Sabtu, 12 Juli 2025 09:58 WIB
Penulis:Redaksi Wongkito
Editor:Redaksi Wongkito
Belum lama ini Tech in Asia mengumumkan penutupan kantornya di Indonesia. Media yang berfokus pada isu teknologi dan startup itu bakal berhenti beroperasi per 15 Juli 2025. Penghentian penerbitan berbahasa Indonesia diklaim sebagai bentuk efisiensi.
Beberapa waktu sebelumnya, Sea Today mengumumkan siaran terakhirnya pada 30 Juli 2025 setelah empat tahun mengudara. Media yang saat peresmiannya dihadiri Menteri BUMN Erick Thohir itu tak membeberkan alasan penutupan. Namun yang pasti, Tech in Asia dan Sea Today menjadi media kesekian yang harus menyerah di era sunset media.
Hari-hari ini publik seperti rutin disuguhi berita bertumbangannya media massa atau PHK karyawan. Tahun ini, Kompas TV mengumumkan PHK 150 karyawan usai menghentikan siaran televisi digital.
CNN Indonesia TV mengonfirmasi PHK sebanyak 200 karyawan, Global TV mengurangi 30% tenaga kerja di bagian produksi hingga Republika yang merumahkan 60 karyawan termasuk 29 wartawan untuk efisiensi operasional.
Media seperti Gatra saja pun harus tutup buku pada 31 Juli 2024, menjelang usia tiga dekade mereka. Kerugian finansial beberapa tahun terakhir membuat salah satu majalah legendaris di Indonesia itu gulung tikar. Masalahnya, kabar PHK atau penutupan media seringkali dibarengi dengan hak-hak pekerja yang belum tuntas.
Dewan Pers mencatat pada 2023 saja setidaknya ada lebih dari 800 orang pekerja pers yang dipecat sepihak. Jumlah ini bisa lebih besar jika ditambah dengan perusahaan media lokal. Ironisnya, tak sedikit yang gagal memperjuangkan hak dasar setelah PHK seperti pesangon.
Berdasarkan data Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia, ada ratusan pekerja media yang terkena PHK dalam beberapa bulan terakhir. Kebanyakan tidak mendapat pemenuhan hak sesuai aturan.
Proses PHK kerap tidak dibarengi dengan transparansi, dialog yang memadai dengan pekerja, atau pemenuhan hak-hak normatif pekerja sebagaimana diatur UU Ketenagakerjaan. Bahkan, ada media yang melakukan union busting atau pemberangusan serikat pekerja.
Situasi bakal menjadi lebih rentan bagi jurnalis yang medianya tidak memiliki serikat pekerja. Mereka harus berjuang sendiri dalam advokasi. Jangankan menuntut, sebagian pekerja masih kebingungan soal status dan hak-haknya di perusahaan. Data menyebutkan 43% pekerja media di bawah 30 tahun tak tahu haknya.
Hal ini bisa menjadi bom waktu lantaran mayoritas media di Indonesia belum memiliki serikat pekerja. Federasi Serikat Pekerja Media (FSPM) Independen mencatat hanya ada sekitar 70 serikat pekerja dari ribuan media di Indonesia. Itu pun hanya 24 yang aktif. Sementara Serikat SINDIKASI mencatat baru ada 26 kelompok yang terdiri dari asosiasi profesi atau serikat pekerja di sektor media dan kreatif.
Dengan kata lain, masifnya pertumbuhan media di Indonesia tidak dibarengi penambahan serikat pekerja. Padahal, keberadaan serikat pekerja penting untuk memastikan hak pekerja media terpenuhi. Hal yang mungkin banyak diabaikan korporasi, serikat pekerja sejatinya vital untuk membantu mereka menghadapi tantangan dalam industri.
Mengubah Cara Pandang
Serikat pekerja seringkali masih dianggap musuh atau penghambat keberlanjutan perusahaan. Sejatinya jika perusahaan memposisikan mereka sebagai mitra, akan banyak manfaat yang didapat. Hal itu seperti menjaga kredibilitas media lewat kontrol etik kolektif.
Serikat pekerja juga dapat mendorong inovasi model bisnis serta stabilisator SDM dengan meminimalkan konflik yang mengganggu operasional. Data AJI menunjukkan perusahaan media dengan serikat aktif mengalami penurunan 40% gugatan hukum dari karyawan karena sengketa diselesaikan internal melalui mekanisme Perjanjian Kerja Bersama (PKB).
Selain itu perusahaan dengan serikat pekerja memiliki retensi karyawan 85%, lebih tinggi dari media tanpa serikat sebesar 52% (data FSPM 2025). Stabilitas SDM ini meningkatkan kedalaman peliputan, kualitas konten, dan loyalitas pembaca.
Riset FSPM juga menyebutkan media dengan serikat memiliki produktivitas 23% lebih tinggi dibanding media tanpa serikat. Biaya pengurusan hukum pun dapat ditekan dari Rp740 ribu per bulan menjadi Rp120 ribu per bulan. Di samping itu, keberadaan serikat pekerja dapat menjadi katalis SDM berkualitas.
Serikat pekerja di Metro TV contohnya. Mereka menginisiasi skill upgrading program kolaborasi dengan universitas, menghasilkan peningkatan 30% kompetensi jurnalis dalam produksi konten digital. Produksi konten kolaboratif juga meningkat 40%, serta ada penghematan biaya riset pasar Rp1,2 miliar per tahun.
Sementara itu, program konseling gratis yang mereka usung menekan angka burnout karyawan dari 37% jadi 12%, menurunkan biaya klaim asuransi kesehatan perusahaan. Pembentukan serikat pekerja di Metro TV bukannya tanpa resistensi.
Namun, akhirnya ada win-win solution berupa Joint Innovation Task Force, gabungan manajemen-serikat, untuk inovasi produk. Alih-alih menghambat, serikat pekerja dapat menjadi mitra strategis perusahaan untuk menghadapi era disrupsi dan tekanan ekonomi yang membuat media berguguran.
Riset International Labour Organization (ILO) tahun 2024 tentang Digital Journalism bilang begini: perusahaan media terbaik abad 21 bukan yang menghindari serikat, tapi yang mengubahnya menjadi mitra transformasi.
Tulisan ini telah tayang di TrenAsia.com oleh Chrisna Chanis Cara pada 12 Juli 2025.