Krisis iklim
Kamis, 16 Oktober 2025 07:54 WIB
Penulis:Nila Ertina
DIBALIK sebutir nasi yang kita nikmati setiap hari, terdapat kisah perjuangan para petani, diantaranya yang bermukim di Desa Margo Mulyo, Kecamatan Muara Sugihan, Kabupaten Banyuasin, Provinsi Sumatera Selatan, yang kini tidak hanya terdampak krisis iklim yang mengakibatkan hasil panen tak bisa lagi ditentukan.
Petani juga dihadapkan permasalahan lama berupa hama, terutama tikus yang hingga kini sulit di atasi.
Petani mulai kesulitan panen dengan hasil optimal, karena kadang kala justru gagal panen akibat sawah tergenang banjir, atau angin puting beliung menyerang dan hama tikus yang tak dapat dibasmi menimpa tanaman siap panen.
Dalam wawancara, Minggu (12/10/2025), salah seorang petani, Sujoko (51) menjelaskan di Desa Margo Mulyo, laiknya sawah di kawasan pasang surut mengandalkan perairan dari hujan atau biasa disebut sawah tadah hujan.
"Kami biasanya menanam padi pada bulan Desember sampai bulan Maret, menggunakan bibit Kumojoyo yang merupakan jenis bibit padi sawah lahan basah," ceritanya.
Padi biasanya akan mulai panen pada usia 3-4 bulan.
Baca Juga:
Kabupaten Banyuasin dikenal sebagai sentra produksi padi di Sumatera Selatan, data Kementerian Pertanian tahun 2024 mencatat luas sawah pasang surut di daerah tersebut mencapai 167.375 hektare.
Sujoko menambahkan sebagai daerah penghasil padi terbesar di Sumatera Selatan, petani di Kawasan dikenal juga sebagai daerah Jalur hanya panen setahun sekali.
"Kami sangat bergantung pada cuaca, dan kini telah terjadi pergeseran cuaca yang tidak mudah lagi diprediksi," kata dia menambahkan.
Di tengah jeda menanam padi, biasanya petani menanam jagung, komoditas jagung yang ditanam bukan jagung manis tetapi jagung hibrida yang biasa digunakan untuk bahan pakan ternak dan membuat tepung.
Menanam jagung juga butuh kecermatan dalam membaca cuaca, kata Sujoko, karena hasil panen akan sangat bergantung bagaimana proses tumbuh jagung dengan cuaca yang sesuai kebutuhan.
Jurnal berjudul "Pengaruh Perubahan Iklim pada Musim Tanam dan Produktivitas Jagung di Malang" karya Ninuk Herlina1 dan Amelia Prasetyorini yang diterbitkan Jurnal Ilmu Pertanian Indonesia (JIPI), IPB, pada Januari 2020 mengungkapkan hasil riset, salah satu penyebab produksi jagung tidak stabil di Indonesia karena perubahan iklim akibat pemanasan global. Perubahan iklim yang memengaruhi lamanya musim hujan dan kemarau disebabkan oleh perubahan pola curah hujan.
Dimana, terkait dengan faktor yang lain, seperti kelembapan, ketersediaan air, dan jenis tanaman (Hariadi 2007). Suhu udara untuk tanaman tropis berkisar antara 15-40°C dan suhu udara yang dibutuhkan tanaman jagung untuk berkembang dengan baik berkisar antara
21-28°C.
Kisaran suhu udara ini penting dalam memengaruhi tahap-tahap perkembangan tanaman. Suhu udara yang optimum untuk proses fotosintesis berkisar antara 10-30°C.
Hasil riset tersebut menggambarkan bagaimana dampak krisis iklim, sangat memengaruhi produktivitas tanaman jagung, karenanya akan terjadi penurunan signifikan terhadap hasil panen.
Harga Bergantung dengan Tengkulak
Sudah sangat umum, permasalahan petani berhadapan dengan rendahnya nilai jual, bahkan kadang lebih rendah dari biaya produksi yang dikeluarkan oleh petani.
Apalagi dampak krisis iklim, biasanya petani akan lebih banyak pemeliharaan, terutama untuk menjaga agar tanaman padi dan jagung tumbuh tanpa hama, seperti menambahkan pupuk tambahan.
Pupuk bersubsidi, bagi petani pemilik kartu petani di sentra produksi beras Banyuasin pun kerap langka.
"Kalau ada pupuk subsidi, kami kebagian sedikit tidak mencukupi untuk kebutuhan tanaman," ujar Sujoko.
Baca Juga:
Kelangkaan pupuk akan berdampak langsung pada peningkatan biaya produksi padi maupun jagung, tetapi ketika panen raya, tengkulak akan membeli dengan harga murah.
Harga padi dan jagung dijual pada tengkulak berkisar Rp 4.800 per kilogram.
Sementara produk padi dan jagung selama beberapa tahun ini cukup fluktuatif, Sujoko bercerita tahun 2023 dalam 1 hectare tanaman padi panennya sekitar 5 ton dan tahun 2024 terjadi peningkatan panen, 8 ton.
Sedangkan panen jagung 2023, 4 ton dan 2024 juga meningkat menjadi 6 ton, kata dia.(Mg/Fathul Salbani Ihsan/ert)
3 bulan yang lalu