Rumah Limas Palembang, Simbol Kebanggaan dan Warisan Budaya Melayu Islam

Sabtu, 22 November 2025 06:48 WIB

Penulis:Nila Ertina

Rumah Limas Palembang, simbol arsitektur tradisional Sumatera Selatan yang masih terjaga keasliannya.
Rumah Limas Palembang, simbol arsitektur tradisional Sumatera Selatan yang masih terjaga keasliannya. (Foto Istimewa/Fitri Novitasari )

Oleh: Fitri Novitasari dan Reva Azzahra*

RUMAH Limas Palembang adalah rumah adat khas Sumatera Selatan yang menjadi simbol kebanggaan masyarakatnya. Dikutip dari buku Sejarah Kebudayaan Palembang 1 Rumah Adat Limas (2021), rumah ini dinamakan “Limas” karena bentuk atapnya yang menyerupai limas bertingkat dan mengerucut ke atas seperti piramida.

Di Palembang sendiri terdapat beberapa Rumah Limas yang masih dipertahankan, dan dijaga oleh masyarakat dan pemerintah daerah. Salah satu yang paling terkenal adalah Rumah Limas di Museum Negeri Sumatera Selatan Balaputera Dewa, berjarak sekitar 6,6 kilometer dari Jembatan Ampera. Rumah tersebut dulunya milik Pangeran Syarif Abdurrahman Al-Habsyi, bangsawan keturunan Arab yang dikenal sebagai ulama pada masa Kesultanan Palembang Darussalam.

Sejarah Rumah Limas

Rumah Limas dibangun dari kayu tembesu dan unglen, berdiri di atas tiang tinggi, serta memiliki lantai berundak atau kekijing yang mencerminkan tatanan sosial masyarakat Melayu-Islam. Zamhari (2023) dalam Arsitektur Rumah Limas Palembang Sebagai Warisan Budaya menyebut, rumah ini bukan sekadar tempat tinggal, melainkan simbol kehormatan, kesopanan, dan keseimbangan hidup antara dunia dan akhirat.

Baca Juga:

Dikutip dari buku Sejarah Kebudayaan Palembang 1 Rumah Adat Limas (2021), Rumah Limas sudah dikenal sejak masa Kesultanan Palembang Darussalam pada abad ke-17 hingga ke-19. Kala itu, rumah ini menjadi simbol status sosial bagi para bangsawan, ulama, dan pejabat kerajaan.

Menurut Zamhari (2023), arsitektur Rumah Limas mencerminkan suasana religius masyarakat

Melayu-Islam yang menjunjung tinggi nilai spiritual, kesopanan, dan keteraturan sosial. Sementara Lisnani dkk (2022) dalam Studi Etnomatematika Rumah Limas di Museum Negeri Sumatera Selatan Balaputera Dewa menjelaskan bahwa rumah di museum tersebut diperkirakan dibangun pada akhir abad ke-18 hingga awal abad ke-19, menggunakan sistem pasak tanpa paku, khas teknik konstruksi Melayu kuno.

Menurut Lisnani dkk (2022), rumah yang kini berdiri di Museum Balaputera Dewa merupakan milik Pangeran Syarif Abdurrahman Al-Habsyi, bangsawan keturunan Arab yang juga seorang ulama berpengaruh. Dalam buku Refisrul (2008) berjudul Rumah Limas Palembang: Konsep Tata Ruang dan Pengaruh Jawa, disebutkan bahwa rumah-rumah Limas pada masa lalu banyak dimiliki oleh keluarga kerajaan dan ulama yang turut menyebarkan Islam di Palembang.

Pascamasa kesultanan, Pemerintah Provinsi Sumatera Selatan melalui Dinas Kebudayaan dan Museum Negeri Balaputera Dewa mengambil peran penting dalam pelestarian rumah adat ini (Zamhari, 2023). Hingga kini, museum tersebut menjadi pusat edukasi budaya yang memperkenalkan arsitektur Islam Melayu kepada generasi muda.

Menurut Hidayad & Kunian (2020), Rumah Limas berfungsi tidak hanya sebagai tempat tinggal, tetapi juga sebagai pusat kegiatan sosial dan keagamaan. Ruang depan sering digunakan untuk pengajian, akad nikah, tahlilan, dan musyawarah keluarga besar.

