Senin, 07 Juli 2025 14:28 WIB
Penulis:Redaksi Wongkito
Editor:Redaksi Wongkito
JAKARTA, WongKito.co – Di balik tujuan mulia program bantuan sosial (bansos) untuk mengentaskan kemiskinan, sebuah kenyataan pahit terungkap. Sebanyak 571.410 penerima bansos terindikasi aktif berjudi secara daring.
Data ini diungkapkan oleh Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) dalam laporan tahunannya, memperlihatkan korelasi mengkhawatirkan antara kemiskinan dan praktik perjudian ilegal.
“Data tahun 2024 menunjukkan, dari 9,7 juta pemain judi online, terdapat 571.410 NIK yang juga menerima bansos,” ujar Ketua Tim Humas PPATK, M. Natsir, Senin 7 Juli 2025.
Temuan tersebut bersumber dari hasil analisis terhadap 28,4 juta Nomor Induk Kependudukan (NIK) penerima bansos. Tak hanya itu, kelompok ini juga tercatat melakukan lebih dari 7,5 juta transaksi judi online dengan total nilai deposit mencapai Rp957 miliar, dan itu baru dari satu bank saja. PPATK menduga angka sebenarnya jauh lebih besar jika ditelusuri dari institusi perbankan lainnya.
“Ini bukan lagi persoalan administratif, tapi sudah masuk dalam kategori penyalahgunaan bantuan negara untuk kegiatan ilegal,” tegas Natsir.
Kenapa Kaum Miskin Justru Lebih Rentan Berjudi?
Fenomena ini bukan tanpa penjelasan. Sebuah riset oleh Research Institute on Addictions (RIA) di University at Buffalo, New York, mengungkapkan bahwa tingkat perjudian justru lebih tinggi di lingkungan masyarakat miskin ketimbang di kawasan yang lebih sejahtera. Studi yang melibatkan 5.000 partisipan ini menyatakan bahwa individu yang hidup dalam kemiskinan atau bergantung pada bantuan sosial cenderung memiliki risiko lebih tinggi mengalami kecanduan berjudi.
“Orang-orang yang secara ekonomi tertinggal tampaknya tidak hanya lebih rentan menjadi penjudi, tetapi juga mengalami masalah perjudian yang lebih serius, termasuk kecanduan,” tulis laporan tersebut yang dipublikasikan di Journal of Behavioral Addictions pada 2014.
Alasannya kompleks, namun sebagian besar berakar pada keputusasaan dan harapan semu. Ketika seseorang tidak memiliki cukup uang untuk membayar sewa atau membeli makanan, mereka cenderung mempertaruhkan uang yang sedikit itu dengan harapan mendapat keuntungan besar dalam waktu singkat, sesuatu yang dijanjikan judi namun jarang benar-benar terjadi.
Sayangnya, alih-alih menyelesaikan masalah keuangan, perjudian justru memperburuknya. Ketika kalah, mereka sering mencoba lagi, mempertaruhkan lebih banyak uang, dan masuk ke dalam siklus kecanduan yang sulit diputus. “Gejala ini mirip dengan kecanduan alkohol atau narkoba, di mana seseorang terus mengulangi perilaku berisiko meski tahu dampaknya buruk,” ujar peneliti dalam studi tersebut.
Inilah yang juga disorot oleh Morgan Housel dalam bukunya The Psychology of Money. Menurutnya, perilaku terhadap uang tidak selalu didorong oleh logika, melainkan oleh pengalaman dan emosi.
“Orang miskin tidak berjudi karena bodoh, tapi karena merasa tidak punya pilihan,” tulis Housel. Ia menekankan bahwa keputusan keuangan yang buruk sering lahir dari keputusasaan, bukan ketidaktahuan.
Lebih lanjut, Housel menjelaskan bahwa “kebebasan finansial bukanlah soal jumlah uang, melainkan soal kontrol atas pilihan.” Bagi mereka yang hidup dalam tekanan ekonomi, judi menjanjikan mimpi tentang kebebasan itu, meski berisiko tinggi dan cenderung menghancurkan. Ketika masa depan tampak gelap, mengambil risiko besar demi secercah harapan terasa lebih masuk akal dibanding menabung sedikit demi sedikit.
Evaluasi Kementerian Sosial
Menanggapi laporan PPATK, Menteri Sosial Saifullah Yusuf menyatakan pihaknya akan mengevaluasi ulang sistem penyaluran bansos. Ia menekankan pentingnya pengawasan ketat dan peran serta publik dalam mengawasi distribusi bantuan.
“Ini bagian dari upaya pemerintah memastikan bahwa bansos benar-benar tepat sasaran,” ujarnya.
Ia juga menyebut bahwa pendamping sosial yang terbukti lalai dalam proses verifikasi akan turut dievaluasi. “Jika ditemukan pelanggaran, identitas pendamping akan ditelusuri, dan bisa memengaruhi kelanjutan kontrak kerjanya,” tegas dia.
Selain itu, Kementerian Sosial juga tengah menelusuri rekening-rekening penerima bansos yang tercatat memiliki saldo mencurigakan, antara Rp1 juta hingga Rp2 juta. Menurutnya dana bansos seharusnya langsung digunakan untuk kebutuhan dasar, bukan disimpan apalagi dipakai untuk berjudi.
“Prinsip kami adalah edukasi dulu. Tapi kalau pelanggarannya terbukti berat, maka bansos akan dievaluasi dan bisa dihentikan,” katanya.
Tulisan ini telah tayang di TrenAsia.com oleh Ananda Astri Dianka pada 7 Juli 2025.