Kisah Sari Palupi, Tak Surut Semangat Berjuang untuk Kesetaraan Penyintas HIV Palembang

Senin, 28 November 2022 23:20 WIB

Penulis:Nila Ertina

Editor:Redaksi Wongkito

Sari Palupi
Sari Palupi (WongKito.co/Nila Ertina)

"Aku bertemu dengan Mbak Sari Palupi sehingga akhirnya bisa bertahan sampai saat ini," kata Noris Mariance salah seorang penyintas HIV dari Palembang, belum lama ini.

Ia mengungkapkan kemalangan beruntun dia alami.

Ketika itu tahun 2008, dirinya mengakui sangat kaget saat hendak melahirkan. Tepat sehari sebelum melahirkan,  hasil tes dinyatakan  positif HIV.

Melahirkan pun wajib menjalani operasi alias SC sesuai dengan prosedur bagi penyintas HIV, lahirlah dengan selamat sang anaknya dan bersyukur negatif HIV.

Kemalangan beruntun pun harus dia hadapi karena sang suami meninggal akibat komplikasi HIV dengan penyakit bawaannya tahun 2009.

"Aku sempat putus asa mbak," kata Noris.

Keberuntungan masih berpihak kepada perempuan yang kini menjabat Koordinator Ikatan Perempuan Positif Indonesia (IPPI) Sumsel ia mengaku bertemu dengan mbak Sari Palupi tahun 2009.

Pertemuan dengan Sari Palupi menjadi anugerah bagi Noris dan juga sejumlah penyintas lainnya, diantara Eni (34).

Eni mengakui kalau dirinya sangat putus asa saat dinyatakan positif HIV.

"Saya ini hanya ibu rumah tangga biasa mbak, saya terinfeksi HIV karena tertular dari suami," kata dia.

Noris dan Eni menjadi contoh nyata bahwa mereka terinfeksi HIV bukan karena akibat kelakuan "buruk" seperti yang disematkan masyarakat kepada penyintas HIV.

Dua perempuan tangguh ini, justru terpapar HIV karena hubungannya dengan suami yang awalnya tidak mengungkapkan status sebagai penyandang orang dengan HIV.

Meskipun menjadi penyintas, namun keduanya kini tetap beraktivitas dan hidup normal karena memang tidak menderita penyakit komorbid.

Bergabungnya di komunitas penyandang HIV juga menjadi cara Noris dan Eni untuk tetap bisa bersemangat meskipun di dalam tubuh mereka ada virus.

Noris menambahkan tahun 2009 menjadi titik awal bangkitnya dari keterpurukan setelah dinyatakan positif tahun 2008 dan ditinggalkan almarhum suami.

"Aku dipertemukan dengan mbak Sari Palupi, dan terus diberi dukungan dan diajak bergabung dalam komunitas," kata dia lagi.

Eni pun mengaku kini bisa hidup layak berkat dukungan dari sesama penyintas.

"Kami kan sekarang juga bekerja untuk yayasan dan rutin berkumpul dan menjalan program pencegahan maupun pengendalian HIV," kata dia.

Positif HIV

Adalah Sari Palupi yang menjadi "ibu" bagi penyintas HIV lainnya di Kota Palembang. Bukan hanya bagi Noris dan Eni, Sari tak lelah mendatangi penyintas-penyintas lainnya dan mengajak mereka untuk membuktikan orang dengan HIV bisa hidup normal dan berdampingan masyarakat lain.

Ia mengaku, bak petir di siang bolong saat dinyatakan positif HIV.

Ia mengungkapkan awalnya tidak mudah untuk menerima atau berdamai dengan hasil pemeriksaan yang menyatakan positif HIV.

Tahun 2007 awalnya, Sari dan Suaminya yang berprofesi sebagai ahli desain Nuklir  berkebangsaan Inggris sedang mengurus Visa di kedutaan.

Salah satu pemeriksaan yang dijalani adalah tes HIV dan ternyata setelah menunggu, hasilnya dinyatakan positif.

