Kamis, 20 Juni 2024 11:51 WIB
Penulis:Nila Ertina
PALEMBANG, WongKito.co - Menanam ubi di lahan tersisa dan mengolah hasil panennya menjadi emping adalah upaya sekelompok perempuan petani di Desa Seribandung, Kecamatan Tanjung Batu, Kabupaten Ogan Ilir, Provinsi Sumatera Selatan dalam menjaga asa perjuangan hak atas tanahnya.
Mereka menyebut diri sebagai Kelompok Perempuan Pejuang Seribandung (KPPS). Bersama-sama mempertahankan lahan dari penguasaan PT Perkebunan Nusantara (PTPN) VII unit Cinta Manis, mereka sepakat menamakan produk olahannya Emping Ubi Umak. Hasil penjualan emping digunakan untuk membiayai perjuangan.
Sejak 2019, rumah produksi Emping Ubi Umak bertempat di area tempat tinggal salah satu warga. Pembuatan emping menggunakan alat-alat sederhana seperti ember, baskom, mesin parut, dan mesin peras. Ubi dibeli dari kebun masing-masing anggota yang lokasinya jauh dari desa. Potongan ubi yang sudah diolah akan dijemur ala kadarnya di atap rumah. Setelah kering, emping kemudian dikemas dan siap dijual.
Baca Juga:
Hanya saja, saat ini mereka terpaksa menghentikan sementara pembuatan emping karena masalah rumah produksi. “Pemilik rumah panggung itu akan menggunakan ruangan bawah yang biasa kami pakai, jadi rumah produksi harus pindah,” tutur Nurmidah, salah satu anggota KPPS, dibincangi di Palembang.
Emilia, anggota KPPS lainnya menyebut, sudah hampir enam bulan Emping Ubi Umak belum bisa produksi. Menurut dia, persoalan rumah produksi menjadi masalah untuk perjuangan KPPS. Namun, masalah ini tidak lebih besar jika dibandingkan dengan masalah penguasaan lahan oleh PTPN VII Cinta Manis pada tahun 1982 silam.
“Sangat jauh lebih besar (masalah) penguasaan lahan oleh perusahaan,” tegasnya, Rabu (12/06/2024).
Konflik bermula ketika PTPN VII Cinta Manis mulai mengelola lahan seluas 20.000 Ha yang berada di 22 desa di Kabupaten Ogan Ilir pada tahun 1982. Padahal Hak Guna Usaha (HGU) baru diterbitkan oleh Badan Pertanahan Nasional (BPN) tahun 1995 untuk lahan seluas 6.500 Ha. Dilanjutkan HGU kedua seluas 8.866,75 Ha tahun 2016.
Sejak awal perusahaan perkebunan berskala besar itu beroperasi, penolakan-penolakan sudah terjadi. Penguasaan lahan itu dirasa tidak adil bagi masyarakat petani di wilayah setempat, termasuk petani Desa Seribandung. Sebab, mereka sudah turun temurun mengelola lahan di sana. Mereka bertanam padi, palawija, karet, dan nanas sejak dulu.
Desa-desa di wilayah konsesi Cinta Manis sudah ada sejak masa pemerintahan marga. Mayoritas penduduk adalah Suku Penesak dengan bukti kepemilikan tanah berupa surat pancung alas yang diterbitkan oleh Pesirah (Kepala Adat) dan surat pernyataan penguasaan tanah oleh Kerio (Kepala Desa). Sayangnya, alas hak tersebut tidak pernah diakui negara sebagai bukti kepemilikan hak tanah.
Penguasaan lahan oleh perusahaan akhirnya merugikan masyarakat. Mereka kehilangan sumber kehidupan akibat mengecilnya wilayah administrasi desa dan hilangnya lahan produktif. Sampai akhirnya sebagian masyarakat beralih pofesi menjadi buruh, petani penggarap lahan orang, atau menjadi buruh harian lepas di PTPN VII Cinta Manis.
Sementara itu, terdapat lahan seluas 25 meter yang tidak diganti rugi oleh perusahaan. KPPS pun memanfaatkannya dengan menanam ubi. Setiap anggota mengelola lahan rata-rata seluas 0,5 Ha. Dengan menanam, mereka telah melawan dan melestarikan lahan.
