Kisah Pedagang Pasar Cinde Palembang, Hingga kini Menunggu Janji tak Pasti

Sabtu, 24 Mei 2025 10:21 WIB

Penulis:Nila Ertina

Editor:Nila Ertina

Suasana pedagang yang menempati kios sementara di lahan parkir Pasar Cinde Palembang
Suasana pedagang yang menempati kios sementara di lahan parkir Pasar Cinde Palembang (Foto WongKito.co/Nabil Putrawardana)

PASAR Cinde Palembang bukan hanya sekadar pusat perdagangan tradisional di pusat ibukota Provinsi Sumatera Selatan, yang dibangun pada masa kepemimpinan Wali Kota Palembang Ali Amin, tahun 1958.

Pasar tradisional di pusat Kota Pempek itu telah melegendaris, tak hanya karena eksistensinya tetapi juga dikenal sebagai pusat perbelanjaan tradisional dengan beragam komoditas yang berkualitas nomor satu, mulai dari sayuran, ikan dan beragam kebutuhan pokok lainnya bahkan juga menjadi destinasi belanja peralatan rumah tangga,  pakaian seragam, seperti pakaian sekolah hingga seragam tentara.

Namun,di balik hiruk-pikuk aktivitas jual beli yang ramai di masa lalu, kini tersimpan kisah pilu ratusan pedagang yang telah menunggu selama delapan tahun untuk kembali berdagang di tempat yang layak.

Sejak pembongkaran pada 2017,  pedagang bertahan di lokasi sementara yang jauh dari kata memadai, sembari berpegang pada janji pengembang yang hingga kini belum terealisasi.

Awal Penderitaan

Matahari pagi menyinari bangunan sementara yang kini menjadi tempat berdagang sementara para pedagang Pasar Cinde. Lisa Utami (61), salah seorang pedagang yang telah berjualan sejak 1986, menata dagangannya di kios sederhana yang sangat berbeda dengan tempat berdagangnya dulu.

"Dulu, lokasi ini sebenarnya tempat parkir," ujar Lisa Utami sambil menunjuk sekeliling area yang kini menjadi lokasi sementara para pedagang. Matanya menyiratkan kelelahan setelah bertahun-tahun menunggu janji yang tak kunjung terealisasi, saat dibincangi belum lama ini.

Baca Juga:

Kondisi ini bermula dari pembongkaran Pasar Cinde pada 2017. Para pedagang yang semula menempati kios dalam gedung pasar dengan fasilitas memadai, terpaksa dipindahkan ke area yang sebenarnya merupakan lahan parkir. Mereka dijanjikan dapat kembali ke pasar, dalam waktu dua tahun atau setelah gedung selesai dibangun, namun janji tersebut hingga kini belum terwujud.

Ia bertutur rencana pembangunan Pasar Cinde terbilang sangat ambisius. Menurut kesepakatan awal, akan dibangun gedung berlantai 15 dengan berbagai fasilitas modern yang terintegrasi dengan infrastruktur kota.

"Dijanjikan oleh PT Aldiron hanya 2 tahun kita bisa masuk kembali ke pasar," kenan dia dengan nada getir.

Perlu diingat, rencana revitalisasi pembangunan pasar telah dipublikasikan secara masif baik melalui media arus utama maupun media sosial.

Pedagang pun dijanjikan akan disiapkan lantai khusus bagi mereka untuk tetap beraktivitas seperti biasa, tetapi dengan fasilitas modern dan tersabung dengan gedung yang ditargetkan menjadi pusat bisnis modern, perkantoran serta hotel.

Lisa Utami (61) salah seorang  pedagang di Pasar Cinde yang masih bertahan. Foto Nabil Putrawardana

Target tersebut sejalan dengan persiapan Kota Palembang menyambut Asian Games 2018.

"Rencana mereka bagus, publikasi terus menerus. Mereka sudah luar biasa dan sangat menjanjikan," tutur Lisa Utami sambil menggelengkan kepala.

Beli Kios

Ketertarikan para pedagang terhadap rencana megah tersebut sangat besar. Banyak dari pedagang yang langsung membeli kios atau unit yang ditawarkan, bahkan ada yang sudah melunasi pembayaran. Namun hingga kini, pembangunan hanya sebatas janji di atas kertas.

Di tengah situasi yang penuh ketidakjelasan, Lisa Utami dan ratusan pedagang lainnya tetap bertahan dengan berpegang pada bukti legal kepemilikan kios yang mereka miliki. Bukti inilah yang menjadi pembeda Pasar Cinde dengan pasar-pasar lainnya.

