Selasa, 08 Februari 2022 17:30 WIB
Penulis:Redaksi Wongkito
JAKARTA - Presiden Joko Widodo sejak tahun 2020 gencar mencanangkan kebijakan hilirisasi dan industrialisasi. Ditargetkan, hilirisasi industri bisa memberikan nilai tambah yang lebih tinggi terhadap produk dalam negeri ketika dijual ke luar negeri.
Peneliti Institute for Development Economics and Finance (Indef) Eisha Maghfiruha mengatakan kebijakan hilirisasi yang mulai dilakukan di periode kedua pemerintahan Jokowi tersebut sangat terlambat. Indonesia kecolongan dan justru kini tertinggal jauh dari negara sesama ASEAN yakni Vietnam.
"Sejauh ini Indonesia tertinggal dalam kebijakan industri dibandingkan Vietnam, yang sebenarnya dulu di bawah Indonesia. Potensi ekspor Vietnam adalah produk-produk industri, sedangkan potensi ekspor Indonesia adalah bahan mentah dan sumber daya alam," katanya dalam Diskusi LP3ES bertajuk 'Politik Industri Nasional dan Program Hilirisasi'," Senin, 7 Februari 2022.
Baca Juga :
Empat puluh tahun yang lalu, Vietnam merupakan salah satu negara termiskin di dunia, dengan negara berpenghasilan menengah ke bawah. Pada 1986, kebijakan yang dikenal sebagai Doi Moi dilembagakan untuk memindahkan negara ini dari ekonomi terpusat untuk kembali ke ekonomi berorientasi pasar.
Sekarang, Vietnam telah menjelma menjadi negara dengan ekonomi terbaik di Asia Tenggara dan lokasi strategis bagi investasi baik oleh China maupun negara Barat.
Eisha menjelaskan program hilirisasi dan industrialisasi di Indonesia sejak era Reformasi hampir tidak pernah terjadi.
Setelah masa 1980-an di era pemerintahan Soeharto, peran sektor manufaktur terindikasi menurun dengan produk-produk bernilai tambah tinggi juga hilang. Ini menunjukkan bahwa politik industri tidak berjalan, sehingga mendesak dilakukan.
Hal itu berbeda dengan negara maju seperti Jerman yang ketika memasuki tahapan menurunnya industrialisasi namun telah mencapai pendapatan per kapita yang tinggi sebagai negara maju. Sementara Indonesia malah menurun dari negara middle income menjadi negara lower middle income.
Menurut data Badan Pusat Statistik (BPS), Produk Domestik Bruto (PDB) per kapita Indonesia pada 2021 mencapai Rp62,2 juta setara dengan US$4.349,5. Angka ini meningkat dari tahun 2020 yang tercatat mencapai Rp57,3 juta setara US$3.934,5.
Eisha menegaskan Indonesia harus mulai berani menempuh reformasi struktural perekonomian dari produk-produk bernilai tambah rendah ke produk bernilai tambah tinggi. Ada perpindahan alokasi sumber daya dari modal kerja dan tenaga kerja ke sektor produksi bernilai tambah tinggi.
Proses tersebut sebagaimana yang dilakukan oleh negara industri maju yang memulai dari industri pengolahan ke industrialisai skala besar manufaktur, kemudian baru beralih ke sektor jasa yang mempunyai kontribusi besar dari masing-masing sektor terhadap PDB.
"Indonesia harus mengupayakan keluar dari jebakan middle income trap dengan industri yang mempunyai produk berniai tambah tinggi seperti Vietnam sekarang, hingga mempunyai daya saing," papar Eisha.
Untuk mencapai tahap reformasi ekonomi, dia mendorong pemerintah menarik investasi sebanyak mungkin untuk mengembangkan industri pengolahan yang dapat menghasilkan produk bernilai tambah tinggi.
"Dengan kepemilikan sumber daya alam berlimpah Indonesia harus bisa menemukan cara agar dapat diolah oleh industri pengolahan dalam negeri dan menciptakan produk bernilai tambah tinggi," katanya.
Adapun, sumber pertumbuhan ekonomi Indonesia pada kuartal IV-2021 tertinggi berasal dari industri pengolahan (1,01%), kemudian disusul perdagangan (0,71%), konstruksi (0,40%), informasi dan komunikasi (0,39%), dan lainnya (2,51).
Sementara sumber pertumbuhan ekonomi menurut pengeluaran tertinggi berasal dari Pembentukan Modal Tetap Bruto (PMTB) (1,21%), kemudian disusul konsumsi rumah tangga (1,09%), ekspor (0,98%) dan pengeluaran lainnya (0,41%).
Di sisi lain, menurut lapangan usaha, sektor jasa mulai memainkan peran yang besar. Hal itu terlihat dari pertumbuhan sektor jasa kesehatan yang mencapai 12,18% dan merupakan yang tertinggi. Hal ini tentu dipicu oleh kebutuhan layanan kesehatan akibat pagebluk COVID-19. Kemudian disusul sektor transportasi dan pergudangan (7,93%) dan pengadaan listrik dan gas (7,81%) serta infokom (6,21%).
Namun menurut struktur PDB, sektor industri memberikan kontribusi terbesar bagi pertumbuhan ekonomi yaitu sebesar 18,80%, yang diikuti sektor perdagangan (12,71%), pertanian (11,39%), kontruksi (10,48%) dan pertambangan (10,43%).
Mantan Menteri Sekretraris Kabinet Dipo Alam mengatakan kebijakan hilirisasi dan peta jalan industrialisasi di Indonesia mulai terhenti pasca kepemimpinan Presiden BJ Habibie atau setelah Reformasi.
Padahal, di era pemerintahan Soeharto, terlepas dari kekurangan-kekurangan yang ada, penanganan dan perhatian pada sektor pertanian dan pupuk termasuk luar biasa.
Pada saat itu, ada politik industri ke mekanisasi pertanian dengan membangun industri pupuk dengan konsep yang sangat matang dan terukur. Soeharto juga memiliki data-data statistik industri pertanian lengkap.
Hasilnya, pertumbuhan ekonomi Indonesia rata-rata mencapai 7%. Angka ini saat ini justru sulit tercapai di tengah kemajuan teknologi dan inovasi yang dimiliki.
"Setelah reformasi politik industrialisasi malah ditinggalkan. Subsidi pupuk malah jadi bancakan korupsi di pusat dan daerah. Politik industri telah ditinggalkan. KKN luar biasa terjadi pada subsidi pupuk," papar Dipo.
Dia mendorong agar pemerintah perlu memikirkan cara untuk mengembalikan peta jalan industrialisasi agar benar-benar memberikan efek pada perekonomian di tengah mimpi menjadi negara terbesar kelima dunia pada tahun 2045.
"Peta jalan industrialisasi di Indonesia sebenarnya sempat dibuat pada era kepemimpinan Presiden BJ Habibie. Namun terhenti dan hilang setelah BJ Habibie tidak lagi menjabat," ungkapnya.
Tulisan ini telah tayang di www.trenasia.com oleh Daniel Deha pada 08 Feb 2022