Tes Alih Status Pegawai KPK Dinilai Seksis dan Diskriminatif

Sabtu, 08 Mei 2021 05:46 WIB

Penulis:Amalia

ilustrasi-gedung-kpk.jpg
Ilustri. Gedung KPK. (istimewa)

JAKARTA, WongKito.co - Gerak Perempuan dan Koalisi Masyarakat Sipil Anti Kekerasan Seksual (KOMPAKS) mengecam keras pelaksanaan tes alih status pegawai KPK menjadi Aparatur Sipil Negara (ASN) yang diwarnai beberapa tes dan pertanyaan tidak etis bernuansa seksis, mengandung bias agama, rasisme, dan diskriminatif.

“Gerak Perempuan mencatat dari berbagai sumber berita terdapat beberapa pertanyaan yang tidak relevan dengan tujuan diadakannya tes tersebut,” ungkap Prilly, perwakilan Aliansi Gerak Perempuan KOMPAKS dalam keterangan tertulis.

Diungkapkannya, ada pertanyaan seksis dan bermuatan pelecehan. Pertanyaannya terkait status perkawinan, hasrat seksual, kesediaan menjadi istri kedua, bahkan pertanyaan tentang “kalau pacaran ngapain aja?”. Dalam tes wawancara itu, seorang pegawai KPK ditanya mengenai statusnya yang belum menikah.

“Dari informasi yang kami dapatkan, salah satu pegawai KPK harus menghabiskan waktu 30 menitnya untuk menjawab pertanyaan seperti ini,” ulasnya.

Pertanyaan-pertanyaan ini, menurut Prilly, tidak ada kaitannya dengan tugas, peran, dan tanggung jawab seorang pegawai KPK dan tidak layak ditanyakan dalam sesi wawancara. Pertanyaan seperti ini adalah pertanyaan yang bernuansa seksis karena didasari oleh anggapan yang menempatkan perempuan sebatas pada fungsi dan peran organ reproduksinya dan sangat menghakimi privasi dari pegawai KPK tersebut.

“Pertanyaan dan pernyataan yang seksis ini juga menunjukkan buruknya perspektif gender dari aparatur negara,” kata dia.

Adapula pertanyaan kehidupan menjalankan ajaran agama atau seputar beragama. Seharusnya, lanjut Prilly, seleksi pekerjaan bersifat profesional dan sebisa mungkin terbebas dari berbagai bias pribadi si pewawancara, salah satunya bias agama. Pertanyaan seperti "Islamnya Islam apa?" dan "Gimana kalau anaknya nikah beda agama?" tidak ada kaitannya dengan tujuan tes maupun pada kinerja dan tanggung jawab kerja.

Dalam sebuah tes, para pegawai KPK juga diminta untuk bersetuju atau tidak terhadap sebuah pernyataan. Muncul pernyataan seperti "Semua orang Cina sama saja" atau "Semua orang Jepang kejam". Sulit membayangkan penilaian yang dilakukan berdasarkan pertanyaan dari tes seperti ini. Apalagi pilihannya hanya dipaksa untuk menjawab sangat setuju, setuju, netral, tidak setuju, atau sangat tidak setuju. Koruptor bisa datang dari semua ras tanpa terkecuali karena orang bertindak korup bukan karena rasnya.

“Melihat dari jenis tes dan pertanyaan yang diberikan dalam tes alih status Pegawai KPK, kami mengkritisi dan mempertanyakan kepentingan dari pelaksanaan tata cara dan tujuan tes peralihan ini. Yang menjadi kekhawatiran utama kami adalah pertanyaan yang menunjukkan kriteria pemilihan ASN sangat tidak etis, seksis, dan diskriminatif terhadap kelompok-kelompok tertentu,” tegas Prilly.

Tes peralihan ini dianggap menjadi salah satu proses menyaring orang-orang yang selama ini kritis terhadap kebijakan pemimpin, bahkan terhadap kebijakan negara yang tidak melindungi KPK untuk membasmi koruptor. Hal ini terlihat dari pertanyaan-pertanyaan yang bersifat pribadi dan menggiring opini peserta.

Maka dari itu, Gerak Perempuan dan KOMPAKS menuntut kepada Pimpinan KPK untuk membatalkan evaluasi yang dilakukan berdasarkan hasil tes ngawur tersebut. Juga meminta Dewan Pengawas KPK memberikan sanksi berat kepada Ketua KPK dan Pimpinan KPK yang membentuk peraturan Komisi KPK dan melakukan tes ini serta pihak-pihak yang menjalankan tes ini.

"Kepada Presiden Joko Widodo untuk membatalkan proses dan menganulir Tes Peralihan ASN tersebut yang terbukti melakukan pelecehan terhadap Pegawai KPK dan melampaui wewenang," katanya.

Pihaknya meminta, Presiden Joko Widodo sebagai pihak yang menerbitkan Keppres pengangkatan pimpinan KPK untuk menindak Pimpinan KPK yang melakukan pelecehan terhadap Pegawai KPK peserta tes melalui Asesemen Wawasan Kebangsaan

Adapun kepada Pemerintah dan DPR, pihaknya meminta untuk mencabut UU Nomor 19 Tahun 2019 tentang Perubahan Kedua atas UU Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi karena pengesahan UU tersebut justru semakin menghancurkan pemberantasan korupsi di Indonesia. Kepada Pemerintah dan DPR untuk segera mengesahkan Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual. (tri)