Rabu, 09 Juli 2025 09:50 WIB
Penulis:Redaksi Wongkito
Editor:Redaksi Wongkito
JAKARTA, WongKito.co – Hujan deras yang mengguyur kawasan Bogor membuat banjir dan longsor di beberapa titik pada Sabtu malam, 5 Juli 2025. Bupati Bogor Rudy Susmanto mengatakan titik banjir pertama berada di Kecamatan Megamendung, tepatnya di Desa Cipayung, Desa Cipayung Girang, serta Desa Gadog, yang seluruhnya terletak di kawasan Puncak.
Banjir bandang dan tanah longsor yang melanda sejumlah desa di Bogor dipicu oleh intensitas hujan yang sangat tinggi. Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) sebelumnya memprakirakan adanya peningkatan pembentukan awan di berbagai wilayah Indonesia, khususnya di bagian selatan dan timur.
Kondisi ini dipengaruhi oleh melemahnya Monsun Australia, yang meningkatkan potensi terbentuknya awan hujan. Bencana itu juga tak lepas dari masifnya deforestasi dan alih fungsi lahan di kawasan Puncak dan sekitarnya.
Selama 2011-2020, Kabupaten Bogor mengalami deforestasi seluas 2.721,01 hektar. Kawasan dengan alih fungsi terluas terjadi pada areal penggunaan lain (APL), yaitu sebesar 2.540,40 hektar atau sekitar 93,36% dari total deforestasi.
Hal ini disebabkan karena lahan APL umumnya berstatus hak milik masyarakat. Deforestasi juga tercatat terjadi di Taman Nasional dengan luas 162,18 hektar atau 5,96% dari total.
Dilansir dari jurnal yang bertajuk “Analisis deforestasi dan perubahan tutupan lahan di Kabupaten Bogor: implikasi bagi konservasi hutan dan pengelolaan sumber daya alam,” di kawasan Hutan Produksi Terbatas, deforestasi mencapai 9,69 hektar (0,35%), di Hutan Produksi seluas 8,11 hektar (0,29%), dan di Hutan Lindung sebesar 0,63 hektar (0,02%).
Seharusnya, kawasan Taman Nasional dan Hutan Lindung harus bebas dari aktivitas deforestasi karena kegiatan penebangan hutan tidak diperbolehkan di area tersebut. Menurut data dari Forest Watch Indonesia (FWI), kawasan Puncak telah mengalami degradasi hutan dan lahan yang cukup parah dalam beberapa dekade terakhir.
Mulai tahun 2000-2016, luas hutan alam yang hilang di kawasan ini tercatat mencapai 5.700 hektar. Deforestasi adalah fenomena berkurangnya luas kawasan hutan akibat alih fungsi lahan untuk berbagai kebutuhan seperti pembangunan infrastruktur, permukiman, kegiatan pertanian, pertambangan, maupun perkebunan.
Pengkampanye Hutan Forest Watch Indonesia (FWI) Tsabit Khairul Auni mengatakan, hutan memiliki peran penting dalam menyimpan air di dalam tanah. Hutan berfungsi menahan air hujan agar tidak langsung mengalir ke sungai.
Dilansir dari Forest Watch Indonesia, kerusakan hutan akibat alih fungsi lahan di wilayah hulu Daerah Aliran Sungai (DAS) Ciliwung, Kali Bekasi, dan Sungai Cisadane telah menyebabkan sungai-sungai tersebut meluap, sehingga menimbulkan banjir yang menggenangi berbagai area di Kawasan Puncak, serta sejumlah wilayah di Jakarta dan Bekasi.
Tsabit menjelaskan, hilangnya hutan alam berdampak negatif terhadap kemampuan tanah dalam menyerap air, yang kemudian memicu peningkatan aliran permukaan (run-off) dan mempercepat terjadinya banjir.
Kondisi ini diperburuk oleh alih fungsi lahan secara masif menjadi kawasan terbangun. Pembangunan villa, destinasi wisata beserta fasilitas pendukung seperti rest area, permukiman, dan infrastruktur jalan membuat air hujan sulit meresap ke dalam tanah, sehingga memperbesar potensi terjadinya banjir.
Laporan FWI 2025 menyebutkan kerusakan hutan alam atau deforestasi di tiga Daerah Aliran Sungai (DAS) yaitu Ciliwung, Kali Bekasi, dan Cisadane telah mencapai 2.300 hektare selama periode 2017 hingga 2023. Luas tersebut setara dengan sekitar 850 kali ukuran lahan Gedung Sate di Bandung.
Analisis FWI juga mengungkap adanya perubahan signifikan pada kondisi penutupan hutan dan lahan di Kawasan Puncak, Bogor, sepanjang tahun 2017-2024. Kerusakan hutan alam di kawasan ini terjadi akibat alih fungsi lahan yang terus berlanjut.
Dari total 310 hektare hutan alam yang rusak di Kecamatan Megamendung dan Kecamatan Cisarua, sekitar 208,76 hektare telah berubah menjadi area perkebunan, sekitar 26,64 hektare menjadi kawasan terbangun, dan 75,33 hektare menjadi lahan terbuka.
Hutan di kawasan Puncak dan sekitarnya, yang seharusnya berfungsi sebagai daerah resapan air, kini sebagian besar telah beralih menjadi area permukiman, villa, dan objek wisata.
Dilansir dari Wahana Lingkungan Hidup Indonesia, dalam lima tahun terakhir, WALHI Jawa Barat mencatat tingkat kerusakan lingkungan di kawasan ini, meningkat dari 45% menjadi 65%.
Alih fungsi lahan kerap dilakukan tanpa mempertimbangkan daya dukung dan daya tampung lingkungan, serta sering mengabaikan kajian Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL), meskipun area tersebut tergolong rawan bencana.
WALHI Jawa Barat menekankan, sejumlah izin untuk usaha properti dan pariwisata dikeluarkan tanpa pengawasan ketat. Di samping itu, maraknya aktivitas tambang pasir dan batu ilegal turut memperparah kondisi tanah, sehingga meningkatkan kerentanan terhadap erosi dan longsor.
Kawasan Bogor (Puncak, Jonggol, Cikeas, Sentul, Hambalang, dan sekitarnya) yang seharusnya berperan sebagai daerah resapan air, kini banyak mengalami alih fungsi lahan. Akibatnya, limpahan air hujan tidak terserap dengan baik dan mengalir ke hilir, memicu banjir yang berdampak hingga ke Bekasi dan Jakarta.
Kondisi ini disebabkan oleh kerusakan ekologi di kawasan Bogor, yang diperparah oleh pembangunan besar-besaran yang tidak sesuai dengan rencana tata ruang.
Tulisan ini telah tayang di TrenAsia.com oleh Distika Safara Setianda pada 8 juli 2025.