“Lahan itu bisa kami kelola karena ada perjanjian perusahaan dengan masyarakat pada tahun 1982, lahannya berada di area perusahaan,” jelas Emilia.
Ia memastikan, lahan akan tetap ditanami ubi dan produksi Emping Ubi Umak diupayakan terus berjalan untuk merawat perjuangan KPPS. Sebab, bergerak dan berjuang dalam waktu yang lama bisa saja membuat semangat anggota menurun. Apalagi belakangan, perusahaan tetap melakukan penggusuran sebagian tanah rawa dengan dalih tanah sudah diganti rugi.
Dari catatan Solidaritas Perempuan, Emilia atas nama KPPS pernah mendatangi Kementerian Agraria Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN) pada 25 September 2017 untuk berdialog dan meminta peninjauan ulang HGU PTPN VII Cinta Manis.
Audiensi itu ditanggapi oleh Direktorat Sengketa dan Konflik Tanah yang menjabat kala itu, yang mengatakan dasar ATR/BPN mengeluarkan HGU karena perusahaan sudah memberikan kelengkapan dokumen. Berdasarkan dokumen itu juga disebutkan bahwa warga sudah setuju tanahnya dijadikan perkebunan dan warga sudah mendapat ganti rugi.
Sebelumnya, KPPS juga telah melapor ke Komnas Perempuan. Laporan juga disampaikan kepada Kantor Staf Kepresidenan. Pengaduan kepada Ombudsman RI agar melakukan pemeriksaan dan mengeluarkan rekomendasi korektif terhadap izin dan HGU juga sudah dilakukan.
Dengan tetap memproduksi bersama Emping Ubi Umak diharapkannya bisa menjaga kekompakan dari perjuangan bersama itu. Karenanya, mereka saat ini berusaha mencari bantuan dana pembuatan rumah produksi baru. “Butuh bangunan setengah permanen,” tambah Emilia.
Feminist Economy Solidarity Perkuat Perlawanan
Dibincangi terpisah, Rani Nova Riani selaku Ketua Dewan Pengawas Komunitas Solidaritas Perempuan (SP) Palembang mengungkapkan, pihaknya selama ini mendampingi KPPS. Hingga hari ini jumlah anggota aktifnya ada 17 orang. Guna memperkuat gerakan perlawanan para perempuan akar rumput tersebut, SP Palembang membangun program Feminist Economy Solidarity (FES).
Program FES mendorong para perempuan bersolidaritas dan berusaha mandiri dengan melihat potensi Sumber Daya Alam (SDA) yang bisa mereka kelola. Di Desa Seribandung, anggota KPPS memilih tanaman ubi yang cocok dengan struktur tanah di sana. Tujuannya untuk alat perjuangan, meski mereka hanya dapat menanam di tepi kebun perusahaan.
SP Palembang juga membantu dari sisi kemasan dan pemasaran. Pembeli bisa tahu asal usul emping itu dengan membaca sejarah perlawanan di kemasannya. Bahkan dibuatkan juga dalam versi bahasa inggris agar emping bisa diperkenalkan lebih luas.
Rani membenarkan, Emping Ubi Umak saat ini masih dicarikan tempat baru untuk kembali produksi. Diyakininya masih ada harapan bagi perempuan Seribandung untuk mendapatkan kembali lahan miliknya jika terus merawat perjuangan.
“Ya, lagi ada masalah di rumah produksi. Selama ini tempat itu menumpang di salah satu rumah anggota juga. Sekarang mereka kesulitan cari tempat. Jadi, setop produksi,” ujar Rani kepada wongkito.co.
Ia menjelaskan, langkah perjuangan perempuan Seribandung menanami lahan tersisa tersebut juga merupakan upaya agar bisa bertahan hidup. Kehadiran PTPN VII Cinta Manis yang berjanji dapat menyejahterakan masyarakat sekitar tidaklah terwujud. Nyatanya, justru membuat masyarakat terutama perempuan semakin termiskinkan karena hilangnya sumber kehidupan.
