Karhutla Berulang, Restorasi Gambut Dinilai tak Berdampak

Kamis, 31 Oktober 2024 11:20 WIB

Penulis:Redaksi Wongkito

Editor:Nila Ertina

Karhutla Berulang, Restorasi Gambut Dinilai Tak Berdampak
Karhutla Berulang, Restorasi Gambut Dinilai Tak Berdampak (Tangkapan layar)

PALEMBANG, WongKito.co - Restorasi lahan gambut yang berjalan selama sepuluh tahun terakhir dinilai tidak membuahkan hasil yang memuaskan. Pasalnya, jutaan hektare lahan gambut masih terbakar bahkan berulang kali hampir setiap tahunnya, diperparah dengan alih fungsi lahan, salah satunya untuk proyek food estate.

Kepala Kampanye Global untuk Hutan Indonesia Greenpeace, Kiki Taufik mengungkapkan, luas areal terbakar di Indonesia tahun 2023 mencapai 2,13 juta hektare. Dari jumlah tersebut, 1,3 juta hektare merupakan area yang sebelumnya pernah terbakar sepanjang periode 2015-2022.

 “Artinya, permasalahan lahan gambut ini belum tuntas dan malah memburuk,” ulasnya dalam webinar, Rabu (30/10/2024).

Baca Juga:

Kiki Taufik melihat ada regulasi yang tidak konsisten dari pemerintah dan sering kali menguntungkan pihak perusahaan/swasta. Salah satu contohnya adalah kedalaman gambut yang kurang dari 3 meter boleh dimanfaatkan, padahal semua kondisi kedalaman gambut menyimpan risiko besar untuk terbakar. Ia juga menambahkan bahwa penerbitan izin perusahaan tidak transparan.

Menurutnya, saat ini Indonesia berada dalam situasi di mana demokrasi semakin tergerus dan oligarki semakin kuat. Transparansi data sangat penting agar publik bisa memantau kebijakan pemerintah, termasuk izin-izin perkebunan dan proyek strategi nasional yang merusak ekosistem gambut. Tanpa data yang terbuka, upaya pelestarian gambut dan perlindungan lingkungan sulit terwujud.

Buruknya restorasi gambut sepanjang pemerintahan Jokowi juga diungkapkan oleh Abil Salsabila, Juru Kampanye Pantau Gambut. Dari sedikitnya 4.000 hektar area ekstensifikasi food estate di eks-PLG seluruh Indonesia diungkapkan Abil, semuanya terbengkalai. Ada temuan, di mana terjadi tumpang tindih antara area ekstensifikasi dengan konsesi sawit. Bahkan, setelah dilakukan perhitungan kesesuaian lahan, ternyata hanya 1 persen yang cocok dikembangkan untuk pertanian.

Abil juga menyoroti kerusakan fatal infrastruktur sekat kanal di kawasan-kawasan restorasi gambut. Harusnya, infrastruktur ini menjadi sarana utama untuk memulihkan lahan gambut. Namun, kondisinya saat ini malah menyulitkan dan menghambat upaya tersebut.

“Salah satu tantangan utama restorasi lahan gambut adalah keterbatasan data. Pemutihan lahan sawit oleh pemerintah semakin menunjukkan minimnya akses data dan informasi oleh publik.”

Baca Juga:

Kepala Badan Restorasi Gambut dan Mangrove (BRGM) yang diwakilkan oleh Agus Yasin, Kepala Kelompok Kerja Teknik Restorasi mengatakan, BRGM telah berupaya semaksimal mungkin selama 10 tahun terakhir. Namun, memang masih ada banyak hal yang harus dikerjakan ke depan, khususnya restorasi lahan gambut.

Pemanfaatan lahan gambut telah berjalan sejak era Soeharto, saat akan dimulainya proyek Pengembangan Lahan Gambut sekitar tahun 1994 silam. Salah satu tujuan utamanya adalah untuk menambah lahan pertanian di luar Jawa, sehingga mampu memenuhi kebutuhan pangan dalam negeri dan mencapai swasembada pangan. Proyek PLG tersebut akhirnya bertransformasi menjadi proyek lumbung pangan atau food estate saat ini. Era Joko Widodo, proyek food estate menjadi agenda prioritas pembangunan nasional. Namun, banyak kegagalan yang terjadi di lokasi-lokasi tersebut.(Yulia Savitri)