"Alhamdulillah kita yang masih berdagang di sini masih punya sertifikat. Tapi memang sudah terlalu lama ," kata dia lagi.

Sistem kepemilikan di Pasar Cinde memang unik dibandingkan pasar lain yang umumnya menggunakan sistem kontrak. Para pedagang memiliki hak kepemilikan seumur hidup atas kios mereka.

Nasib Pedagang

Fenita (47) warga Kota Palembang mengakui dahulu menjadikan Pasar Cinde sebagai tempat belanja untuk memenuhi beragam kebutuhan pangan keluarganya.

"Saya dulu paling tidak sepekan dua kali ke Cinde untuk  membeli stok berbagai bahan pangan, terutama ikan dan sayuran," kata dia belum lama ini.

Menurut dia, Pasar Cinde dikenal menjadi lokasi  belanja ibu-ibu pejabat dan orang kaya Palembang, tapi itu dulu. Di pasar dengan arsitektur peninggalan di masa penjajahan Belanda itu, semua bahan pangan kualitasnya terbaik se-kota pempek.

Bahkan, di masa lampau berbelanja ke Pasar Cinde sangat bergengsi. Namun, kini kondisi sebaliknya, karena tidak ada lagi bangunan bersejarah berdiri kokoh dan pedagang pun tidak seramai  dulu lagi, selain itu juga tidak tertata rapi.

Sejak gedung pasar dibongkar dan pedagang dipindahkan ke area parkir, omzet pedagang mengalami penurunan drastis, kondisi tersebut semakin diperparah dengan datangnya pandemi COVID-19 dan pesatnya perkembangan perdagangan online.

"Sebelum pindah ke sini ramai sekali, omzet kita luar biasa. Penghasilan per hari cukup dan bahkan bisa menabung untuk keluarga, kalau sekarang ibaratnya tinggal 10 persen saja tidak dapat, kecil sekali," ujar Lisa Utami dengan nada pahit.

Dampak lainnya, banyak pedagang mengalami tekanan psikologis yang berat, bahkan ada yang meninggal dunia. Beberapa keluarga pedagang terpaksa menghentikan pendidikan anak-anak mereka karena tidak mampu lagi membiayai kuliah.

"Banyak yang stres, sakit lalu meninggal. Pendidikan anak-anak  pun terpaksa berhenti karena tidak mampu lagi," cerita dia dengan mata berkaca-kaca.

Kemudian, masalah pembangunan Pasar Cinde semakin rumit karena sengketa tanah antara pemerintah dan pihak swasta.

Tanah ini sebenarnya milik pemkot diserahkan ke swasta. Dan hingga konflik masih belum tuntas, tambah dia.

Warisan Orang Tua

Meski kondisi sangat sulit, Lisa Utami tetap memilih bertahan. Di usianya yang sudah menginjak 61 tahun, ia masih memiliki semangat untuk meneruskan usaha yang diwariskan orang tuanya sejak 1986.

"Saya bertahan di sini karena sudah tua, mencari kesibukan. Saya sudah berjualan dari tahun 1986 sampai sekarang. Ini punya orang tua, jadi kita mewarisi," ungkapnya dengan senyum tipis.

Baca Juga:

Ada nilai sejarah dan emosional yang mengikat Lisa Utami dengan Pasar Cinde. Ayahnya dulu memiliki tujuh petak di pasar lama dan telah berdagang sejak masih bujangan, menjadikan usaha ini sebagai warisan keluarga yang berharga.

"Kan sayang untuk keluar dari sini. Sekarang saya cuman mau melanjutkan. Kalau ada rezeki mungkin Allah perpanjangan, kalau tidak ada ya apa boleh buat," ujarnya dengan pasrah.

Di penghujung perbincangan, Lisa Utami menyampaikan harapannya kepada pemerintah daerah. Ia berharap para pemimpin lebih peduli dengan nasib pedagang pasar tradisional dan tidak hanya duduk di belakang meja.

"Pemerintah harus tahu keluhan, kondisi rakyatnya termasuk pedagang Pasar Cinde. Kenapa pasar lain ramai, pasar kita di Cinde sepi? Kan harus cari solusinya," tegasnya dan mengaku  tetap berharap kepada kebijakan pemerintah membela hak pedagang.(Muhammad Ridho Akbar adalah Mahasiswa Prodi Jurnalistik Angkatan 2023)