Ironi Larangan Gunakan Plastik, Tapi Masih Diandalkan: Tantangan Nyata Kebijakan Hijau di Palembang

Seorang perempuan melintas dan membawa makanan dengan kemasan plastik bening (Foto M Alvan Tio W)

Oleh  : Muhammad Alvan Tio W

DI pasar tradisional, warung kaki lima, hingga gerobak makanan keliling, kantong plastik masih jadi “barang wajib”. Meskipun Pemkot Palembang sudah membatasi penggunaannya sejak Januari 2025, pembungkus  plastik masih yang utama digunakan.

Padahal, kebijakan pembatasan kantong plastik ini bukan kebijakan dadakan. Pemerintah Kota Palembang telah mengeluarkan Surat Edaran Wali Kota Nomor 3 Tahun 2024—turunan dari SE No. 3/2021 yang mengatur larangan penggunaan kantong plastik sekali pakai oleh pelaku usaha, terutama di sektor ritel modern dan makanan-minuman (FnB). Tapi, realitas di lapangan menunjukkan, aturan ini belum sepenuhnya dijalankan secara merata.

Surat edaran tersebut memang ditujukan untuk sektor usaha, tapi implementasinya terbatas. Minimarket anggota Asosiasi Pengusaha Ritel Indonesia (Aprindo) sudah taat, bahkan mewajibkan pelanggan membawa tas sendiri atau membeli kantong berbahan ramah lingkungan. Namun di sisi lain, pedagang kecil dan warung makan masih banyak yang tetap memakai plastik.

"Kami sudah tidak menyediakan plastik sejak Februari. Banyak pelanggan sudah terbiasa bawa tas belanja sendiri,” kata Junadi, pegawai minimarket di kawasan Demang Lebar Daun, Jumat (4/7/2025).

Baca Juga:

Berbeda dengan ritel besar, pelaku usaha mikro belum tersentuh optimal oleh edukasi dan sosialisasi. Hal ini diakui oleh Dinas Lingkungan Hidup dan Kebersihan (DLHK) Palembang. Menurut mereka, baru sekitar 60–70% pelaku usaha yang mulai beralih dari plastik. Sisanya masih dalam tahap penyesuaian.

"Masih tahap sosialisasi. Untuk penegakan, belum ada sanksi tegas. Fokus kami sekarang adalah edukasi,” ujar Kepala DLHK Palembang,  Zulfikar Muhammad, dikutip dari Sumsel Ekspres.

Belum Siap

Kewajiban membawa kantong  belanja saat belanja ke mini market kini mulai dilakukan konsumen, hanya saja belum menjadi gaya karena merupakan kebiasaan baru.

"Kadang saya lupa bawa tas sendiri. Jadi kalau toko dak nyediake plastik, agak repot,” ujar Muharam, warga Palembang.

Hal ini menunjukkan bahwa kebijakan ini bukan hanya soal regulasi, tapi juga budaya dan kebiasaan masyarakat yang masih bergantung pada plastik sekali pakai.

Volume Sampah di TPA Turun

Sementara DLHK setempat mengeklaim bahwa sejak awal 2025, volume sampah plastik di Tempat Pembuangan Akhir (TPA) Sukawinatan mengalami penurunan sekitar 10–20%. Namun, belum ada data terperinci yang menunjukkan jenis dan sumber sampah tersebut.

Data dari Sistem Informasi Pengelolaan Sampah Nasional (SIPSN) menyebutkan, total timbunan sampah di Palembang mencapai 700–800 ton per hari, dengan komposisi plastik sekitar 12–15%. Angka ini masih lebih tinggi dibanding kota seperti Bandung yang telah lebih dulu menjalankan kebijakan serupa sejak 2019.

Di antara beragam penggunaan  produk ramah  lingkungan adalah mendorong pemakaian plastik biodegradable atau plastik yang mudah terurai, nyatanya tidak semua alternatif tersebut benar-benar ramah lingkungan. Banyak produk yang hanya bisa terurai di fasilitas pengolahan khusus yang belum tersedia di Palembang.

"Banyak biodegradable itu hanya bisa hancur kalau suhu dan kelembaban tertentu terpenuhi, biasanya di pabrik," ujar Dr. Siti Rohayah, M.Si, pakar lingkungan dikutip dari Universitas Sriwijaya.

Selain itu, pedagang kecil mengeluhkan harga kantong ramah lingkungan yang lebih mahal, membuat mereka enggan beralih.

"Tas daur ulang harganyo mahal. Kalau kami paksakan, harga makanan harus naik, Pelanggan jadi kabur Jadi sekarang pakai plastik," kata Septi, penjual nasi ayam geprek.

Baca Juga:

Dalam hal pengawasan, Satpol PP sebagai aparat penegak perda belum dilibatkan secara penuh. Kepala Satpol PP Palembang yang sempat diwawancarai menyebut bahwa pihaknya menunggu instruksi lebih lanjut dari DLHK terkait teknis penindakan.

Perluasan sosialisasi ke tingkat warung, pasar tradisional, dan pedagang kecil. Subsidi atau insentif bagi UMKM yang beralih ke kemasan ramah lingkungan menjadi bagian penting.

*Mahasiswa Prodi Jurnalistik UIN Raden Fatah Palembang, Angkatan 2023

Editor: Nila Ertina

Related Stories