Investasi
Jumat, 20 Desember 2024 10:04 WIB
Penulis:Nila Ertina
JAKARTA - Pulau Rempang kembali menjadi berita utama, setelah sempat beberapa bulan terendam. Konflik yang menyebabkan masyarakat adat menjadi korban akibat perlawanan mereka mempertahankan tempat tinggal dan lahan mencari nafkah.
Konflik masyarakat Pulau Rempang dan PT. Makmur Elok Graha (MEG) terkait pembangunan Rempang Eco City telah memunculkan ketegangan yang memerlukan perhatian serius. Tanah yang diklaim sebagai warisan leluhur oleh masyarakat adat kini menjadi bagian dari proyek pembangunan berskala besar.
Konflik ini bermula dari perselisihan klaim atas tanah di Pulau Rempang, yang melibatkan masyarakat adat dan pemerintah, serta pihak swasta. Masyarakat adat, termasuk Suku Melayu dan Suku Laut, mengklaim bahwa Pulau Rempang adalah tanah warisan leluhur yang telah mereka tempati selama lebih dari dua abad.
Masyarakat memandang tanah tersebut sebagai bagian dari identitas budaya dan sejarah yang diwariskan dari generasi ke generasi. Namun, pada tahun 2001-2002, pemerintah memberikan Hak Guna Usaha (HGU) atas lahan tersebut kepada PT. Makmur Elok Graha (MEG), sebuah perusahaan swasta. Walaupun HGU telah diberikan, investor tidak mengelola tanah tersebut selama lebih dari dua dekade, hingga akhirnya isu ini mencuat dan memicu ketegangan di tengah masyarakat.
Baca Juga:
Situasi semakin rumit karena pengelolaan lahan di Batam, termasuk Pulau Rempang, berada di bawah kewenangan Badan Pengusahaan (BP) Batam. Sayangnya, batas-batas antara tanah adat dan kawasan yang dikelola oleh BP Batam tidak diatur dengan jelas, menciptakan tumpang tindih klaim yang menjadi sumber perselisihan.
Ketidakjelasan ini membuat masyarakat adat merasa hak mereka diabaikan, sementara pemerintah berargumen bahwa kawasan tersebut telah dialokasikan untuk mendukung proyek pembangunan dan investasi strategis.
Kondisi ini memperuncing konflik, terutama ketika masyarakat adat merasa terancam oleh rencana pembangunan Rempang Eco City, yang mengharuskan mereka meninggalkan tanah yang telah mereka tempati selama ratusan tahun.
Sebagai bagian dari Kawasan Ekonomi Khusus (KEK), Batam memiliki daya tarik yang besar bagi investor melalui berbagai insentif, seperti pembebasan pajak tertentu dan fasilitas khusus untuk mendukung kegiatan bisnis. Proyek Rempang Eco City dirancang sebagai salah satu motor penggerak ekonomi baru di wilayah tersebut, dengan fokus pada pembangunan industri, pusat komersial, dan pariwisata berkelanjutan.
“Batam ini bertetangga dengan negara-negara seperti Singapura dan Malaysia. Dan juga memiliki Kawasan Ekonomi Khusus (ZEK) yang memberikan insentif fiskal dan fasilitas bagi investor. Jadi, di sini ada semacam keuntungan kalau kita berdagang di Batam,” terang Praktisi Hukum Spesialis Bidang Properti dan Sumber Daya Manusia, Evander Nathanael Ginting, dikutip laman resmi UGM, Kamis, 19 Desember 2024.
Pemerintah dan pengembang menjanjikan bahwa proyek ini tidak hanya akan meningkatkan daya saing Batam secara regional tetapi juga akan menciptakan lapangan kerja bagi masyarakat lokal.
Namun, respons masyarakat terhadap proyek ini terbagi. Sebagian masyarakat, terutama mereka yang merupakan pendatang atau telah lama berintegrasi dengan dinamika perkotaan Batam, mendukung proyek tersebut karena melihatnya sebagai peluang untuk meningkatkan taraf hidup dan menciptakan peluang ekonomi baru.
Di sisi lain, kelompok masyarakat adat yang tetap bertahan di Pulau Rempang menentang keras pembangunan ini. Bagi mereka, proyek ini bukan hanya mengancam keberadaan tanah warisan leluhur tetapi juga identitas budaya mereka yang telah bertahan selama berabad-abad.
Penolakan mereka didasari kekhawatiran akan kehilangan tempat tinggal, mata pencaharian, dan hak-hak adat yang mereka anggap belum sepenuhnya diakui atau dihormati oleh pemerintah dan pengembang proyek. Ketegangan ini mencerminkan benturan antara kebutuhan akan pembangunan ekonomi dengan pelestarian hak dan budaya masyarakat adat.
Konflik ini memiliki dasar hukum yang panjang. Keputusan Presiden No. 41 Tahun 1973 memberikan BP Batam otorisasi penuh atas pengelolaan lahan. Pada tahun 2004, PT. MEG mendapatkan rekomendasi dari DPRD Batam untuk pengembangan wilayah, termasuk Pulau Rempang.
“Setelah itu, mulai masuklah PT. Makmur Elok Graha pada tahun 2004, di mana DPRD Batam itu memberikan rekomendasi, bahwa PT ini dapat melakukan tindakan pengembangan di wilayah Batam," ujar Evan.
Baca Juga:
Namun, legalitas ini berbenturan dengan pengakuan tanah adat dan status masyarakat hukum adat yang masih diperdebatkan. Dalam perspektif hukum konstitusional, hukum adat memiliki kedudukan yang kuat, tetapi implementasinya sering kali menemui hambatan dalam kebijakan lokal.
Penyelesaian konflik ini memerlukan pendekatan yang menyeluruh. Pemerintah perlu mempertimbangkan tiga landasan utama, hukum konstitusional, hukum adat, dan hukum agama. Pengakuan terhadap tanah adat dan masyarakat hukum adat menjadi langkah penting untuk mencapai solusi yang adil.
Dialog antara pemerintah, masyarakat adat, dan investor harus terus digencarkan untuk menemukan jalan tengah yang tidak hanya mendukung investasi tetapi juga melindungi hak-hak masyarakat adat. Transparansi dan keterlibatan berbagai pihak dalam proses pengambilan keputusan akan menjadi kunci keberhasilan penyelesaian konflik Pulau Rempang.
Tulisan ini telah tayang di www.trenasia.com oleh Muhammad Imam Hatami pada 19 Dec 2024
15 hari yang lalu