Senin, 22 Desember 2025 21:20 WIB
Penulis:Redaksi Wongkito
Editor:Redaksi Wongkito

JAKARTA, WongKito.co - Kala pulau Jawa semakin padat dan hutan terus terfragmentasi, keberadaan macan tutul jawa (Panthera pardus melas) kian tersembunyi dan terancam. Untuk pertama kalinya, upaya besar-besaran dilakukan untuk benar-benar menyibak berapa banyak predator puncak ini yang masih bertahan.
Upaya itu diwujudkan melalui Java Wide Leopard Survey (JWLS), survei macan tutul jawa berskala besar dan terstandar yang resmi diluncurkan pada awal 2024. Survei ini menjadi yang pertama dilakukan secara menyeluruh di seluruh Pulau Jawa dan digadang-gadang sebagai tonggak baru konservasi salah satu satwa kunci ekosistem Jawa.
JWLS menggunakan sekitar 600 kamera pengintai yang dipasang di 1.160 stasiun pengamatan pada 21 bentang alam, mencakup 10 taman nasional, 24 kawasan suaka alam, dan 55 kawasan hutan lainnya.
Survei ini dikerjakan oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) bekerja sama dengan Yayasan Sintas, serta melibatkan 36 mitra lokal, pemerintah daerah, perguruan tinggi, tujuh mitra swasta, delapan UPT KSDAE, dan lima UPTD. JWLS berlangsung hingga awal 2026 dan menjadi survei satwa liar skala nasional terbesar kedua setelah Sumatra Wide Tiger Survey (SWTS).
Habitat Jawa yang Terus Menyempit
Direktur Yayasan Sintas, Hariyo T Wibisono (Bibah), menyebut JWLS sebagai momentum penting untuk keluar dari keterbatasan data yang selama ini membayangi konservasi macan tutul jawa.
“Selama bertahun-tahun upaya konservasi macan tutul berjalan terpencar, bergantung pada survei lokal, dengan cakupan terbatas. JWLS menandai titik balik penting,” ujar Bibah, dikutip laman lembaga Mongabay, Senin, 22 Desember 2025.
Melalui survei ini, data mengenai keberadaan, sebaran, dan struktur populasi macan tutul untuk pertama kalinya dikumpulkan secara serentak dan lintas bentang alam di Pulau Jawa membuka tabir kondisi populasi terakhir predator puncak tersebut.
Tekanan terhadap populasi macan tutul tak terlepas dari kondisi habitat Jawa yang semakin tertekan. Bibah mengungkapkan, sebelum tahun 2000, tutupan hutan alam di Pulau Jawa hanya tersisa sekitar 23 persen.
Dalam periode 2000–2017, Pulau Jawa bahkan kehilangan hampir 70% hutannya, dengan laju tertinggi pada tahun 2000–2013 yang mencapai sekitar 5% per tahun, terutama akibat pembangunan infrastruktur dan ekspansi pertanian. Dominasi aktivitas manusia di lanskap Jawa turut meningkatkan risiko konflik antara macan tutul dan warga.
Lanskap Terisolasi, Populasi Terpecah
Berdasarkan analisis Yayasan Sintas, terdapat 29 lanskap yang dinilai masih layak sebagai habitat macan tutul jawa, mencakup kurang dari 9% Pulau Jawa. Dari jumlah tersebut, 22 lanskap telah terkonfirmasi masih dihuni macan tutul.
“Sebagian besar habitat terputus dan sangat terisolasi. Membangun koridor fisik sangat tidak mungkin karena dipisahkan permukiman manusia dan infrastruktur,” ungkap Bibah.
Dari temuan sementara JWLS, populasi macan tutul jawa diperkirakan berada di kisaran 120–570 individu, dengan estimasi paling rasional sekitar 320 individu, angka yang menggambarkan betapa kecilnya populasi predator puncak terakhir Jawa.
Laporan JWLS mencatat 34 individu macan tutul yang berhasil teridentifikasi secara visual, terdiri dari 11 jantan dan 23 betina, dari 10 bentang alam yang telah disurvei. Tujuh lokasi yang telah terdata antara lain Rawa Danau, Burangrang, Ciremai, Panusupan, Sindoro–Dieng, Bromo Tengger Semeru, serta Merapi Merbabu. Di bentang alam Merapi Merbabu, survei tidak menemukan keberadaan macan tutul jawa.
Sementara itu, pendekatan lain melalui analisis DNA feses menunjukkan angka yang lebih besar, yakni 55 individu, terdiri dari 37 jantan dan 18 betina.
Konflik dan Perdagangan Ilegal
Di luar tekanan habitat, ancaman langsung juga terus menggerus populasi. Kehilangan macan tutul jawa diperkirakan mencapai 3,4 individu per tahun akibat konflik dengan manusia dan 1,3 individu per tahun akibat perdagangan ilegal. Namun, Bibah menilai angka tersebut belum sepenuhnya mencerminkan kondisi di lapangan.
“Angka kehilangan enam ekor macan tutul jawa per tahun karena perdagangan ilegal dalam sepuluh tahun terakhir,” ujarnya.
Ancaman lain datang dari penyakit menular yang ditularkan satwa domestik. Pada Maret 2025, seekor macan kumbang betina bernama Mancak ditangkap setelah memangsa ternak warga di Serang, Banten. Pemeriksaan menunjukkan Mancak terinfeksi Canine Distemper Virus (CDV) dan Feline Panleukopenia Virus (FPV).
“Ini kasus kedua yang terdeteksi. Artinya, ada potensi kalau kita tidak aware, bisa juga menyebar ke subpopulasi lain,” kata Erwin Wilianto dari IUCN SSC Cat Specialist Group.
Menurut Erwin, penularan sangat mungkin berasal dari anjing dan kucing domestik di sekitar permukiman. Kasus ini mengingatkan pada kematian macan tutul melanistik Rita pada Desember 2020, yang menjadi kasus CDV pertama pada macan tutul di Indonesia.
Hasil JWLS menunjukkan sejumlah lanskap kosong seperti Merapi Merbabu dan Dataran Tinggi Dieng berpotensi menjadi lokasi reintroduksi. Sebaliknya, kawasan dengan konflik tinggi seperti Alas Purwo dan Gunung Muria dapat dikurangi individunya untuk dipindahkan.
“Dipindahkan ke tempat baru sekaligus untuk memperbaiki genetika,” kata Erwin. Data JWLS diharapkan menjadi dasar kuat dalam penyusunan Strategi dan Rencana Aksi Konservasi (SRAK) macan tutul jawa yang lebih antisipatif dan berbasis sains.
“Macan itu spesies kunci. Kalau alam rusak, konflik akan terus terjadi. Menjaga macan tutul sama dengan menjaga hutan dan menjaga hutan berarti menjaga hidup kita sendiri,” tegas Erwin.
Tulisan ini telah tayang di TrenAsia.com, jejaring media WongKito.co, pada 22 Desember 2025.