Sikap AJI Terkait Maraknya Pemberitaan Diskriminatif Terhadap Minoritas Gender dan Seksual di Lombok, Simak Yuk!

Minggu, 16 November 2025 13:42 WIB

Penulis:Nila Ertina

AJI
AJI (aji.or.id)

JAKARTA - Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia mendesak sejumlah media massa tidak diskriminatif dalam memberitakan setiap individu dengan ragam identitas gender dan seksual karena semakin menebalkan stigma, kebencian, dan memicu kekerasan.

Pernyataan tersebut disampaikan karena pemberitaan media daring tentang Sister Hong Lombok yang viral belakangan ini. Pemberitaan itu cenderung diskriminatif terhadap orang dengan ragam orientasi seksual dan identitas gender.

Ketua Umum AJI Indonesia, Nany Afrida mengatakan pemberitaan yang menghubungkan orientasi seksual dengan penyimpangan tidak menghormati keberagaman identitas gender dan mengabaikan pentingnya inklusivitas terhadap kelompok minoritas berbasis identitas gender.

“Pemberitaan seperti itu semakin mempertebal stigma terhadap kelompok minoritas gender dan seksual yang berujung pada perlakuan diskriminatif,” katanya, dalam siaran pers  yang diterima Sabtu (15/11/2025).

Baca Juga:

Ia menjelaskan, menyebut identitas gender seseorang sebagai penyimpangan tidak berbasis pada bukti ilmiah dan mengabaikan prinsip universal hak asasi manusia atau HAM.

Piagam PBB dan Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM) menyatakan bahwa setiap orang berhak atas semua hak dan kebebasan tanpa pembedaan, termasuk jenis kelamin atau status lainnya.

PBB menekankan pentingnya perlakuan yang setara dan adil bagi semua individu, termasuk orang dengan ragam identitas gender dan seksual.

Lembaga kesehatan dunia atau World Health Organization pada musyawarah Majelis Kesehatan Dunia yang ke-43 Tahun 1990 telah menghapus LGBT dalam daftar klasifikasi penyakit.

LGBT tidak masuk dalam daftar International Classification of Diseases (ICD).
American Psychiatric Association (APA) dalam laporannya yang berjudul Appropriate Therapeutic Responses to Sexual Orientation mengatakan LGBT bukanlah gangguan atau penyakit mental.

Ancaman KBGO

AJI Indonesia melihat pemberitaan itu berpotensi meningkatkan ancaman kekerasan berbasis gender dan kekerasan berbasis gender online atau KBGO terhadap LGBTIQ di Indonesia. Pemberitaan itu mengabaikan Pedoman Pemberitaan Isu Keberagaman yang dikeluarkan Dewan Pers.

Sebagian media massa menggunakan kutipan narasumber dan judul yang berisi narasi kebencian, sensasional, clickbait dengan judul bombastis, dan menyerang kelompok minoritas berbasis identitas gender minoritas.

Selain itu, pemberitaan menyinggung orientasi seksual Sister Hong Lombok, yang semestinya bersifat privat yang tidak berhubungan dengan kepentingan publik.

AJI memantau belasan pemberitaan media daring yang cenderung menghakimi dan tidak konfirmasi. Sebagian hanya menyadur informasi di media sosial.

Selain itu, pemberitaan tidak menekankan pada prinsip inklusivitas. Sebagian menggunakan komentar warganet dengan akun anonim yang tidak bisa dipertanggungjawabkan sesuai kode etik jurnalistik.

AJI mengidentifikasi sejumlah pasal yang diabaikan oleh sejumlah media  massa. Pasal 2 Kode Etik Jurnalistik menyatakan bahwa Wartawan Indonesia menempuh cara-cara yang profesional dalam melaksanakan tugas jurnalistiknya.

Cara-cara profesional yang dimaksudkan yaitu menghormati hak privasi.

Pasal 9 Kode Etik Jurnalistik berbunyi wartawan Indonesia menghormati hak narasumber tentang kehidupan pribadinya, kecuali untuk kepentingan publik.

Kehidupan pribadi menyangkut kehidupan seseorang dan keluarganya selain yang berhubungan dengan kepentingan publik.

Pasal 3 berbunyi wartawan Indonesia selalu menguji informasi, memberitakan secara seimbang, tidak mencampurkan fakta dan opini yang menghakimi, serta menerapkan asas praduga tak bersalah.

Menguji informasi berarti  mengecek secara berulang kebenaran informasi. Opini yang menghakimi merupakan pendapat pribadi wartawan. Asas praduga tak bersalah merupakan prinsip tidak menghakimi seseorang.

