RUU PPRT Belum Jelas Selama 21 Tahun, Koalisi Masyarakat Sipil Tagih Janji Prabowo dan DPR

Kamis, 30 Oktober 2025 07:37 WIB

Penulis:Nila Ertina

Konferensi Pers “Menagih Janji Prabowo dan DPR Sahkan RUU PPRT
Konferensi Pers “Menagih Janji Prabowo dan DPR Sahkan RUU PPRT (Tangkapan layar)

JAKARTA, WongKito.co - Rancangan Undang-Undang Perlindungan Pekerja Rumah Tangga (RUU PPRT), hingga kini belum jelas dan telah terkatung-katung 21 Tahun, padahal berulang kali rezim berjanji untuk mengesakan menjadi undang-undang.

Tepat pada peringatan Hari Buruh Internasional atau May Day, 1 Mei 2025, Presiden Prabowo Subianto menyampaikan bahwa ia akan mendorong pengesahan menjadi UU PPRT dalam waktu tiga bulan.  Saat itu, Prabowo memastikan kepada Wakil Ketua DPR RI, Sufmi Dasco Ahmad, bahwa DPR dalam waktu satu pekan akan segera membahas RUU PPRT tersebut.

Namun, Enam bulan berlalu sejak komitmen itu disampaikan, hingga hari ini, Rabu, 29 Oktober 2025, janji tersebut tak terwujud. Bahkan pengesahan RUU ini  disalip oleh RUU BUMN yang tak sampai sebulan sudah langsung disahkan menjadi UU BUMN, demikian diungkapkan dalam Konferensi Pers “Menagih Janji Prabowo dan DPR Sahkan RUU PPRT, secara virtual.

Koalisi Masyarakat Sipil untuk UU PPRT menagih janji Prabowo dan DPR untuk segera mengesahkan RUU PPRT menjadi UU PPRT. Sebab, dengan UU PPRT maka para pekerja rumah tangga akan mendapat kesempatan untuk mendapatkan perlindungan dan jaminan keamanan dari negara dalam melakukan pekerjaan mereka.

Baca Juga:

Hingga kini, pekerja rumah tangga bekerja tanpa perlindungan sehingga rentan mendapat perlakuan penuh kekerasan dan eksploitasi, bahkan terjadi pelanggaran hak asasi manusia ketika mereka diperlakukan semena-mena dengan bekerja selama 24 jam penuh tanpa cuti dan istirahat.

Lita Anggraeni dari JALA PRT mengungkapkan RUU PPRT ini sudah diperjuangkan sejak 21 tahun lalu, tapi hingga kini 
nasibnya masih terkatung-katung. Berkali-kali dibahas, tapi berulang kali pula RUU PPRT ditunda. Nasib PRT mendapat pengakuan negara melalui legislasi yang kuat terus diabaikan.

Pada 5 Mei lalu, Ketua Baleg DPR, Bob Hasan, mengatakan perlindungan merupakan materi utama RUU PPRT. Bob Hasan menjanjikan, Baleg akan menyusun kembali naskah akademik dan draf RUU dengan target disahkan di rentang waktu tahun 2025.

Rancangan beleid ini sebagai bentuk negara hadir menjaga kondusifitas, menjaga HAM bagi seluruh rakyat Indonesia.  

Saat itu ia berjanji akan menyusun naskah akademik dengan komitmen  membuat RUU PPRT disahkan tahun ini.  Bob memastikan, tahun ini RUU PPRT masuk dalam program legislasi nasional (Prolegnas) Prioritas 2025.

"Kami mendesak Presiden Prabowo Subianto dan DPR untuk segera mengesahkan RUU PPRT ini," tegas Lita.

Menurut dia, RUU PPRT ini masih diganjal oleh DPR tahun 2023 harusnya sudah menjadi UU, karena sudah menjadi RUU Inisiatif di DPR, tapi ditahan oleh salah seorang ketua DPR. Jadi kami mempertanyakan kembali, bagaimana sikap pemerintah dan Presiden Prabowo yang sudah menjanjikan bahwa RUU ini akan segera selesai dalam tiga bulan?

"Penting bagi kami untuk tahu, bagaimana sikap sebenarnya pemerintah, DPR dan para fraksi terhadap RUU PPRT ini? Mengapa masih selalu dikatakan perlu kajian kembali? Pimpinan DPR ini sudah jadi agen perbudakan modern,”  ujar Lita.

