Kisah Mohammad Zyad Alshurafa Mahasiswa Unila Asal Gaza, Kuliah dan Magang Program Kampus Merdeka

Rabu, 09 Februari 2022 16:27 WIB

Penulis:Nila Ertina

Mahasiswa Unila asal Gaza, Mohammad Zyad Alshurafa
Mahasiswa Unila asal Gaza, Mohammad Zyad Alshurafa (Sevima)

SURABAYA, WongKito.co - Kalau mengingat Gaza dan kota-kota lain di Palestina seakan tak henti-hentinya konflik-peperangan mungkin tidak terbayang bagaimana anak-anak dan pemudanya bisa menjalani pendidikan di negaranya.

Hal itu, juga dialami Mohammad Zyad Alshurafa, mahasiswa asal Palestina yang kini sedang berkuliah di Universitas Lampung. Ditengah-tengah studi, rumah Mohammad dikabarkan luluh lantak akibat serangan militer di Jalur Gaza pada Mei 2021.

Rasa putus asa sempat dialami Mohammad. Ia menawarkan diri kepada keluarganya, untuk tidak melanjutkan studi dan kembali ke Gaza untuk membantu orang tua. Namun ayah dan ibunya, Zyad dan Neibal, melarangnya.

“Orang tua saya berharap saya bisa memperoleh pendidikan dan pekerjaan yang lebih baik di Indonesia. Itulah kenapa saya terus bersemangat untuk belajar Ilmu Komputer, termasuk pada hari ini, merantau ke Surabaya untuk mulai magang di SEVIMA,” ungkap Mohammad dalam bahasa Indonesia yang fasih saat Penyambutan Mahasiswa Magang dari Universitas Lampung, Rabu (09/02) di Gedung SEVIMA Surabaya dalam siaran pers yang diterima WongKito.co.

Baca Juga:

Wakil Rektor Bidang Kerjasama Universitas Lampung, Prof. Suharso, menyatakan bahwa kehadiran Mohammad di Universitas Lampung bermula dari kerja sama kampus tersebut dengan Palestina. Sebanyak lima mahasiswa asal Palestina untuk berkuliah secara gratis.

“Kita carikan dana untuk beasiswa, dan kita dukung Mohammad dan kawan-kawannya dalam berjuang untuk studi. Kami berharap kedatangan Mohammad bisa mempromosikan persahabatan antar bangsa, sekaligus membantu Palestina yang sedang dalam kesulitan,” ungkap Suharso dalam acara penyambutan tersebut.

Visa Sempat Ditolak

Sebelum kuliah di Unila, Mohammad sebenarnya telah menjalani perkuliahan hingga dua semester do Gaza. Namun, ia mendapat informasi berupa selebaran kesempatan beasiswa yang ditempel di mading kampusnya. Dengan pertimbangan bahwa kualitas pendidikan di Indonesia relatif lebih unggul dibanding di Gaza, dan tersedia beasiswa gratis, Mohammad rela untuk meninggalkan kuliahnya di Gaza.

Untuk berangkat ke Indonesia, anak ketiga dari sembilan bersaudara ini juga harus dihadapkan dengan masalah keberangkatan. Permohonan visanya sempat ditolak berkali-kali oleh otoritas Mesir maupun Israel. Alhasil, Mohammad terlambat mengikuti kuliah. Ia tiba di Lampung pada September 2019. Sedangkan kawan-kawannya sudah mulai berkuliah sejak Februari.

Perjuangan belum selesai sampai di sana. Di kelas, ia harus beradaptasi dengan cepat karena seluruh pembelajaran dilakukan dengan Bahasa Indonesia. Sedangkan melalui telepon genggamnya, ia memperoleh berita dari media massa seputar perang di Jalur Gaza yang tak berkesudahan.

“Termasuk ketika rumah saya hancur, dan keluarga saya semuanya harus dirawat di Rumah Sakit, itu saya ketahui bukan dari kabar mereka langsung. Tetapi dari media, saya lihat rumah saya hancur dan fotonya ditampilkan di media online. Kondisi itu sempat membuat saya sulit untuk fokus belajar,” lanjut Mohammad

Baca Juga:

Tak gentar, Mohammad untuk mengatasi masalah bahasa ada dua: belajar yang tekun di pusat pelatihan, serta menghubungkan kosa kata yang ia temui di kelas dengan Bahasa Arab yang sehari-hari ia gunakan. Terlebih untuk urusan pemrograman dan matematika, yang menjadi mata kuliahnya sehari-hari, banyak kata-kata yang sudah baku secara internasional.

Jika masih mengalami kesulitan dalam belajar, ataupun terbayang-bayang dengan perang yang terus terjadi di kampung halamannya, ia selalu ingat dengan pesan orang tuanya. Bahwa Mohammad diberi tugas untuk mengubah nasib keluarganya dengan menjadi seorang sarjana dan berkarir di tempat yang lebih baik.

“Katakanlah algoritma, matematika, dalam bahasa manapun termasuk Inggris juga disebut demikian. Sifatnya universal. Jadi saya mulai belajar Bahasa Indonesia, hingga akhirnya saya tidak mengalami kendala sama sekali dalam komunikasi dan pelajaran. Alhamdulillah untuk pelajaran eksakta, nilai saya hampir seluruhnya A (sempurna),” ungkap Mohammad yang kini meraih IPK 3,8.

Siapkan Siakadcloud

Sejalan dengan program Merdeka Belajar Kampus Merdeka (MBKM), Mohammad yang kini duduk di semester enam, magang Perusahaan Education Technology SEVIMA. Program magang ini akan dinilai setara 20 SKS, dan menantang Mohammad untuk mengerjakan proyek berbasis digital secara langsung.

Salah satu proyek yang sedang dikerjakan Mohammad saat ini, adalah menyediakan fitur tanda tangan elektronik di sistem akademik berbasis awan (Siakadcloud). Proyek ini didasari atas pengalamannya yang kesulitan saat memperoleh izin dari dosen, baik untuk penelitian maupun melakukan aktivitas lainnya.

Baca Juga:

Alasannya seringkali beragam, entah karena dosen tersebut sedang berada di luar negeri, ataupun justru harus di rumah saja karena kondisi pandemi COVID-19.

“Dengan fitur yang saya buat selama magang ini nantinya, mahasiswa tidak perlu sulit-sulit lagi cari dosen untuk izin. Dosen juga tidak perlu kesulitan menemui mahasiswa hanya untuk tanda tangan surat. Semua bisa dilakukan secara elektronik dan digital,” ucap Mohammad.

Mohammad berharap kemampuan membuat teknologi digital tersebut akan ia manfaatkan untuk meningkatkan karirnya. Selain itu, ia juga ingin berkontribusi bagi kemajuan pendidikan di Palestina serta Indonesia. Karena sejalan dengan pesan orang tuanya, Mohammad yakin bahwa pendidikan adalah cara terbaik bagi seseorang untuk merubah nasib.

“Walaupun Palestina sedang dilanda peperangan, saya adalah orang yang percaya bahwa kita tidak boleh tangan di bawah dan bergantung pada bantuan orang lain. Nasib Palestina hanya bisa diubah oleh kita warga Palestina sendiri, dan salah satu caranya adalah menguasai ilmu pengetahuan!,” kata dia.(ril)