Status PTPN VII Cinta Manis sebagai BUMN seharusnya tidak menjadi pembenaran untuk pelanggaran hak ataupun tindakan sewenang-wenang. Mengingat, dari data Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Sumsel, konflik Cinta Manis yang terjadi sejak 1982 telah membuat 62 orang dikriminalisasi, 18 orang luka tembak, 2 orang cacat fisik, 1 orang alami gangguan jiwa, dan 2 orang meninggal dunia.
Salah satu korban jiwa anak berusia 12 tahun yang tewas karena tertembak aparat saat pecah konflik tahun 2012. “Pola perusahaan perkebunan itu sejak awal sudah salah. Janji cuma janji. Janjinya tidak semanis tebu, malah lahan warga tidak balik. Tanah dirampas tanpa dicerdaskan dulu masyarakatnya,” tukas Rani.
Reforma Agraria Mesti Ubah Ketimpangan Hak
Dikutip dari Catatan Akhir Tahun 2022 Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA), besarnya angka konflik, kriminalisasi, penggusuran, penganiayaan, hingga korban tewas terjadi karena pihak PTPN berdalih atas alasan penyelamatan aset negara.
Dikonfirmasi terkait hal ini, Ketua KPA Wilayah Sumatera Selatan, Untung Saputra mengatakan, konflik agraria di sektor perkebunan dan kehutanan merupakan konflik laten karena faktor kebutuhan tanah yang luas. Rata-rata HGU diterbitkan untuk luasan lahan hingga 20.000 Ha.
Di Provinsi Sumsel sendiri, PTPN mengelola empat komoditas perkebunan yakni sawit, karet, tebu, dan teh. Kawasan Desa Seribandung dikhususkan untuk perkebunan tebu yang dianggap sebagai bagian dari pangan.
Baca Juga:
Menurutnya, persoalan lahan di Desa Seribandung hanya bagian kecil dari masalah utamanya yaitu kebijakan, khususnya dalam penerbitan HGU yang pro pemodal. Sehingga dapat dipastikan ketika konflik terjadi dan berhadapan dengan masyarakat, kebijakan negara akan lebih memprioritaskan perusahaan.
Apalagi PTPN sebagai BUMN berkaitan dengan tiga kementerian, antara lain Kementerian ATR/BPN yang menerbitkan HGU, Kementerian BUMN selaku pemegang saham, dan Kementerian Keuangan karena menyangkut perbendaharaan aset negara.
“Aparat negara merasa berkewajiban melindungi aset negara. Argumentasi itu akhirnya melegitimasi tindakan represif,” jelasnya.
Letusan konflik agraria yang terjadi menggambarkan reaksi masyarakat atas perampasan tanah karena tidak diakuinya sistem kepemilikan yang telah berlaku selama bergenerasi. Ditambah pula keluarnya Surat Keputusan (SK) Gubernur Sumsel No.142/KPTS/III/Tahun 1983 tentang pembubaran sistem marga, menjadi alasan pengakuan adat atas tanah seperti Pancung Alas tidak diakui negara.
Berdasarkan UU Pokok Agraria, hak ulayat semestinya bisa diakui negara selama masih ada lahannya. Syarat terbitnya HGU juga mengharuskan lahan tersebut clear and clean.
Karena itu, ketika perempuan Seribandung optimis dalam mempertahankan perjuangannya, Untung menilai, hal itu berkaca pada Desa Rengas, Kabupaten Ogan Ilir, yang berhasil menguasai kembali tanahnya seluas 1.500 Ha dari PTPN VII Cinta Manis pada tahun 2010.
Disinggung masa depan reforma agraria, Untung menunjukkan bahwa KPA telah menyusun pemetaan Lokasi Prioritas Reforma Agraria (LPRA). Pihaknya merekomendasikan agar ada pelurusan reforma agraria nasional oleh negara ke depan. Sebab, reforma agraria berarti mengubah ketimpangan hak penguasaan tanah.
Dia mengakui, ada kalanya perlawanan kepada ketimpangan hak penguasaan tanah akan melemah jika terdapat masalah internal masyarakatnya sendiri. Itu sebabnya, perjuangan perlu dirawat seperti yang dilakukan perempuan Desa Seribandung. (Yulia Savitri)