Lita juga mempertanyakan, ketegasan pemerintah untuk mendorong RUU ini segera disahkan di DPR. Sebab, menurut Lita, korban terus menerus berjatuhan   dan situasi perbudakan masih terjadi dan dialami langsung oleh pekerja rumah tangga.

"Kami mendesak agar RUU PPRT ini segera disahkan," ujar Lita dengan tegas.

Senada dengan Lita Anggraeni, Eva Kusuma Sundari dari Institut Sarinah, juga  mempertanyakan sikap pemerintah yang selama 21 tahun abai dengan RUU PPRT ini.

“Kalau pakai interseksi perempuan miskin ga hanya di ranah rumah tangga tapi  juga ranah politik. Pengalaman 21 tahun  ini adalah penglihatan bagaimana lemahnya DPR lemah dalam memproses RUU PPRT ini. Mereka  memproses UU BUMN sekilat itu untuk kepentingan kekuasaan untuk kepentingan kelas atas. Tapi ketika RUU Pro rakyat inisiatif DPR sendiri kok dikalahkan? Harusnya ini inisiatif DPR, ya DPR harus tarung habis-habisan,” ujarnya.

Eva menagih komitmen Sufmi Dasco Ahmad untuk membuktikan komitmennya.

 “Ini sudah lewat dari 3 bulan dan kesalip dengan RUU lain yang pro kekuasaan.  Di 25 th CEDAW kita jadi mengakui bahwa diskriminasi ada, bahkan oleh politisi kepada warga kelas bawah yaitu PRT. Pemerintah pro kekuasaan, kalo DPR ini wakil rakyat, harusnya Pak Dasco bisa memenuhi UU PPRT dengan serius,” ujarnya.
 
Eva juga meminta komitmen kepada Puan Maharani, Ketua DPR RI, untuk berkontribusi positif dalam pengesahan RUU PPRT ini, karena pengesahan ini adalah amanah Soekarno soal keadilan sosial.

“Dan kepada Mba Puan untuk berkontribusi positif, karena UU ini menjadi  legasi dia sebagai ketua DPR. Ini kan amanah dari Soekarno. ini komitmen pimpinan, antara 5 pimpinan itu utamanya Pak Dasco. dan Mba Puan mesti punya komitmen, perempuan dukung perempuan, ya ini di tanah air sendiri.  Dengan tidak mengesahkan RUU PPRT ini betul-betul melecehkan Pancasila,” ujarnya dengan tegas.
  
Nadila Yuvitasari dari Kalyanamitra menyatakan kehadiran PRT penting dan sangat dibutuhkan. Menurutnya, banyak warga bisa beraktivitas, itu karena ada   PRT yang menjalankan peran domestik.  

“Sayangnya PRT kondisinya rentan dan minim perlindungan hukum. ini terkait political will anggota Dewan. Sebab PRT berada dalam kerentanan domestic dan minim jaminan social," kata dia.

Dila  menjelaskan  pada 2020-2024, data menunjukan 128 PRT mengalami  kekerasan.  Padahal pekerjaan merawat anak dan lansia yang sering dilakukan PRT itu fundamental.

Tanpa PRT itu akan menjadi beban perempuan dengan upah murah. Mengakui, melindungi, dan menghargai PRT adalah keharusan.

Adanya konvensi CEDAW, mestinya menjadi dorongan untuk mengesahkan RUU PPRT. Ini draff RUU PPRT jangan hanya menjadi draff, sekarang waktu yang seharusnya untuk mengesahkan, jangan ditunda lagi,  ujarnya.

Baca Juga:



Nadila menambahkan, PRT merupakan bagian tak terpisahkan dan melekat  dengan struktur ekonomi kita karena mereka bekerja pada bagian esensial.

"Kita tetap bisa bekerja karena ada PRT yang membantu. Mereka paling rentan dan minim perlindungan hukum, tak ada kejelasan di meja legislatif. Ini bukan masalah birokrasi semata, tapi lemahnya political will dari penyelenggara negara terhadap pekerja sektor ini," ujar Dila.

PRT  juga rentan tak punya jaminan sosial dan PHK sepihak. Dan bukan hanya soal perlindungan hukum, tapi wujud nyata pengakuan negara pada pekerjaan keperawatan dan komitmen dengan ratifikasi konvensi CEDAW,  karena Indonesia sudah setuju dengan ratifikasi ini.

"Artinya Indonesia tak punya komitmen memenuhi ratifikasi CEDAW," ujarnya.

Nadila menegaskan, RUU PPRT harus disahkan sekarang karena kekerasan terus berlanjut dan PRT tak bisa lagi menunggu terlalu lama.(*)