Guna memastikan kebenaran hasil uji virus HIV tersebut, atas dukungan sang suami, Sari yang bercerita sambil sesekali menyeka air matanya segera memeriksakan kesehatannya kesalah satu rumah sakit di Singapura.

"Saya memeriksakan diri secara komprehensif untuk mencari pendapat lain, dan berharap hasilnya negatif,"

"Tetapi hasil pemeriksaan menyeluruh di rumah sakit tersebut, juga membuktikan temuan virus HIV dalam tubuh," kata dia sembari kembali menyeka air matanya, saat dibincangi akhir pekan lalu disela-sela kesibukannya.

Ketika hasil tes virus Sari dinyatakan positif, hal berbeda dengan suaminya.

"Suami saya negatif HIV," kata dia yang sebelum menikah dengan suaminya  tidak pernah berpacaran.

Bahkan awal berkenalan pun cukup unik, suaminya melihat video rekaman koleganya.

Mengetahui sang istri positif HIV,  sang suamilah yang tidak hanya memberikan dukungan semangat tetapi juga membiaya semua kebutuhan pengobatan dirinya. Pada tahun 2007 itu, pemeriksaan saja biayanya sudah mahal.

Pun begitu juga dengan obat-obatan, ketika itu belum gratis, ujar dia.

Bahkan selama setahun-an Sari mengungkapkan dirinya terpaksa pulang pergi Palembang ke Jakarta untuk konsultasi dan berobat di RS Cipto Mangunkusumo di Jakarta.

Dari konsultasi dengan dokter tersebutlah, ia mendapat pencerahan kemungkinan dirinya terpapar HIV akibat tidak sterilnya peralatan layanan kesehatan yang dijalani beberapa waktu sebelumnya.

Dia menuturkan kalau memang melakukan perawatan gigi dengan memasang briket gigi.

Padahal dia mengakui kalau telah memilih fasilitas yang paling mahal di kota tempat tinggalnya. Namun, ternyata justru terpapar virus dari sana.

Awalnya, Sari mengaku sulit untuk menyampaikan kondisinya  yang positif terinfeksi HIV kepada keluarga. Berkat, suaminya dirinya pun bercerita kepada ayah dan keluarga inti lainnya.

"Dukungan suami yang waktu itu berada di luar negeri, menjadi semangat saya untuk menyampaikan kepada keluarga," tutur dia mengenang suaminya yang meninggal tahun 2015.

Perempuan bertubuh mungil ini, kini hidup bahagia bersama tiga orang anaknya, meskipun bukan anak biologis.  Disela-sela kesibukannya selalu menyempatkan untuk memberi perhatian lebih kepada mereka.

Terutama kepada anak bungsunya yang masih berusia 8 tahun, setiap kali hendak tidur masih harus di “nina bobokan” terlebih dahulu.

Egaliter Hak Penyintas

"Jujurlah pada calon pasangan atau  pasanganmu saat  kamu dinyatakan positif HIV," Sari mengingatkan penyintas dalam setiap kesempatan.

Dia menjelaskan dengan jujur kepada pasangan maka pencegahan HIV dapat dilakukan.

Kekinian, jumlah bayi dan anak-anak yang terpapar semakin meningkat. Salah satu penyebabnya karena penyintas belum berani jujur kepada pasangan.

"Bukan hanya kepada pasangan hidup, kepada keluarga pun hendaknya kita menyampaikan dengan jujur,"  kata perempuan  berusia 46 tahun ini.

Bagaimana mau setara atau egaliter, jika penyintas tidak membuka diri kepada masyarakat karena keengganan membuka identitas sebagai penyandang tersebut biasanya dari diri kita.

Dengan membuka diri, maka masyarakat pun akan melihat kalau penyintas bisa hidup normal karena penularan pun tidak semudah virus-virus lain.

Stigma dan diskriminasi terhadap penyintas pun diharapkan akan terkikis.

Karena sesungguhnya, kesetaraan yang  berkeadilan adalah hak semua.(Nila Ertina)