Dina Sri Nindiati (2020) menambahkan, rumah ini menjadi simbol keterbukaan dan kebersamaan, tempat masyarakat menjalin silaturahmi dalam suasana kekeluargaan. Tata ruang yang luas dan lapang melambangkan semangat ukhuwah Islamiyah. Sementara Zamhari (2023) menyebutkan, prinsip kebersihan, kesederhanaan, dan penghormatan terhadap tamu menjadi nilai utama yang tertanam dalam kehidupan penghuni Rumah Limas.

Keunikan Arsitektur Rumah Limas

Hidayad & Kunian (2020) menjelaskan, bentuk atap bertingkat lima pada Rumah Limas melambangkan rukun Islam. Setiap lantai atau kekijing memiliki fungsi sosial tersendiri:
Lantai pertama untuk tamu umum,
Lantai tengah untuk anggota keluarga laki-laki,
Lantai tertinggi atau gegajah diperuntukkan bagi tamu kehormatan dan tempat kamar pengantin saat acara adat.

Nugroho & Anwar (2016) mencatat bahwa ukiran bunga teratai, melati, dan pakis pada pintu dan kusen rumah memiliki makna religius. Teratai melambangkan kesucian, melati berarti keimanan, dan pakis menggambarkan kehidupan abadi.

Menurut M. Ekhzan Natha Pratama (2023), struktur arsitektur Rumah Limas merupakan hasil perpaduan unsur lokal Melayu, Islam, dan pengaruh luar seperti Cina dan Jawa. Atap berundak menggambarkan perjalanan manusia menuju kesempurnaan iman, sedangkan bentuk panggung mencerminkan kearifan lokal masyarakat Palembang yang tinggal di wilayah berawa.

Rumah ini telah beberapa kali dipindahkan karena dibangun menggunakan sistem pasak tanpa paku, sehingga dapat dibongkar dan dirakit ulang. Kini, bangunan bersejarah itu menjadi ikon warisan arsitektur Islam Melayu dan sering dijadikan lokasi penelitian serta kegiatan budaya.

Aspek Nilai dan Identitas

Nilai Keislaman dan Kearifan Lokal Rumah Limas memuat nilai-nilai Islam seperti tauhid, kesederhanaan, kebersihan, dan kebersamaan. Hidayad & Kunian (2020) menjelaskan bahwa penataan ruang diatur menurut adab Islam tamu ditempatkan sesuai usia dan kedudukan, sedangkan ruang dalam dijaga kesuciannya.

Dina Sri Nindiati (2020) menyebutkan, rumah ini mencerminkan karakter masyarakat Melayu Palembang yang ramah, sopan, dan religius. Sementara Refisrul (2008) menyebut Rumah Limas sebagai “miniatur masyarakat beradab” karena mengajarkan harmoni antara adat dan agama.

Baca Juga:

Nilai-nilai tersebut sejalan dengan semboyan Bersih, Aman, Rapi, Indah (BARI), yang menjadi falsafah hidup masyarakat Palembang. Rumah Limas adalah perwujudan nyata dari prinsip tersebut bersih karena menekankan kesucian, aman bagi penghuninya dengan struktur panggung, rapi dalam tata ruang sosial, dan indah dalam ukiran yang sarat makna spiritual.

Lisnani dkk (2022) menjelaskan bahwa pola geometri dan proporsi bangunan Rumah Limas menjadi inspirasi arsitektur Islam modern, terutama dalam penggunaan sirkulasi udara dan cahaya alami.

Zamhari (2023) menambahkan, konsep rumah panggung dan ventilasi alami kini diadaptasi pada desain masjid serta bangunan publik di Sumatera Selatan, menciptakan keseimbangan antara fungsi, lingkungan, dan spiritualitas.

Menurut M. Ekhzan Natha Pratama (2023), nilai-nilai Rumah Limas seperti kesederhanaan, kebersamaan, dan harmoni menjadi fondasi bagi pengembangan arsitektur Islam kontemporer yang berkarakter lokal namun tetap universal.

*Mahasiswa Prodi Jurnalistik UIN Raden Fatah Palembang, Angkatan 2023