Menyusuri Jejak Sejarah Palembang dari Sungai Musi hingga Makam Ibu Raden Fatah

Selasa, 26 Agustus 2025 08:23 WIB

Penulis:Nila Ertina

Sejumlah  penumpang ketek peserta susur Sungai Musi mengarungi perairan sungai yang  membelah Kota Palembang
Sejumlah penumpang ketek peserta susur Sungai Musi mengarungi perairan sungai yang membelah Kota Palembang (ist)

PALEMBANG, WongKito.co - Udara Palembang masih sejuk ketika cahaya matahari mulai menimpa atap Gedung Kesenian Palembang, pada Minggu (24/8/2025). Dari kejauhan, terlihat puluhan orang berkumpul dengan wajah penuh antusias. Mereka bukan sekadar ingin berjalan-jalan, melainkan ingin menelusuri kembali denyut sejarah yang selama berabad-abad telah membentuk jiwa kota ini.


Di tepi Sungai Musi, ketek atau perahu kayu telah disiapkan. Getaran air dan bunyi mesin perahu seakan menjadi musik pembuka perjalanan. Para peserta Wisata Budaya Forwida menaiki perahu satu per satu. Dari atas air, Palembang tampak berbeda, rumah-rumah panggung, jembatan yang menjulang, dan arus sungai yang seolah berbisik tentang masa lalu.

Baca Juga:


Tujuan pertama mereka adalah Pulo Kemaro, sebuah pulau yang bukan hanya terkenal karena kisah cinta legenda Tan Bun An dan Siti Fatimah, tetapi juga karena jejak pertempuran heroik. Di sini, sejarah Kesultanan Palembang Darussalam yang berhadapan dengan kolonial Belanda kembali hidup dalam ingatan. Nama Kapitan Bongsu disebut, sosok panglima yang berjuang mempertahankan marwah kota. Beberapa peserta terdiam, membayangkan bagaimana Sungai Musi dulu menjadi arena perlawanan.


Dari Pulo Kemaro, perjalanan berlanjut ke Pulau Seribu. Perahu perlahan merapat ke tepian, dan rombongan melangkah menuju makam Ibu Raden Fatah. Suasana hening menyelimuti. Di hadapan pusara sederhana itu, refleksi tentang peran perempuan dalam sejarah lokal mengemuka. “Seringkali kita hanya mengenang raja dan panglima, padahal perempuan pun menyimpan kisah besar,” bisik salah satu peserta dengan nada haru.


Perjalanan belum berakhir. Dari Pulau Seribu, rombongan diarahkan menuju kampung songket dan jumputan Tuan Kentang, 15 Ulu. Rumah-rumah kembar peninggalan masa lalu berdiri anggun, seolah menjaga cerita di setiap dindingnya. Di dalam rumah, jemari-jemari halus pengrajin menenun benang emas menjadi songket yang berkilau. Setiap helai kain bukan sekadar busana, melainkan narasi panjang tentang kerja keras, estetika, dan identitas Palembang.


Sepanjang perjalanan, Sungai Musi menjadi saksi. Bagi masyarakat Palembang, sungai bukan sekadar bentang geografis, melainkan ruang kontemplasi dan sumber inspirasi. Wisata Budaya Forwida  hadir sebagai upaya kolektif untuk menghidupkan kembali memori kota sungai, menghadirkan Palembang sebagai ruang budaya yang terus bergerak, berlapis, dan berdaya.


Ketua Forwida, Dr. Diah K. Pratiwi, menegaskan pentingnya kegiatan ini bagi generasi muda.

 “Kami ingin masyarakat, terutama anak-anak muda, merasakan langsung bahwa sungai bukan hanya bagian dari geografi, tapi juga dari jiwa Palembang. Melalui wisata ini, kami tidak sekadar mengenang, tetapi juga menghidupkan kembali nilai-nilai budaya yang hampir terlupakan,” ujarnya.

Baca Juga:


Bagi para peserta, pengalaman ini bukan hanya perjalanan menyusuri sungai, melainkan perjalanan menyusuri ingatan kolektif sebuah kota yang dibangun di atas air. 

Setiap perahu yang melaju, setiap kain songket yang ditenun, hingga setiap makam yang diziarahi, semuanya menjadi pengingat bahwa Palembang adalah kota dengan warisan sejarah dan budaya yang sangat kaya.


Dengan demikian, Wisata Budaya Forwida bukan hanya agenda wisata, melainkan sebuah gerakan kebudayaan yang menghubungkan masa lalu, masa kini, dan masa depan Palembang.(ril)