Jurnalis hendaknya juga menghormati keberagaman identitas gender dalam memproduksi karya jurnalistik. Kode Etik Jurnalistik Pasal 8 menyebutkan wartawan Indonesia tidak menulis atau menyiarkan berita berdasarkan prasangka atau diskriminasi terhadap seseorang atas dasar perbedaan suku, ras, warna kulit, agama, jenis kelamin, dan bahasa, serta tidak merendahkan martabat orang lemah, miskin, sakit, cacat jiwa atau cacat jasmani.

Dewan Pers telah mengeluarkan Pedoman Pemberitaan Isu Keberagaman pada akhir Tahun 2023. Penyusunan pedoman ini merujuk pada Pasal 6 Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers. Dewan Pers menetapkan ruang lingkup keberagaman sebagai segala yang berkaitan dengan perbedaan identitas suku, agama, ras, antar golongan, dan gender.

Wartawan dalam mengawal fakta keberagaman wajib menghargai kebhinekaan yang telah diatur dalam Pasal 8 Kode Etik jurnalistik (KEJ).

Pers perlu memiliki sikap hormat terhadap keberagaman yang tercermin mulai dari pemilihan ide, pelaksanaan liputan hingga penulisan berita.

Dasar pemberitaan sesuai pedoman tersebut yakni jurnalis menggunakan prinsip-prinsip HAM dan gender, taat kode etik, dan mengutamakan kemanusiaan.

Dalam memilih topik liputan jurnalis seharusnya mempelajari latar belakang, memperhatikan dampak, dan menghormati kehidupan pribadi yang tidak berkaitan dengan kepentingan publik.

Pemberitaan media massa akan mempengaruhi sikap dan pola pikir masyarakat terhadap kelompok minoritas, salah satunya minoritas gender dan seksual.

AJI Indonesia mendorong jurnalis menghasilkan karya jurnalistik yang memperhatikan keadilan dan kesetaraan bagi semua kelompok, termasuk minoritas gender dan seksual.

Melalui narasi yang lebih berimbang dan berkeadilan, jurnalis bisa membangun masyarakat yang lebih inklusif, di mana setiap suara didengar dan dihargai tanpa prasangka.

Ketua Bidang Gender, Anak, dan Kelompok Marjinal AJI Indonesia, Shinta Maharani mengatakan pemberitaan yang tidak menghormati keberagaman identitas gender bisa memicu ujaran kebencian, stigma, diskriminasi, dan kekerasan.

“Sangat berbahaya bila pemerintah dan masyarakat menggunakannya sebagai rujukan,” kata dia.

Segala bentuk ujaran kebencian dan perbuatan yang diskriminatif membuat kelompok minoritas gender dan seksual makin terpinggir dan kehilangan hak dan kesempatannya untuk berperan dalam kehidupan masyarakat dan negara.

Jurnalis memiliki kemampuan untuk mengubah persepsi masyarakat sehingga seharusnya menghindari berbagai stigma, stereotip, dan diskriminasi terhadap kelompok minoritas gender dan seksual.

Pancasila, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan DUHAM menjamin setiap orang mendapat perlakuan sama dalam menjalankan agama atau keyakinan dan mengekspresikan dirinya. Pasal 28 D ayat 1 Undang-Undang Dasar menyebutkan setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum.

Dalam pemberitaannya, pers berkewajiban untuk menghormati hak tersebut, termasuk suku, agama, ras dan antar golongan dan gender secara adil dan setara.

AJI Indonesia mendorong media massa menghindari pemberitaan yang bersifat sensasionalisme dengan melakukan objektifikasi identitas gender dan menjadi perpanjangan tangan dari diskriminasi berbasis gender.

Baca Juga:

Selain itu, mengingatkan perusahaan media untuk menaruh perhatian serius terhadap liputan isu-isu bertema kelompok minoritas yang memperhatikan Kode Etik Jurnalistik.

Dewan Pers hendaknya juga lebih aktif menyosialisasikan pedoman pemberitaan isu keberagaman supaya media massa punya persepektif yang adil terhadap kelompok minoritas berbasis identitas gender.

AJI memiliki sejumlah buku panduan bagi jurnalis untuk meliput kelompok minoritas, salah satunya minoritas gender dan seksual: https://aji.or.id/system/files/2024 08/panduan-jurnalisme-untuk-melawan-ujaran-kebencian-terhadap kelompok-minoritas-gender-dan-seksual.pdf.

Masyarakat yang menemukan pemberitaan yang melanggar kode etik jurnalistik bisa melapor ke Dewan Pers. Caranya, masuk ke situs web dewanpers.or.id. Klik laman data pengaduan, unduh formulirnya melalui https://dewanpers.or.id/datapengaduan/form, lalu kirim formulir pengaduan yang sudah diisi ke alamat pengaduan@dewanpers.or.id.(ril)