Rabu, 21 September 2022 09:32 WIB
Penulis:Nila Ertina
JAKARTA – Selama 5 tahun terakhir, refinery margin berada dalam kisaran di bawah $10/bbl. Namun, periode Mei, Juni dan Juli tahun 2022, refinery margin di Singapura mencapai $30/bbl. Sementara refinary margin kilang di Eropa dan Amerika Serikat jauh lebih tinggi lagi.
Pakar Energi Arcandra Tahar dalam tulisan terbarunya di akun instagram @arcandra.tahar menjelaskan, secara perhitungan, refinery margin adalah selisih antara harga BBM yang dihasilkan kilang dengan harga minyak mentah. Menurutnya, jika diasumsikan harga minyak mentah $70/bbl, maka harga BBM yang dihasilkan dengan refinery margin $30/bbl menjadi $100/bbl.
“Dengan asumsi refinary margin dalam 5 tahun terakhir, harga BBM hanya $80/bbl. Artinya di tahun 2022 ini harga BBM menjadi semakin mahal akibat naiknya refinary margin di berbagai kilang di dunia,” tulis Arcandra seperti dikutip dari IG arcandra.tahar, Rabu (21/9).
Kenapa lonjakan refinery margin sebanyak 300% ini bisa terjadi? Bukankah biaya untuk mengolah minyak mentah menjadi BBM hampir sama? Mari kita cermati bagaimana harga minyak mentah dan BBM terbentuk.
Baca Juga:
Dalam tulisannya Arcandra menerangkan, harga minyak mentah mengikuti harga acuan (index) seperti Brent dan West Texas Intermediate (WTI). Banyak faktor yang mempengaruhi harga index ini seperti supply, demand, perang, dan lain-lain. Di sisi lain, harga BBM ditentukan oleh jenis BBM apa yang dibutuhkan pada waktu tertentu.
Misalnya, pada saat musim panas banyak orang yang traveling menggunakan mobil yg berbahan bakar Ron 92, di mana harga pada saat itu bisa lebih mahal dibandingkan diesel. Jadi pergerakan harga Ron 92 tidak mengikuti pergerakan harga minyak mentah dunia.
“Untuk memproduksi BBM tak ubahnya seperti restoran padang yang membuat rendang. Bahan baku utama rendang adalah daging sapi atau kerbau. Harga sapi misalnya ditentukan oleh supply demand pada waktu tertentu. Pada saat hari raya Idul Adha, kebutuhan sapi akan meningkat sehingga harganya akan naik. Tapi apakah ongkos untuk membuat rendang akan naik pada saat itu? Belum tentu,” terangnya.
Lebih jauh Arcandra memberikan perumpaan refinary margin dengan restoran padang. Perbedaan antara harga jual rendang dengan harga daging sapi dinamakan dengan dapur margin (seperti refinery margin). Dapur margin ini bisa jadi ditentukan oleh banyaknya permintaan rendang pada saat tertentu.
Baca Juga:
Misalnya acara wisuda yang memerlukan 10 ton rendang. Daging sapi tersedia tapi rendangnya tidak cukup. Maka dapur margin untuk membuat rendang menjadi naik untuk memenuhi kebutuhan wisuda.
“Bisa dibayangkan, kalau dalam 5 tahun terakhir dapur margin untuk membuat rendang misalnya hanya Rp 100 ribu/kg sekarang menjadi Rp 300 ribu/kg. Ditambah lagi kalau pada saat yang bersamaan harga daging sapi juga ikut naik. Konsumen yang membutuhkan rendang tentunya akan semakin terbebani,” imbuhnya.
Menurutnya, kalau kita punya acara yang anggarannya terbatas dan harus menyediakan menu rendang setiap saat, maka membeli rendang yang siap santap mungkin akan mahal. Agar fluktuasi harga rendang lebih terjamin, salah satu solusi yang tepat adalah membuat dapur sendiri yang tidak saja bisa membuat rendang, tapi juga bisa membuat masakan padang yang lain. Tentunya butuh investasi dan kesabaran agar bisa membuat dapur yang memberikan margin yang baik.
Dalam konteks pemenuhan BBM, dengan refinery margin yang sangat tinggi pada tahun ini dan bisa jadi tahun-tahun yang akan datang, strategi yang teliti, cermat dan cerdas sangat dibutuhkan dalam masa transisi menuju net-zero emisi tahun 2050 atau 2060. Membuat “restoran padang” sendiri yang memungkinan produksi “rendang” menjadi lebih efisien perlu untuk dipikirkan, direncanakan dan segera diwujudkan.
“Realitasnya dunia masih memerlukan energi fosil paling tidak hingga 30 tahun lagi. Namun demikian pengembangan energi terbarukan juga jangan sampai terabaikan,” tutupnya.
Indonesia sendiri merupakan salah satu importir utama BBM dari kilang-kilang minyak di Singapura. Berdasarkan data Energy Information Administration (IEA), kapasitas kilang minyak di Singapura mencapai 1,4 juta barel per hari.
Terdapat tiga 3 kilang minyak raksasa yang berproduksi di Singapura. Shell Pulau Bukom Refinery memiliki kapasitas 500.000 barel/hari, ExxonMobil Jurong Island Refinery dengan kapasitas 605.000 barel/hari, dan SRC Jurong Island Refinery berkapasitas 290.000 barel/hari.
Produksi BBM dari berbagai kilang di Singapura itu terlalu besar dibandingkan konsumsi domestiknya, mengingat jumlah penduduknya hanya 5,7 juta jiwa. Sementara Indonesia dengan populasi lebih lebih dari 280 juta jiwa, kebutuhan BBMnya mencapai 1,4 juta barel per hari.
Direktur Utama PT Kilang Pertamina Internasional (KPI), Djoko Priyono, mengatakan dari kebutuhan BBM dalam negeri tersebut, kilang minyak yang ada hanya memproduksi sekitar 729 ribu barel per hari.
Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat selama periode Januari-Juni 2022, impor hasil minyak (minyak olahan) mencapai $12,01 miliar. Angka tersebut melonjak hampir dua kali lipat dibandingkan periode yang sama tahun 2021 sebesar $6,18 miliar.
Nilai impor hasil minyak atau BBM mencapai 61,7% dari total nilai impor migas nasional yang mencapai $19,46 miliar atau Rp291,96 triliun (dengan kurs Rp15 ribu per dolar Amerika Serikat/AS) pada semester I-2022. Angka tersebut melaju 68,98% dibanding semester I tahun sebelumnya.
Untuk mengurangi ketergantungan terhadap impor BBM, Pemerintah melalui Pertamina berencana untuk meningkatkan produksinya kilang-kilangnya. Seperti produksi kilang di Cilacap (Jawa Tengah), Balikpapan (Kalimantan Timur), Balongan (Jawa Tengah), Dumai (Riau) serta Plaju (Sumatera Selatan).
"Jadi ada kesempatan untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri 830 ribu barel per hari. Caranya dengan meningkatkan kapasitas kilang, atau kita impor terus," ujar Djoko di sela kunjungan ke proyek Refinery Development Master Plan (RDMP) atau perluasan kilang Balikpapan, Sabtu (8/1/2022).
Tulisan ini telah tayang di www.trenasia.com oleh Ananda Astri Dianka pada 21 Sep 2022