Rabu, 17 Desember 2025 20:22 WIB
Penulis:Redaksi Wongkito

SOLO, WongKito.co —Universitas Muhammadiyah Surakarta (UMS) meluncurkan inovasi terbaru dalam pencegahan Tuberkulosis (TBC) dan penyesuaian terhadap perubahan iklim melalui instalasi panel surya di Rusunawa I Begalon Panularan Kota Solo.
Pemasangan sistem energi terbarukan ini merupakan bagian dari program Srawung Sains, sebuah kolaborasi multidisiplin yang mengintegrasikan teknologi, kesehatan publik, ilmu komunikasi, serta pemberdayaan masyarakat untuk menciptakan Kampung Peduli TBC yang tangguh terhadap perubahan iklim.
Inisiatif ini dijalankan Pusat Studi Penyakit Kronis (CDRC) UMS dengan dukungan tim dari Program Studi Kesehatan Masyarakat, Arsitektur, Teknik Elektro, dan Ilmu Komunikasi. Pendanaan program berasal dari Direktorat Diseminasi dan Pemanfaatan Sains dan Teknologi – Kemendiktisaintek melalui skema Tera Saintek dengan judul "Srawung Sains: Community Innovation Hub dengan Pendekatan Sirkular Saintek Inklusif, Nudge, dan Gamifikasi untuk Eliminasi Tuberkulosis di Rumah Susun Panularan Surakarta."
Ketua Projek Srawung Sains sekaligus Ketua CRDC UMS, Dwi Linna Suswardany, menjelaskan TBC merupakan penyakit yang sangat terpengaruh kondisi lingkungan. Hunian dengan kondisi gelap, kelembapan tinggi, dan ventilasi terbatas memiliki risiko jauh lebih besar sebagai tempat penyebaran bakteri Mycobacterium tuberculosis.
"Dalam hunian padat seperti rumah susun, keterbatasan ruang publik yang terang dan sehat kerap mendorong warga beraktivitas di koridor atau di dalam kamar yang lebih minim sirkulasi udara, sehingga meningkatkan risiko penularan penyakit berbasis udara," ujar Dwi Linna dalam keterangan yang diterima TrenAsia, Rabu, 17 Desember 2025.
Hasil pengukuran yang dilakukan Dian Islami, Laboran Prodi Kesehatan Masyarakat UMS bersama mahasiswa menunjukkan bahwa sebelum dilakukan intervensi, tingkat kelembapan di area bawah tanah/basement mencapai angka rata-rata 80%.
Lampaui Standar Permenkes
Angka ini melampaui standar kesehatan berdasarkan Standar Baku Mutu Kesehatan Lingkungan (SBMKL Indoor) Permenkes No. 2 Tahun 2023 yang menetapkan kisaran ideal 40-60%.
Meski pencahayaan rata-rata sudah memadai, namun di satu titik tertentu hanya tercatat 22,75 lux, sangat jauh dari standar minimal 60 lux. Sementara itu, suhu rata-rata tercatat 30,5°C. "Lingkungan memberi pesan yang sangat jelas untuk kita tindak lanjuti," kata Dwi Linna.
Berbagai penelitian internasional dalam jurnal kesehatan global membuktikan kondisi udara lembap, pencahayaan kurang, dan sirkulasi udara yang tidak memadai tidak hanya memicu pertumbuhan jamur, tetapi juga memperpanjang keberadaan bakteri Mycobacterium tuberculosis di udara dan melemahkan ketahanan paru-paru.
Bagi penghuni dengan TB laten, lingkungan semacam itu dapat menjadi pemicu transformasi penyakit yang 'diam' menjadi aktif (meningkatkan risiko progresi TB laten). Projek Srawung Sains kemudian menghadirkan solusi melalui instalasi panel surya di Rusunawa I Panularan sebagai langkah awal dari transformasi yang lebih komprehensif.
Energi terbarukan ini membuka berbagai kemungkinan pengembangan jangka panjang yang menyentuh beragam aspek kehidupan penghuni seperti sistem penerangan koridor dan tangga untuk meningkatkan rasa aman, ventilasi bertenaga surya guna menurunkan kelembapan dan jamur, hingga dapur komunal yang mendukung praktik memasak sehat, pelatihan gizi, dan produksi jamu keluarga.
Ketua RT 07 RW 3 Rusunawa I Panularan, Dariningsih, memberikan apresiasi terhadap solusi yang ditawarkan Srawung Sains. "Kehadiran panel surya membawa perubahan nyata dalam keseharian warga. Energi matahari kini menopang sebagian penerangan dan pompa air, sekaligus membantu menekan biaya listrik bulanan," ungkap Dariningsih.
Saat ini, kapasitas yang terpasang mencapai 5,2 kWp dengan potensi penambahan di masa depan karena kapasitas inverter mencapai 6,2 kW. Ruang komunal dan Dapur Komunal bertenaga surya ini juga berpotensi mendorong tumbuhnya usaha berbasis komunitas mulai dari katering sehat hingga olahan jamu serta menyediakan ruang belajar dan co-working sederhana bagi anak-anak dan remaja rusun.
Konsep ini bahkan dirancang sebagai model percontohan yang dapat diterapkan di wilayah padat lainnya di Indonesia. Pengalaman dari berbagai negara menunjukkan, ruang komunal berbasis energi surya tidak hanya menurunkan risiko penyakit yang terkait dengan hunian lembap, tetapi juga meningkatkan partisipasi sosial dan memperkuat kapasitas warga dalam memecahkan persoalan kesehatan mereka sendiri.
Teknologi, dalam konteks ini, berfungsi sebagai pemantik perubahan sosial. "Ini tidak hanya tentang sumber listrik, energi surya membuka kesempatan baru, kesempatan untuk menghadirkan ruang yang lebih sehat, lebih aman, dan memberi warga kendali atas kualitas hidup mereka," ujar anggota Srawung Sains, Hasyim Asy'ari.
Bagi UMS, Projek Srawung Sains yang didanai melalui Tera Saintek Direktorat Diseminasi dan Pemanfaatan Sain dan Teknologi ini membuka wawasan bahwa pengendalian TBC dan adaptasi perubahan iklim dapat berjalan secara paralel.
Pengalaman ini diharapkan dapat menginspirasi kelurahan lain, baik di hunian vertikal maupun kampung kota, untuk mengembangkan ruang hidup yang lebih sehat, berketahanan iklim, dan berdaya melalui kolaborasi lintas sektor.
Di tengah tantangan Tuberkulosis dan krisis iklim yang kian kompleks, cahaya dari panel surya di Rusunawa I Panularan menjadi penanda sederhana bahwa perubahan besar kerap berawal dari langkah-langkah kecil yang dirancang bersama (ko-kreasi), dijalankan bersama, dan dijaga bersama secara berkelanjutan.
Tulisan ini telah tayang di TrenAsia.com, jejaring media WongKito.co, pada 17 Desember 2025.