusat Makroekonomi dan Keuangan Institute for Development of Economics and Finance (Indef) M. Rizal Taufikurahman menilai, terdapat stagnasi struktural yang tersembunyi di balik angka pertumbuhan yang tampak menggembirakan.
“Jika ditelisik melalui indikator struktural, kondisi ekonomi justru menunjukkan dinamika yang mengkhawatirkan,” ujarnya.
Menurut Rizal, salah satu indikator yang menjadi sorotan adalah indeks PMI Manufaktur Indonesia yang turun signifikan dari 52,9 pada April menjadi hanya 50,4 pada Juni 2025. Angka ini nyaris menyentuh batas stagnasi dan mencerminkan tekanan dari menurunnya pesanan baru, kenaikan biaya produksi, serta kehati-hatian pelaku usaha terhadap prospek permintaan.
Tak hanya itu, yang menjadi sorotan Rizal adalah perlambatan industri juga berdampak langsung pada tenaga kerja. Sepanjang semester I-2025, lebih dari 70.000 pekerja di sektor padat karya dan manufaktur seperti tekstil, alas kaki, dan elektronik mengalami Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) karena efisiensi dan turunnya pesanan ekspor.
“Menjadi ironi ketika ekonomi disebut tumbuh solid, sementara pelaku industri justru memangkas kapasitas dan tenaga kerja,” kata Rizal.
- BRImo Perkuat Posisi Lewat 42,7 Juta Pengguna dan Transaksi Triliunan
- Mal Obral Diskon Siasati Fenomena Rohana-Rojali
- Saksikan Film Panggil Aku Ayah di CGV PTC, Penonton Tak Mampu Bendung Air Mata
Situasi ini diperparah oleh melemahnya realisasi investasi. Pada kuartal II, investasi hanya tumbuh 6,7% (yoy), turun dari 10,1% pada kuartal sebelumnya. Investasi asing langsung (PMA) di sektor hilirisasi dan manufaktur bahkan mengalami kontraksi akibat ketidakpastian regulasi, tekanan geopolitik, dan penurunan harga komoditas global.
Padahal, menurut Rizal, investasi produktif sangat krusial dalam menciptakan lapangan kerja dan mendorong pertumbuhan yang berkualitas.
Pajak Tak Mencerminkan Pertumbuhan
Di sisi fiskal, penerimaan pajak kata Rizal juga belum menunjukkan kekuatan. Hingga semester I, pertumbuhan pajak hanya 5,3%, jauh dari target dua digit dalam APBN. Khususnya, PPN dalam negeri yang mencerminkan konsumsi masyarakat hanya tumbuh 2-3%, berbanding terbalik dengan data konsumsi rumah tangga yang naik 5,42%.
“Ini menandakan sebagian besar konsumsi terjadi di sektor informal atau tidak tercatat dalam sistem perpajakan formal,” ujarnya.
PPh Badan yang lesu juga menandakan tekanan pada profitabilitas korporasi sejalan dengan tren PHK dan lemahnya sektor riil.
Rizal menyimpulkan, pertumbuhan ekonomi yang dicapai saat ini lebih banyak ditopang oleh konsumsi musiman seperti momen Iduladha dan tahun ajaran baru, serta belanja pemerintah menjelang semester kedua.
“Tanpa dukungan dari sektor riil, investasi produktif, dan penerimaan fiskal yang kuat, angka 5,12% itu hanya menyamarkan stagnasi struktural,” tegasnya.
- Update Harga Bahan Pangan: Bawang Merah Melejit, Cabai Burung Stabil
- Saatnya Perkuat Branding Wastra Nasional ke Panggung Dunia
- Menikmati Kopi dengan Cara Berbeda, Stan Pagar Alam Tawarkan Kripik dan Batik Unik
Ia menambahkan bahwa metodologi PDB yang digunakan BPS memang baku dan terstandar secara internasional. Namun, pemerintah dinilai terlalu membangun narasi tunggal seolah pertumbuhan ini mencerminkan kekuatan ekonomi nasional secara menyeluruh.
“Padahal indikator struktural lainnya menunjukkan adanya kelesuan dan ketimpangan. Maka, keterbukaan data dan analisis sangat penting agar masyarakat memahami kondisi riil ekonomi Indonesia,” pungkas Rizal.
Tulisan ini telah tayang di TrenAsia.com oleh Debrinata Rizky pada 8 Juli 2025.