ICJS 2025: Naskah Akademik RUU Keadilan Iklim Soroti 5 Kelemahan Kebijakan Nasional 

Kamis, 28 Agustus 2025 11:50 WIB

Penulis:Redaksi Wongkito

Editor:Redaksi Wongkito

AFM00114.JPG
Indonesia Climate Justice Summit (ICJS) 2025 resmi dibuka di Jakarta, Kamis (26/08/2025). (ist/ICEL)

JAKARTA, WongKito.co - Hari kedua Indonesia Climate Justice Summit (ICJS) ditandai dengan peluncuran Naskah Akademik (NA) RUU Keadilan Iklim oleh Aliansi Rakyat untuk Keadilan Iklim (ARUKI). 

Dokumen setebal 300 halaman ini disusun melalui konsultasi rakyat di lebih dari 14 daerah dengan melibatkan delapan kelompok rentan, di antaranya perempuan, penyandang disabilitas, buruh, masyarakat miskin kota, nelayan, petani, masyarakat adat, lansia, hingga orang muda. 

Direktur Eksekutif ICEL/perwakilan ARUKI, Raynaldo G. Sembiring menekankan, regulasi yang ada saat ini tidak menjawab persoalan mendasar. 

“Indonesia belum memiliki undang-undang yang secara langsung menjawab krisis iklim. Yang ada hanya Perpres tentang nilai ekonomi karbon dan perdagangan karbon. Karena itu kami menamai inisiatif ini RUU Keadilan Iklim, sebab masalah yang dihadapi delapan kelompok rentan bukan sekadar lingkungan, melainkan ketidakadilan,” ujarnya. 

Adapun judul yang dipilih DPR adalah RUU Pengelolaan Perubahan Iklim. Perbedaan ini bukan sekadar istilah, tetapi mencerminkan arah pembahasan. RUU Keadilan Iklim yang disusun ARUKI menekankan pada prinsip dan nilai keadilan, dengan mengarusutamakan upaya mengatasi akar ketidakadilan yang dialami kelompok rentan. 

Sementara istilah “pengelolaan” cenderung menempatkan perubahan iklim sebatas isu teknis, bukan persoalan ketidakadilan sosial. Persoalan yang Mendesak Dijawab NA RUU Keadilan Iklim menyoroti berbagai kelemahan kebijakan nasional. 

Pertama, fragmentasi kebijakan menuju emisi nol bersih yang tidak sinkron antar-sektor. Kedua, target penurunan emisi yang sering dikompromikan demi kepentingan ekonomi. Ketiga, munculnya praktik maladaptasi dalam proyek mitigasi yang justru menambah kerentanan. Keempat, penegakan hukum yang lemah terhadap pelanggaran lingkungan. Kelima, minimnya partisipasi bermakna masyarakat, termasuk kelompok rentan, dalam perumusan kebijakan. 

NA ini menegaskan bahwa krisis iklim bukan hanya soal lingkungan, tetapi juga persoalan keadilan sosial. Karena itu, prinsip keadilan distributif, rekognitif, prosedural, korektif, inklusif, gender, dan antar generasi dijadikan landasan utama RUU. 

Suara Akar Rumput Isi NA merangkum aspirasi kelompok rentan dari berbagai daerah. Masyarakat miskin kota menuntut pengakuan kampung kota sebagai bagian dari ekosistem perkotaan serta jaminan hunian layak. Nelayan mendesak perlindungan ruang tangkap yang terancam abrasi dan banjir rob. Petani menekankan perlunya perlindungan sosial dan penghentian praktik perampasan tanah. 

Perempuan menyoroti beban berlapis dampak iklim dan menuntut agar hak-hak mereka diakomodasi secara eksplisit. Kelompok disabilitas menegaskan pentingnya data inklusif, perlindungan sosial adaptif, dan aksesibilitas universal. Buruh meminta perlindungan agar tidak menjadi korban tak terlihat dari bencana maupun transisi energi. 

Segera Dibahas dan Disahkan 

Ketua Komite II DPD RI, Badikenita Sitepu menyampaikan, RUU Keadilan Iklim harus segera masuk Program Legislasi Nasional (Prolegnas) prioritas 2026 dan dibahas tanpa penundaan. Selama ini diakuinya koordinasi antar lembaga masih lemah, penegakan hukum lingkungan kurang tegas, dan bahkan belum ada badan khusus yang menangani krisis iklim secara menyeluruh.

"Kehadiran undang-undang ini penting untuk memastikan adaptasi dan mitigasi berjalan efektif, dengan menempatkan keadilan sebagai pilar utama, termasuk keadilan antar generasi agar masa depan tidak dikorbankan.” 

Sejalan dengan itu, Anggota DPR RI Syarif Fasha menekankan, lingkungan hidup yang baik dan sehat adalah milik semua, dan itu hak paling mendasar. "Dengan demikian, RUU Keadilan Iklim harus segera direalisasikan.” 

Sementara itu, Rieke Diah Pitaloka, Anggota DPR RI menggarisbawahi perlu adanya visi yang sama antara masyarakat sipil dengan pembuat kebijakan untuk memastikan keadilan. “Mari kita samakan visi kita. UUD 1945 menegaskan tujuan bernegara bukan hanya merdeka, bersatu, dan berdaulat, tetapi juga adil dan makmur. Itu amanat konstitusi untuk menghadirkan pemerintahan yang melindungi segenap bangsa, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan mewujudkan keadilan sosial," ujarnya.

"Karena itu, RUU Keadilan Iklim harus segera dibahas agar negara benar-benar hadir melindungi rakyat dari dampak krisis iklim sekaligus memenuhi mandat keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia,” lanjut Diah.

Maman Imanulhaq, Wakil Ketua Fraksi PKB DPR RI juga menyatakan komitmennya untuk mengawal RUU Keadilan Iklim. “Saya siap mengawal proses legislasi RUU Keadilan Iklim, terutama di Komisi XII DPR."

Menurutnya, prinsip terpenting dari undang-undang ini adalah keadilan sosial, bukan hanya bagi manusia, tapi juga bagi alam yang selama ini kita abaikan. "Dengan dukungan publik yang kuat, saya yakin RUU ini dapat disahkan paling lambat pada periode 2026.” 

Peluncuran NA RUU Keadilan Iklim di ICJS 2025 menjadi pesan tegas bahwa Indonesia membutuhkan payung hukum baru yang berpihak pada rakyat. Dengan masuknya RUU ini ke dalam Prolegnas 2026, publik diharapkan terus mengawal agar pembahasan dilakukan segera, dan pengesahannya tidak lagi ditunda. (*)