KDRT
Sabtu, 25 November 2023 18:58 WIB
Penulis:Nila Ertina
JAKARTA, WongKito.co – Kasus dr Qory yang menjadi korban kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) yang viral di media sosial setelah berani speak up diapresiasi Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA), Bintang Puspayoga.
Ia mengungkapkan kasus dr Qory menjadi alarm untuk masyarakat bahwa KDRT, khususnya yang menimpa perempuan bukan aib dari keluarga, sehingga korban harus berani melapor.
dr.Qory yang telah berani melepaskan diri dari pelaku dan mencari perlindungan yang aman hendaknya menjadi contoh, meskipun tentunya sangat prihatin atas kejadian dan kondisi yang menimpa berulang kali tersebut, kata Menteri Bintang, akhir pekan lalu.
Baca Juga:
Dia menjelaskan jika merunut dari kronologi yang disampaikan oleh akun di “X” dan hasil penyelidikan aparat kepolisian, keputusan dr.Qory untuk meninggalkan rumah dan mencari perlindungan itu sudah sangat tepat.
"Kami sangat mengapresiasi keberanian dr.Qory dan juga berterima kasih kepada netizen dan masyarakat yang dengan perhatian besar mencari keberadaan korban," ujar dia.
Menurut dia, KDRT bukan aib sehingga korban harus berani melapor. Tidaklah mudah untuk keluar dari kungkungan pelaku KDRT yang biasanya memang disertai ancaman apalagi jika kondisi keluarga hanya membiarkan aksi pelaku KDRT.
Keberanian melapor, maka pertolongan kepada korban dapat segera dilakukan, begitu pula upaya penyelamatan terhadap anak-anak korban. KDRT bukan lagi urusan privat, tapi sudah menjadi urusan Negara saat Undang-Undang pencegahan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (UU PKDRT) dituangkan dalam lembaran negara pada 22 September 2004. Sekali lagi, kepada semua perempuan yang mengalami kekerasan di dalam rumah tangganya, segeralah melapor, tambah dia.
Kemen PPPA memiliki hotline layanan Sahabat Perempuan dan Anak (SAPA) 129 atau Whatsapp 08-111-129-129 sehingga masyarakat yang melihat, mendengar dan mengetahui adanya tindak kekerasan di sekeliling mereka bisa melapor ke kontak layanan tersebut.
“Sudah banyak masyarakat yang mendapatkan manfaat dari Layanan SAPA129, sehingga masyarakat yang menjadi korban kekerasan dapat segera ditangani. Selain Layanan SAPA129 masyarakat ataupun korban juga dapat melapor ke Unit Pelaksana Teknis Daerah - Perlindungan Perempuan dan Anak (UPTD PPA), Penyedia Layanan Berbasis Masyarakat seperti P2TP2A, dan kepolisian. Pada kesempatan ini kami juga mendorong pemerintah daerah yang belum memilki UPTD PPA agar dapat segera membentuk UPTD PPA karena lembaga layanan ini adalah bukti kehadiran Negara ketika perempuan dan anak menjadi korban kekerasan,” ujar Menteri PPPA.
Menteri PPPA juga memberikan apresiasi atas gerak cepat aparat kepolisian menangkap pelaku dan mendukung proses hukum pada pelaku KDRT yang saat ini sudah ditangkap oleh kepolisian setempat. Menteri PPPA berharap pelaku mendapatkan sanksi sesuai UU PKDRT sesuai Pasal 44 Undang-Undang RI Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan KDRT dengan ancaman penjara 5 tahun atau denda paling banyak Rp 15 juta.
Berdasarkan hasil koordinasi Layanan SAPA 129 dengan P2TP2A Kabupaten Bogor, saat ini korban beserta anak-anaknya juga sudah mendapatkan pendampingan dari tim P2TP2A Kabupaten Bogor dan sudah berada di tempat yang aman.
“Terima kasih kepada tim P2TP2A Kabupaten Bogor yang telah memberikan layanan pendampingan psikologis, pendampingan pemeriksaan kesehatan, dan visum di RSUD Cibinong, serta pendampingan saat dilakukan pemeriksaan di kepolisian (LP dan BAP). Korban juga direncanakan akan dilakukan pemeriksaan oleh psikiater,” ujar Menteri PPPA.
Baca Juga:
Mengingat posisi perempuan yang rentan menjadi korban kekerasan dalam ranah domestik maka baik perempuan, keluarga ataupun masyarakat di sekitar perlu mewaspadai hal-hal sebagai berikut, yaitu :
1. Jika kekerasan yang dilakukan terjadi berulang dan membentuk sebuah siklus yaitu fase ketegangan (dimana komunikasi mulai memburuk) – terjadi kekerasan – fase rekonsiliasi (permintaan maaf dari pelaku) – fase tenang (korban sudah memaafkan dan berbaikan dengan pelaku). Hal ini perlu disadari oleh korban bahwa itu adalah KDRT sehingga tidak terjebak pada fase KDRT selanjutnya.
2. Tidak menyalahkan diri sendiri karena KDRT bukan merupakan kesalahan diri sendiri.
3. Mengumpulkan bukti yang dapat mendukung adanya peristiwa KDRT merupakan langkah penting jika terjadi kondisi yang semakin memburuk. Bukti-bukti yang dapat mendukung jika terjadi kekerasan fisik dapat berupa hasil pemeriksaan kesehatan (rekam medis), dan dokumentasi luka/memar akibat KDRT yang dialami.
4. Menghubungi keluarga/kerabat yang dapat dipercaya atau mencari bantuan pada tempat yang tepat.(ril)